Sabtu, 16 Juli 2011

ASSUNNIYYAH


AHLUSUNNAH WAL JAMA'AH (3)
Oleh: DR. KH. MA. Sahal Machfudh
Ketua Umum MUI

Sejarah Lahir Aswaja
Paling mudah dalam melacak periode awal kelahiran terminologi aswaja ialah dengan melihat awal mula lahirnya mazhab Kalam al-Asy'ari dan Abu Mansura Maturidi yang populer disebut sebagai para imam aswaja di bidang Kalam. Tetapi kelahiran mazhab aswaja di bidang Kalam oleh kedua imam itu tidak bisa dipisahkan dengan mata rantai sebelumnya, dimulai dari periode Ali ibu Abi Thalib.
Secara faktual, tidak dapat dipungkiri bahwa awal mula terjadinya perpecahan di lingkungan masyarakat Islam dimulai dari periode Khalifah Utsman dan hampir melembaga di periode Ali ibnu Abu Thalib. Perpecahan itu pada awalnya terjadi dalam persoalan politik, tetapi kemudian berlanjut kepada persoalan agama atau aqidah. Faktor penyebab keadaan dalam paham aqidah itu sebenarnya lebih terjadi bukan dalam hal-hal prinsip mendasar dalam Islam tetapi lebih banyak terjadi dalam hal-hal yang bersifat interpretable. Pengaruhnya ada yang bersifat ekstern dan ada yang bersifat intern. Pengaruh ekstern dapat berupa pengaruh paham keagamaan dari luar Islam, karena sulitnya secara naluri seorang yang telah masuk Islam untuk sama sekali menghilangkan paham keagamaan lamanya. Faktor internnya ialah, di samping memang adanya beberapa teks ajaran Islam yang tidak seluruhnya bermakna absolut, juga karena terjadinya perebutan kekuasaan antara intern umat Islam (politik). Yang terakhir ini bahkan yang kemudian dominan mewarnai arus perbedaan itu, dan bahkan selanjutnya terinstitusi dalam bentuk firqoh atau mazhab. Yang selalu menjadi persoalan krusial dan sentral ialah perbedaan penafsiran tentang paham yang berhubungan dengan aqidah, seperti tentang kehendak mutlak Tuhan, tentang kebebasan berkehendak, dan kebebasan berbuat manusia dan lain-lain. Perbedaan seperti itu terus menerus berjalan, kadang volumenya kecil dan kadang besar. Pada masa periode mujahidin umpamanya, perbedaan yang krusial bukan di bidang aqidah, atau kalau pun ada perbedaan volumenya tidak besar sehingga tidak menimbulkan keresahan umat Islam. Tetapi pada periode Abbasiyah berkuasa, sebelumnya periode Al-Mutawakkil, terjadi keresahan di lingkungan umat Islam akibat pemaksaan pendapat paham aqidah Mu'tazilah oleh para penguasa Abbasiyah. Itulah yang kemudian disebut kasus Al-Mihnah (ecquisition). Dalam situasi kacau dan resah itulah imam Abu Hasan al-Asy'ari menawarkan alternatif paham aqidah yang kemudian disepakati oleh ulama pengikutnya sebagai paham aqidah Aswaja. Makin lama pengikut paham aqidah ini makin besar, sementara di daerah lain, yakni di Samarqand dan Mesir, ada dua ulama yang juga berhasil menyusun paham aqidah yang sejalan dengan paham aqidah al-Asy'ari, semuanya mempunyai orientasi yang sama, dan menjawab persoalan-persoalan teologis Islam yang cukup meresahkan pada waktu itu. Secara materiil banyak produk pemikiran teologis Islam paham Mu'tazilah yang karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash dinilai tidak sejalan dengan sunnah atau dengan kata lain terjadi penyimpangan atau bid'ah. Maka secara spontan pengikut imam-imam itu bersepakat menyebutkan dirinya kelompok Aswaja. Meskipun sesungguhnya istilah ini bahkan dengan pahamnya sampai saat itu telah berkembang, tetapi karena hal itu belum terinstitusi apalagi dalam bentuk mazhab, maka secara historis istilah aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini. Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak zaman Ali bin Abi Thalib, tetapi dari segi fisik dalam bentuk mazhab baru sejak zaman al-Asy'ari, al-maturidi dan al-Tahawi. Dalam kajian Islam in toto, diskursus Islam yang berhubungan dengan paham aqidah Aswaja, dapatlah dipastikan berreferensi kepada doktrinal Kalam mazhab terutama al-Asy'ari dan al-Maturidi. Perkembangan istilah ini makin lama makin resmi menjadi disiplin keilmuan Islam, sehingga pada periode berikutnya istilah itu dikembangkan tidak hanya mencakup bidang aswaja tetapi juga mencakup diskursus Islam yang lain, yakni bidang syari'ah atau fiqh dan bidang akhlaq atau tasawwuf. Inilah yang disebut dengan istilah "urf khas" bagi aswaja. Dalam sejarah perkembangan selanjutnya, istilah aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal aqidah pengertiannya adalah mazhab Asy'ari atau Asy'ariyah dan Maturidiyah. Dalam hal fiqh pengertiannya adalah empat mazhab besar Islam seperti tersebut di muka dan dalam hal akhlaq atau tashawwuf pengertiannya ialah doctrinal tashawwuf al-Ghazali dan ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni. Pengertian paham Sunni dalam terminologi tersebut adalah bersifat ma'alim atau simbol. Artinya bahwa yang terpenting dalam paham Sunni secara substantif bukanlah mutlak simbol-simbol itu melainkan produk pemikiran yang dirumuskan oleh para ulama Sunni itu. Jadi secara simbolik Islam adalah paham keagamaan Islam yang dirumuskan oleh ulama Sunni atau ulama aswaja. Karena paham itu bersifat penafsiran maka sudah barang tentu memiliki pola dan corak yang membedakan antara paham keagamaan Islam yang dibangun oleh ulama Sunni dan ulama non-sunni. Perbedaan ini diakibatkan oleh paradigma atau wijhah al nazar yang berbeda.
Paham Ahlussunnah Wal Jama'ah
Sebagaimana disebutkan ................(bersambung  pada edisi ke 4)
PUJI-PUJIAN SHALAWAT SETELAH ADZAN DAN MENGATAKAN “SYAYYIDINA”DALAM SHOLAT
Sesungguhnya membaca shalawat kepada Nabi setelah adzan adalah sunah hukumnya, dan tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim (hadits no. 384), dan Abu Dawud (hadis no. 523).  Yaitu :
Artinya : “Ketika kalian mendengarkan adzan maka jawablah, kemudian setelah itu bacalah shalawat kepadaku.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud)
Pendapat di atas ini juga didukung oleh Imam Jalaludin as-Suyuthi, lbnu Hajar al-Haitsami, Syeikh Zakariya al-Anshari, dan lain lain.
Imam lbnu Abidin mengatakan, bahwa pendapat yang didukung oleh Madzhab Syafi'i dan Hambali adalah pendapat yang mengatakan shalawat setelah adzan adalah sunah bagi orang yang adzan dan orang yang mendengarkannya.
Artinya : Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah­Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (Q.S. an-Nur: 63)
Dalil dari hadits
Artinya : Rasulullah SAW. bersabda : Saya adalah sayid Bani Adam pada hari kiamat, tetapi tidak ada kesombongan di dalamnya. (H.R. Muslim dan Ahmad).
Mengucapkan "Sayidina" di dalam Shalat
Kata-kata “sayidina” atau “tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shatat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan :
Yang lebih utama adalah mengucapkan sayidina (sebelum nama Nabi SAW.), karena hal yang lebih utama bersopan santun (kepada Beliau).2
Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW. : Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Rusulullah s.a.w. bersabda, “Saya adalah sayid (penghulu) anak adam pada hari kiamat, Orang pertama yang bangkit dari kubur orang yang pertama memberikan syafa'at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberkans yafa'at.” (H.R. Muslim, hadits ke:4223).
Hadits ini menyatakan bahwa Nabi s.a.w. menjadi Sayid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad s.a.w. menjadi sayid hanya pada hari kiamat saja. Bahkan beliau s.a.w. menjadi sayid manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani :
Kata 'sayidina' ini tidak hanya tertentu buat Nabi Muhammad s.a.w. di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits; “saya adalah sayidnya anak cucu adam di hari kiamat” Akan tetapi Nabi s.aw. menjadi sayid keturunan “Adam di dunia dan akhirat.” 3
Ini sebagai indikasi bahwa Nabi s.a.w. mem­bolehkan memanggil beliau dengan sayidina. Karena memang kenyataannya begitu. Nabi  Muhammad s.aw. sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa. Lalu bagaimana dengan 'hadits' yang menjelas­kan larangan mengucapkan sayidina di dalam shalat?
Artinya : “Janganlah kalian mengucapakan sayidina kepadaku di dalam shalat. ” 
Ungkapan ini memang diklaim oleh sebagian golongan sebagai hadits Nabi s.a.w. Sehingga mereka mengatakan bahwa menambah kata sayidina di depan nama Nabi Muhammad s.a.w. adalah bid'ah dhalalah, bid'ah yang tidak balk.
Akan tetapi ungkapan ini masih diragukan kebenarannya. Sebab secara gramatika bahasa Arab, susunan kata-katanya ada yang tidak singkron. Dalam bahasa Arab tidak dikatakan akan tetapi Sehingga tidak bisa dikatakan. Oleh karena itu, jika ungkapan itu disebut hadits, maka tergolong hadits maudhu'.  Yakni hadits palsu, bukan sabda Nabi, karena tidak mungkin Nabi s.a.w. keliru dalam menyusun kata-kata Arab. Konsekwensinya, hadits itu tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang mengucapkan sayidina dalam shalat?
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayidina ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad s.aw. boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika membaca tasyahud di dalam shalat.

Referensi
1. Ibnu Abidin “Hasiyah”
2. Ibrahim Al-BAjuri “ Hasyisyah al-Bajuri, juz.1, hal. 156.
3. Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, “Manhaj as-salafi ..”, hal. 169.
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Sabtu, 09 Juli 2011

ASSUNNIYYAH

19 RABIUL TSANI 1432 / 24 MARET 2011                                                                                                                         -EDISI 002 TAHUN I
AHLUSUNNAH WAL JAMA'AH (2)
Oleh: DR. KH. MA. Sahal Machfudh
Ketua Umum MUI
Dalil-Dalil Ahlusunnah Wal Jama'ah
Secara historis, para imam aswaja di bidang aqidah atau Kalarn telah ada sejak zaman Sahabat Nabi sebelum Mu'tazilah ada. Imam aswaja di zaman itu ialah Ali ibn Abi Thalib Karramallahu Wajhah, karena jasanya telah membendung pendapat Khawarij tentang al-wa'd wa al-wa'id dan membendung pendapat Qadariyah tentang kehendak Tuhan (masyiah) dan daya manusia (istitha'ah) serta tentang kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat manusia. Kemudian juga Abdullah ibn Amr lantaran penolakannya terhadap pendapat kebebasan berkehendak manusia dari Ma'bad al-Juhani. Di masa Tabi'in ada beberapa imam dengan misi yang sama seperti di masa Sahabat yang berhasil mengarang beberapa kitab untuk kepentingan misinya itu. Para imam itu ialah Umar ibn Abdul Azis dengan karyanya "Risalah Balighah fi al-Raddi a/a al-Qadariyah", Zaid ibn Ali Zain al-Abidin, Hasan al-Basri, al-Sya'bi dan al-Zuhri. Sesudah generasi ini muncul seorang imam, Ja'far ibn Muhammad al-Shadiq. Dari para fuqaha dan imam mazhab fiqh juga ada para imam Kalam aswaja seperti Abu Hanifah dan al-Syafi'i. Abu Hanifah di bidang ini berhasil menyusun sebuah karya untuk meng-counter al-Qadariyah berjudul "al-Fiqh al-Akbar". Sedangkan al-Syafii berhasil menyusun dua kitab : "Fi Tashhih al-Nubuwwah wa al-Radd ala al-Barahimah" dan "al-Radd ala al-Ahwa". Setelah periode Imam Syafii ada beberapa muridnya yang berhasil menyusun paham akidah aswaja di antaranya ialah Abu al-Abbas ibn Suraidj, populer sebagai ulama pengikut Imam Syafii paling menguasai di hidang ini. Generasi imam dalam Kalam aswaja sesudah itu diwakili oleh Imam Abu Hasan al-Asy'ari yang populer disebut-sebut sebagai salah seorang penyelamat akidah keimanan, lantaran keberhasilannya membendung paham Mu'tazilah.
Dari benang merah mata rantai data dan sekaligus sebagai dalil historis itu dapat dipahami bahwa akidah aswaja secara substantif telah ada sejak zaman Sahabat. Artinya bahwa paham akidah aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam Abu Hasan al-Asy'ari. Tetapi Imam Abu Hasan al-Asy'ari adalah salah satu di antara imam akidah aswaja yang telah berhasil menyusun doktrin paham akidah aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman (mazhab) akidah aswaja yang secara terminologi diakui sebagai paham atau mazhab resmi umat Islam. Secara teks, ada beberapa hadits yang dapat menjadi dalil tentang paham aswaja sebagai paham yang menyelamatkan umat Islam dari neraka, dan juga yang dapat menjadi pedoman pengertian substantif paham aswaja. Di antara teks hadits aswaja ialah:
Rasulullah SAW bersabda : " .......... umatku akan pecah menjadi 73 golongan, hanya salah satu golongan saya yang masuk surga sedangkan 72 golongan yang lain akan masuk neraka” lalu saya bertanya siapa mereka ya Rasulullah? Jawab rasulullah Ahlussunnah Wal Jama'ah. Hadist  at Thabrani. Dari Anas, bahwa Nabi SAW bersabda, "Bani Israil telah pecah menjadi 73 golongan, dan umatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya: "Siapakah golongan itu, wahai Rosulullah?", Jawab Rosulullah: "Ialah golongan yang melaksanakan Islam seperti aku dan sahabatku melakukannya." Rosulullah SAW bersabda, "Umatku akan pecah menjadi 73 aliran, semuanya di neraka kecuali satu aliran", Para sahabat bertanya, "Ya Rosulullah, apakah aliran yang menang (selamat) itu?" Jawab beliau, "Ahlussunnah Wal Jamaah", Rosulullah ditanya lebih jauh: "Apa sunna dan jamaah itu?" Rosulullah menjawab : "Ia adalah aliran yang aku ikuti dan diikuti para sahabat." Teks hadits tentang iftiroq al-ummah ini sanadnya banyak, sehingga ulama pun berbeda pendapat mengenai sahnya hadits tentang iftiroq ini dan karenanya tidak dapar dijadikan dalil. Di antara ulama itu ialah Abu Muhammad ibn Hazam pengarang kirab 'Al-Fasl fi al-Milal wa al-Nihal. Tapi banyak juga ulama yang menerima hadits ifriraq ini karena hadirs ini diriwayarkan o!eh banyak Sahahat Nabi SAW, seperti Anas ibn Malik, Abu Hurairah, Abu Darda, Jahir, Abu Said al-Khudriy dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud iftiraq da!am konreks hadits ini ialah perbedaan dalam pokok-pokok aqidah. Karena hal inilah yang akan menyelamatkan manusia dri neraka apabila hal itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dan Sahabatnya. Jadi inti dan paham aswaja, seperti juga terdapat dalam teks dalil hadits yang nomor tiga ialah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW dan penunjuk Sahabarnya. Karena itu sah-sah saja jika ada upaya ijtihad merumuskan kembali paham aswaja apabila ternyata rumusan paham aswaja oleh para ulama terdahulu memiliki bobot yang kurang relevan dengan makna yang rersirat, dari dalil-dalil aswaja.
Sejarah Lahir Aswaja
Paling rnudah dalam ................. bersambung di edisi ke-3)





Di antara anugerah Allah kepada umat Nabi Muhammad adalah adanya pahala yang tidak putus bagi orang yang meninggal dunia, baik kerena amal sholih yang ia lakukan ketika masih hidup maupun amal sholeh atau shodaqoh orang yang masih hidup yang pahalanya diniatkan untuknya.
Tapi tidak seluruh umat Islam sepakat atas anugerah ini. Ada sebagian di antara mereka yang mengingkarinya. Mereka berpendapat bahwa orang yang meninggal dunia sama sekali tidak memperoleh manfaat dari amal orang yang masih hidup kerena ketika seseorang meninggal ia hanya memperoleh pahala dari amal sholeh yang ia lakukan semasa hidup.
Asy Syaukani (w. 1255 H) – yang pemikirannya banyak dipuja orang yang menolak kirim pahala – mengatakan bahwa orang-orang Mu’tazilah Salah satu sekte dalam Islam yang digolongkan sebagai ahli bid’ah karena menganggap Al-Qur’an sebagai makhluk dan akal sebagai instrumen mutlak untuk menentukan kebenaran. Sekte ini dipelopori oleh Washil bin ‘Atha  berpendapat bahwa ibadah apapun, pahalanya tidak akan sampai ke mayit. Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nail al Authaar, Kairo, Daar al Hadiits, 2005 M/1426 H, jilid II, h. 543
Dr. Ali Jum’ah – salah seorang Mufti Mesir yang produktif – dalam  kitab Al Bayaan li maa Yusyghil Al Adz-haan mengutip pendapat Ibnu Qudaamah Al Maqdisi yang menuliskan bahwa pendapat yang mengatakan amal sholeh bisa bermanfaat untuk orang yang meninggal dunia adalah merupakan ijma’ ulama, selanjutnya ia berkata :
“Ibadah apapun yang dilakukan seseorang kemudian ia menjadikan pahalanya untuk mayit yang beragama Islam maka pahala tersebut bermanfaat bagi mayit insya Allah” Dr. Ali Jum’ah, Al Bayaan lima Yusyghil Al Adz-haan, Kairo, Al Muqaththam, tt, h.  274
Jadi, jika pendapat tersebut merupakan ijma, maka berarti hampir seluruh ulama bersepakat. Arti ijma adalah kesepakatan para ahli ijtihad umat ini (umat Muhammad) terhadap suatu hukum syar’i di suatu zaman. Muhammad Khadhori Bik, Ushuul al Fiqh, Beirut, Daar al Fikr, 1988 M/1409, h. 271 Oleh karenanya jika ada ulama yang berbeda pendapat, jumlahnya, sangat sedikit (naadir) atau bahkan tidak ada sama sekali.
Demikian pula orang yang berpendapat bahwa amal sholeh orang yang hidup pahalanya tidak bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal jumlahnya sangat sedikit.
Dalil-Dalil Bahwa Amal Orang Hidup Bermanfaat Untuk Orang Mati
Orang-orang yang berkeyakinan bahwa amal sholeh orang yang masih hidup pahalanya akan sampai atau bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal dunia mendasari pendapat mereka dengan dalil-dalil di bawah ini :
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Ya Rasulullah! Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Aku mengira jika ia sempat berbicara tentu akan (berwasiat) shadaqoh, apakah ia akan memperoleh pahala jika aku bershodaqoh atas namanya?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya” (Hadits Shohih riwayat Bukhori no : 1388 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori, Shohih Al Bukhori, Kairo : Ad Daar Adzahabiah, tt, h: 287 Muslim no : 1004) Abu al Husain Muslim bin al Hajaj al Qusairi an Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut, Daar al Fikr, 1992), Juz I, h. 444
Dalam hadits ini mengandung pengertian bahwa bershodaqoh atas nama mayyit bermanfaat untuknya dan pahalanya sampai kepadanya. Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawi Ad Dimasyqi, Shohih Muslim bin Syarh Al Nawawi, Beirut : Daar al Fikr, 2000 M/1421 H
Tapi shodaqoh dalam hadits tersebut tidak dikemukakan secara khusus dalam bentuk apa dan bagaimana, jadi bersifat umum dan mutlak.
Jika begitu, ibadah apa yang dianggap termasuk shodaqoh? Hadits di bawah ini menjelaskan jawaban atas pertanyaan ini!
Artinya :
Diriwayatkan dari Hudzaifah r.a. dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, “Tiap-tiap kebaikan adalah shodaqoh” (Hadits riwayat Muslim no. 1005) Abu al Husain Muslim bin al Hajaj al Qusairi an Naisaburi, Shahih Muslim, Juz II, h : 445
Dengan hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa semua perbuatan yang dianggap baik adalah shodaqoh termasuk sholat, membaca Al-Qur’an, dzikir, memberi makanan, puasa dan lain-lainnya.
Pengertian tersebut didukung oleh Hadits di bawah ini :
Diriwayatkan dari Abu Dzar r.a. bahwa sesungguhnya sekelompok orang diantara sahabat-sahabat Nabi SAW berkata kepadanya, “Ya Rasulullah orang-orang kaya pergi dengan berbagai pahala, mereka sholat seperti kami sholat, mereka berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka bisa bershodaqoh dengan kelebihan harta mereka”. Nabi bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang bisa kalian shodaqohkan? Sesungguhnya tiap-tiap tasbiih (membaca subhanallah) adalah shodaqoh, tiap-tiap takbiir (memabaca Allahuakbar) adalah sodaqoh, tiap-tiap tahliil (membaca laa ilaaha illallah) adalah sodaqoh, dan pada kemaluan diantara kamu juga ada sodaqohnya” Mereka berkata, “Ya Rasulullah apakah jika diantara kami memenuhi syahwatnya (melakukan hubungan suami istri) maka dapat pahala?” Nabi menjawab, “Bagaimana menurut pendapat kalian kalau syahwat itu di tujukan pada perbuatan yang haram apakah hal tersebut berdosa? Demikian pula jika syahwat itu ditujukan pada yang halal tentu akan mendatangkan pahala” (Hadits shohih Muslim no. 1000, 1007).  Abu al Husain Muslim bin al Hajaj al Qusairi an Naisaburi, Shahih Muslim, Juz II, ibid.
Semakna dengan hadits diatas adalah hadits dibawah ini :
Dari Aisyah r.a. ia berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya diciptakan pada tiap-tiap manusia keturunan Adam berupa tiga ratus enam puluh persendian. Maka barang siapa bertakbir kepada Allah (mengucapkan Allahu Akbar), memuji Allah (mengucapkan Alhamdulillah), bertahlil kepada Allah (mengucapkan Laaillaha illah), mensucikan Allah (membaca Subhaanallah), memohon ampun kepada Allah, menepikan batu di jalan yang dilalui manusia, atau duri, atau tulang dan memerintahkan kebaikan serta melarang kemungkaran sejumlah tiga ratus enam puluh jumlah persendian maka sesungguhnya dia pada saat tersebut telah menjauhkan dirinya dari neraka” (Hadits shohih riwayat Imam Muslim no : 1007)  Abu al Husain Muslim bin al Hajaj al Qusairi an Naisaburi, Shahih Muslim, Juz II, ibid.
Dua Hadits tersebut menjelaskan bahwa makna shodaqoh sangat luas cakupannya, yaitu antara lain mengucapkan kalimat-kalimat yang mentauhidkan dan mengagungkan Allah. Imam Al Qurthubi berkata, “Bahwa dengan makna yang luas seperti itu maka membaca Al-Qur’an, berdo’a dan beristigfar (memohon ampun) pahalanya akan sampai ke mayyit karena semuanya juga termasuk sodaqoh. Dan sesungguhnya, sodaqoh itu tidak tertentu hanya dengan harta”.  Al Imam Al Qurthubi, Al Tadzkirah fi Ahwaal al Mauta wa Umuur al Aakhirah, (tahkik dan ta’liq oleh : Ishaam al Din Al Shobaabati) Kairo, Daar al Hadits, 2003 M/ 1424 H,  h. 66
Referensi
1.Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nail al Authaar, Kairo, Daar al Hadiits, 2005 M/1426 H, jilid II.
2.Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori, Shahih Al Bukhori, Kairo : Ad Daar Adzahabiah, tt.
3.Abu al Husain Muslim bin al Hajaj al Qusairi an Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut, Daar al Fikr, 1992).
4.Dr. Ali Jum’ah, Al Bayaan lima Yusyghil Al Adz-haan, Kairo, Al Muqaththam, tt.
5.Muhammad Khadhori Bik, Ushuul al Fiqh, Beirut, Daar al Fikr, 1988 M/1409.
6.Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawi Ad Dimasyqi, Shohih Muslim bin Syarh  Al Nawawi, Beirut : Daar al Fikr, 2000 M/1421 H.
7.Al Imam Al Qurthubi, Al Tadzkirah fi Ahwaal al Mauta wa Umuur al Aakhirah, (tahkik dan ta’liq oleh : Ishaam al Din Al Shobaabati) Kairo, Daar al Hadits, 2003 M/ 1424 H.
* M. Buchori Maulana

Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>