Senin, 31 Oktober 2011

Benarkah PETA untuk Kyai?

Benarkah PETA untuk Kyai?
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Dalam tulisannya Letjen TNI (Purn.) Z.A Maulani mengemukakan bahwa pihak militer Jepang mempersiapkan tentara PETA (Pembela Tanah Air), didirikan dengan para Kyai sebagai Komandan Batalyon (dai-dancho)nya, sedangkan mereka yang tidak mempunyai basis massa di pesatren atau kaum Priyayi diangkat sebaga komandan kompi dan peleton (chodan-cho dan shudan-cho). Menurut Maulani jumlah laskar PETA sebanyak 60 batalyon, namun menurut sebuah sumber lain (Mansur Suryanegara) mereka berjumlah 100 batalyon. Namun ketika pembentukan PETA disusul Hizbullah dan Barisan Sabilillah, belakangan menurut Suyanegara, para Kyai itu hanya memimpin Hizbullah dan Sabililah saja dengan jumlah 40 Batalyon. Sedangkan Maulani menggambarkan sedikit demi sedikit kepemimpinan batalyon “diambil alih” oleh para komandan kompi non kyai tersebut ini, karena banyak para Komandan Batalyon dari lingkungan Kyai itu kembali ke pesantren untuk mengajar.

Pergantian para pemimpin batalyon itu, dengan sendirinya memperkuat anggapan bahwa kaum santri didesak secara ‘teratur’ dari kancah kepemimpinan oleh mereka yang tidak beraspirasi keagamaan. Penulis tidak ingin mempertahankan pendapat itu, karena ia tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya. Hanya saja, memang hal itu terjadi dan melahirkan reaksi tersendiri dari para pemimpin gerakan-gerakan Islam dalam empat dasawarsa terakhir ini. Seolah-olah Islam didesak oleh berbagai pihak, karena itu harus dikembangkan mental begegeg (keras kepala) untuk menghadapi desakan-desakan tersebut. Sulit bagi para perwira “non santri” untuk menerima kenyataan sejarah bahwa memang Islam sebagai ideologi politik tersendiri memiliki perjuangan tersendiri pula. Ini pula yang melatarbelakangi sifat “keras kepala” yang ditunjukkan para perwira santri itu, yang selalu dinilai tidak mengikuti peraturan dan selalu berbuat semaunya saja. “Pemberontakan” para santri di masa lampau, dari Perang Aceh hingga perlawanan bersenjata Kyai Mustafa melawan Jepang di Tasikmalaya, justru menunjukkan disiplin yang sangat tinggi dari kaum santri itu. Kalau toch ada seorang dua orang perwira santri yang berbuat semaunya, dapatkah itu digeneralisir menjadi sikap umum para santri? Dapatkah pengislaman tanah air kita berlangsung berabad-abad lamanya, tanpa disiplin yang tinggi dan kemampuan mengendalikan diri yang sangat baik, sebagaimana terbukti dalam perjalanan sejarah? Apalagi kalau proses itu juga terjadi dengan adanya “pembelotan’ dalam kaum ningrat Syafei’i di lingkungan Kerajaan Bugis yang menghasilkan Theo Syafei’i dan Sirato Syafe’i yang beragama Kristen.

Tengoklah Kyai Mahfudz Sumolangu (Kebumen) adalah pemimpin pasukan-pasukan santri di daerah Banyumas Selatan. Ia melawan tentara berpendudukan Belanda dengan gigih, tentu saja dengan disiplin tinggi dan korban yang tidak sedikit. Tetapi rakyat mencintainya dan memberikan perlengkapan (minimal konsumsi) kepada pasukan-pasukan yang dipimpinnya itu. Begitu usai perang gerilya melawan Belanda, Kabinet Hatta di tahun 1950 mengikuti usulan Kolonel. A.H. Nasution, dengan memutuskan dilakukannya rasionalisasi guna pembentukan sebuah tentara yang terorganisir rapi memiliki mobilitas tinggi dan sewaktu-waktu dapat dikerahkan untuk mengatasi berbagai upaya perlawanan bersenjata terhadap negara. Rasionalisasi itu terutama berisikan ketentuan para komandan batalyon haruslah ‘berijazah’ ini tentu dimaksudkan, agar para pemimpin batalyon kita dapat memperlihatkan pada kolega-kolega mereka dari luar negeri, bahwa mereka berpendidikan cukup.

Tetapi ini tentu saja “merugikan” orang-orang seperti KH. Mahfudz dari Sumolangu itu, yang tidak akan dapat menjadi komandan batalyon karena ijazah berbahasa Arab yang dimilikinya tidaklah dianggap sederajat dengan Ijazah “pendidikan umum” yang masih menggunakan bahasa Belanda, atau berbahasa nasional Indonesia dengan ejaan lama. Karena itu, ia tidak dijadikan komandan batalyon pasukan yang dipimpinnya sewaktu menentang Belanda dalam perang gerilya, melainkan perwira A. Yani yang diangkat menjadi komandan batalyon di Purworejo. Beliau menjadi sangat marah dan karena pengangkatan A. Yani dilakukan pemerintah, maka iapun melakukan pemberontakan bersenjata melawan negara. Ia membentuk AUI (Angkatan Umat Islam) di Kebumen dan akhirnya berperang melawan “teman-teman seperjuangan” di masa lampau.

Tragedi seperti ini terjadi di beberapa tempat, seperti di Sulawesi Selatan (A. Kahar Mudzakar), Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar) dan Kompi Sofyan dari Batalyon 426 di Kudus, DI-TII yang dipimpin Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo dan gerakan DI-TII yang dipimpin Daud Baureuh (Aceh). Insentifitas ‘pemberontakan’ seperti ini, entah disengaja atau tidak tentunya memberikan simbol negatif terhadap berdirinya negara nasional kita dan pembentukan angkatan perang untuk mempertahankannya. Inilah yang kita jalani dan kita alami selama puluhan tahun dengan korban nyawa manusia begitu banyak, baik dikalangan mereka yang bertempur maupun juga rakyat.

Rangkaian peristiwa yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa gerakan Islam di negeri ini dahulunya tidak memiliki strategi yang matang. Berbeda dengan para pemimpin politik gerakan-gerakan Islam secara meyakinkan mengeluarkan/menghapus Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar 1945, sementara para pemimpin militer santri justru melakukan pemberontakan-pemberontakan bersenjata dengan menggunakan nama Islam. Sedangkan para pemimpin santri yang tetap berada di lingkungan TNI, seperti Jendral Sarbini justru dianggap meninggalkan “cita-cita perjuangan Islam”. Dengan demikian perjuangan menegakkan ‘kesantrian’ di lingkungan angkatan perang kita dianggap tidak bernilai sama sekali. Karena sebenarnya sikap religiositas (semangat keberagamaan) itu telah ditunjukan “tentara santri” dengan bermain rebana dan membaca Rawi di Aceh dalam pelaksanaan Hukum Darurat Militer (HDM) di Aceh saat ini.

Jadi sebenarnya tentara kita tidak pernah meninggalkan manivestasi keagamaan yang mereka miliki, selama hal itu tidak dikaitkan secara langsung “kebijakan keagamaan” yang berwajah politik di kalangan tentara kita sendiri. Maka yang harus dijauhi bukannya manivestasi semangat keberagamaan, melainkan “semangat politik” dalam melaksanakan kehidupan beragama. Inilah yang harus senantiasa kita ingat dalam memahami rangkaian kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan tertinggi angkatan perang kita. Tentu saja hal itu harus kita hindari sejauh mungkin, karena akan membelokan angkatan perang kita dan tugas yang sebenarnya yaitu mempertahankan negara dan bangsa.

Karena itulah kita mencatat dengan penuh kegembiraan apa yang dinyatakan Panglima TNI baru-baru ini, “di duga ada pihak-pihak yang ingin menunda pelaksanaan pemilu tahun 2004.” Ini memperkuat pendapat penulis, bahwa TNI yang kita miliki sekarang ditambah 100.000 ribuan orang aktivis dari kalangan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dapat diserahi tugas mencatat hasil-hasil pemilu ditempat-tempat pemungutan suara (TPS), serta melaporkannya pada sebuah pemungutan suara di Jakarta melalui telpon, internet, eadio dan sebagainya. Sebagai perbandingan atas laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan demikian dapat dicegah terjadinya menipulasi hasil-hasil pemilu itu. Sederhana untuk dikatakan namun sulit dilaksanakan, bukan?

Jakarta, 8 Desember 2004
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Menghidupkan Mozaik Islam Nusantara

Menghidupkan Mozaik Islam Nusantara
Oleh: R u m a d i
 
Kementerian Agama, melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Islam menyelenggarakan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-11 telah digelar di Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011. ACIS merupakan agenda tahunan yang diadakan Kemenag yang diikuti peminat kajian Islam, baik berasal dari Perguruan Tinggi Agama Islam, lembaga-lembaga keagamaan maupun aktifis LSM.
 
Forum tersebut diharapkan bisa menjadi tolok ukur perkembangan kajian Islam di tanah air, karena di sini akan dipresentasikan riset mengenai berbagai persoalan keislaman yang diharapkan akan member insight baru bagi kehidupan bangsa.
 
Tahun ini, ACIS mengambil tema “Merangkai Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa”. Dalam tema ini terdapat beberapa kata kunci yang penting, yaitu “mozaik Islam”, “ruang publik” dan “karakter bangsa”.
Pertanyaannya, bagaimana menjelaskan kata-kata kunci tersebut dalam konteks kehidupan bangsa mutakhir? Pertanyaan inilah yang berusaha dijawab tulisan pendek ini.
 
Mozaik Islam (Nusantara)
 
Kata “mozaik Islam” sebenarnya merupakan bentuk pengakuan bahwa Islam itu tidak berwajah tunggal. Keanekaragaman Islam itu bisa dilihat dalam beberapa level. Pertama, level pemahaman atas doktrin dan ajaran. Memang, acuan utama ajaran Islam bagi umat Islam adalah sama, yaitu al-Quran dan Hadis, namun cara umat Islam memahami ajaran agamanya bisa berbeda-beda satu dengan yang lain. Hal inilah yang menyebabkan mengapa hampir dalam semua aspek ilmu ke-Islaman, seperti teologi, fiqih, tafsir, tasawuf dan sebagainya senantiasa terdapat madzhab dan aliran-aliran pemikiran.
 
Namun hal ini tidak berarti tidak ada yang “pasti” dalam ajaran Islam, seperti soal adanya Tuhan, kerasulan Nabi Muhammad, kewahyuan al-Quran dan sebagainya. Untuk persoalan yang sudah diketahui keniscayaanya (ma’lûmun min al-dîn bi al-dharûrah) seperti ini tugas umat Islam tinggal meyakini, meskipun tidak berarti tidak ada ruang diskusi.
 
Sebagai contoh, memang Allah itu esa, tapi bagaimana keesaan Tuhan itu? Nabi Muhammad memang Rasulullah, tapi bagaimana kerasulan itu dijelaskan? Al-Quran memang wahyu Allah, tapi bagaimana proses pewahyuan itu berlangsung? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membentuk aliran-aliran pemikiran di dalam Islam yang akhirnya membentuk mozaik ilmu-ilmu ke-Islaman.
 
Kedua, keanekaragaman Islam dalam level ekspresi sosial, politik dan kebudayaan. Pada level ini, keanekaragaman Islam luar biasa. Umat Islam di nusantara, dan juga di berbagai belahan dunia yang lain, mempunyai kekayaan dan khazanah yang sangat kaya terkait dengan persoalan sosial politik dan kebudayaan yang masing-masing otonom.
 
Islam Indonesia misalnya mempunyai gambaran yang sangat khas, yakni Islam berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tanpa bermaksud menundukkan dan menggantikannya menjadi varian Islam negara dan masyarakat manapun. Islam Indonesia adalah Islam berbaju kebudayaan Indonesia, Islam bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya.
 
Islam Indonesia bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa. Islam Indonesia adalah Islam yang mengendap dan tersaring ke dalam keindonesiaan.
 
Ruang Publik
 
Ruang publik (public sphare) merupakan istilah yang muncul sebagai bagian dari abad pencerahan. Ruang publik adalah ruang dimana setiap orang tanpa melihat agama, suku, ras maupun golongan dapat melakukan kontestasi secara bebas dan terbuka. Kata kunci dari ruang publik adalah kesamaan dan kesetaraan pola relasi masing-masing pihak yang terlibat dalam kontestasi tersebut.
 
Dengan demikian, dalam konteks politis, ruang publik dapat dipahami sebagai ruang untuk warga negara, yakni individu bukan sebagai anggota ras, agama atau etnis, tetapi sebagai anggota politis atau rakyat.
 
Ruang publik bukanlah institusi atau organisasi, tetapi –seperti dikatakan Habermas—lebih sebagai jaringan yang amat kompleks untuk mengkomunikasi gagasan, opini dan aspirasi.
 
Tiap komunitas dimana di dalamnya dibahas norma-norma publik, maka akan menghasilkan ruang publik. Karena itu, dalam negara demokratis akan banyak terdapat ruang publik. Dalam konteks ini, makna ruang publik bisa kabur, penuh kompetisi,bahkan anarkhis, meskipun hal itu tidak berarti tanpa aturan. Kepublikan akan menseleksi sendiri tema-tema dan alasan-alasan yang rasional dalam masyarakat.
 
Kebalikan dari ruang publik adalah ruang privat. Ruang privat adalah ruang dimana seseorang bisa hidup dalam dirinya sendiri tanpa campur tangan pihak lain. Inilah wilayah independen dimana orang bisa secara bebas melakukan pilihan-pilihan (atau juga tidak memilih) atas segala sesuatu. Dalam ruang tersebut memungkinkan individu untuk mengembangkan dan menyempurnakan dirinya di luar campur tangan institusi luar.
 
Meski secara teoritik bisa dijelaskan, namun dalam prakteknya dua wilayah tersebut kadang tumpang tindih. Sesuatu yang secara teoritik dikategorikan sebagai bagian dari ruang privat, namun prakteknya bisa berdimensi publik, begitu juga sebaliknya.
 
Karakter Bangsa
 
Karakter bangsa bisa dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi kekuatan sebagai cirri khas sebuah bangsa. Meski kata karakter itu netral, bisa mengandung arti baik dan buruk, namun makna yang dikehendaki dalam kaitan ini adalah sifat positif yang menjadi ciri pembeda sebuah bangsa.
 
Karakter sebuah bangsa bukanlah sesuatu yang muncul dengan sendirinya, tapi melalui proses panjang yang terkait dengan berbagai aspek, seperti sejarah, budaya, politik dan kemampuan untuk merfleksikannya.
 
Apa karakter bangsa Indonesia? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Apakah bangsa Indonesia ini bangsa yang peramah atau pemarah? Apakah kita ini bangsa yang ulet atau bangsa yang mudah menyerah? Apakah kita ini bangsa pejuang atau pecundang? Apakah kita ini bangsa pendendam atau bangsa pemaaf? Apakah kita ini bangsa yang jujur atau culas?
 
Pertanyaan-pertanyaan di atas masih bisa terus diperpanjang sebagai indikator untuk melihat karakter sebuah bangsa.
 
Merumuskan Tantangan
 
Dari penjelasan singkat tersebut kita bisa memahami bahwa sebagai agama yang mayoritas dianut bangsa ini, umat Islam mempunyai tanggung jawab besar untuk menggunakan spirit ke-Islaman untuk merawat ruang publik. Hal ini penting agar kebhinekaan masyarakat Indonesia bisa terjaga. Bila ruang publik sudah tidak sehat, bahkan ada upaya privatisasi ruang publik, hal demikian jelas membahayakan perjalanan bangsa ini. Karena itu, ada beberapa tantangan yang perlu segera dijawab.
 
Pertama, keanekaragaman Islam harus menjadi kekuatan bangsa dan tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk mendiskriminasi dan saling menindas. Hal ini penting untuk direfleksikan bersama di tengah situasi dimana akhir-akhir ini kekerasan berbasis agama semakin menanjak beberapa tahun terakhir ini. Ada kecenderungan bangsa kita semakin tidak bisa menerima perbedaan.
 
Kedua, radikalisme agama belakangan ini semakin marak. Salah satu sebabnya adalah karena masyarakat Indonesia yang dikenal moderat tidak cukup memberi perlawanan terhadap kelompok yang menyebarkan kebencian dan permusuhan terhadap orang yang berbeda dengan dirinya. Hal demikian tidak boleh terus dibiarkan, karena karakter fundamentalisme Islam sebenarnya bukan tipikal genuine umat Islam Indonesia.
 
Ketiga, meski pemerintah terus mendengungkan mengenai pembangunan karakter bangsa, namun harus diakui dengan jujur bahwa karakter sebuah bangsa itu tidak muncul secara instan. Karena itu, kita masih harus berjuang melawan pembusukan bangsa melalui terorisme, radikalisme, dan juga korupsi.
 
Bangsa ini, terutama umat Islam, masih harus bekerja keras untuk member jawaban terhadap tiga persoalan tersebut. Tentu saja Kementerian Agama yang pertama-tama harus menjawab secara riil dari problem tersebut.[]

Penulis adalah dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti Senior the Wahid Institute Jakarta.
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Kamis, 27 Oktober 2011

Sunnahnya Walimatus Safar

Sunnahnya Walimatus Safar
 
Bagi masyarakat muslim Indonesia, ibadah selalu diperlengkapi dengan berbagai macam tindakan yang menunjang ibadah itu sendiri, yang selanjutnya di kenal dengan tradisi. Sebagian banyak tradisi tersebut merupakan hasil dari keterpengaruhan antara budaya local dengan Islam. Kita mengenal ngabuburit, kultum, kolak, buka puasa bersama, mudik dan lainsebagainya di sekitar puasa. Kita juga mengenal tahlilan, talqin, tujuh hari dan seterusnya dalam tradisi kematian. Dan juga walimatus safar bagi ibadah haji. Hal ini merupakan karakter Islam Indonesia yang tidak dimiliki oleh Islam yang lain. Tradisi ini tidak muncul begitu saja, ia memiliki sejarah panjang. Sejarah itu menunjukkan bahwa berbagai tradisi tersebut dilahirkan melalui pemikiran yang dalam oleh para kyai dan ulama pendahulu melalui berbagai pertimbangan soiologis. Apa yang dilakukan para ulam terdahulu ini, bukanlah sekedar istinbath al-hukmi tetapi menciptakan lahan ibadah tersendiri yang dapat diisi dan dipenuhi dengan pahala bagi yang menjalankannya.

Di tengah gelombang globalisasi dan modernisasi, tradisi semacam ini haruslah dijaga untuk membentengi masyarakat dari individualism yang akut. Akan tetapi di kemudian hari, mereka yang tidak tahu dan tidak mau belajar sejarah menggugat beberapa tradisi itu dengan menganggapnya sebagai hal bid’ah, bahkan menghukumi para pelakunya sebagai pendosa. Naudzubillah min dzalik.
 
Begitu juga halnya dengan walimatussafar. Para ulama pendahulu tidak mungkin mewariskan tradisi kepada anak-cucunya sebuah bid’ah tanpa alasan. Terbukti dalam sebuah hadits diterangkan:

عن جابر بن عبدالله رضى الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم لماقدم المدينة نحر جزورا اوبقرة (صحيح البخارى, باب الطعم عند القدوم)
 
Artinya: Hadits diceritakan oleh Jabir bin Abdullah ra. Bahwa ketika Rasulullah saw datang ke madinah (usai melaksanakan ibadah haji), beliau menyembelih kambing atau sapi (Shahih Bukhari, babut Ta’mi indal qudum)
 
Begitu pula yang diterangkan dalam al-Fiqhul Wadhih
 
يستحب للحاج بعد رجوعه الى بلده ان ينحر جملا او بقرة او يذبح شاة للفقراء والمساكين والجيران والاخوان تقربا الى الله عزوجل كمافعل النبي صلى الله عليه وسلم
 
Artinya: Disunnahkan bagi orang yang baru pulang haji untuk menyembelih seekor onta atau sapi atau kambing untuk diberikan kepada faqir, miskin, tetangga, saudara. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt seperti yang dilakukan Rasulullah saw. (al-fiqhul wadhih minal kitab wassunnah, juz I . hal 673
 
Rasa syukur atas ni’mat yang begitu besar karena telah diberi kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji setelah melunasi ONH, diapresiasikan dalam bentuk walimatus sasfar yang dilakukan menjelang pemberangkatan. Di samping mengungkapkan rasa syukur, momen walimatus safar juga bermanfaat untuk berpamitan dan mohon do’a restu kepada para tetangga dan keluarga. Di sinilah kelebihan tradisi Islam di Indonesia. Selalu mempertimbangkan kebersamaan dan kekeluargaan dalam sebuah peribadatan, selain juga ridha Allah swt sebagai tujuan yang utama.
 
NU Online
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Senin, 24 Oktober 2011

Adzan Berangkat Haji

Adzan Berangkat Haji
 
Rupanya tidak begitu lazim adzan disuarakan di kala ada seorang yang mau berangkat haji. Akhir-akhir ini yang dilakukan oleh calon jamaah haji ialah pamit sana sini, ke semua sesepuh, para ulama, kiai, dan tokoh masyarakat, kira-kira satu minggu sebelum hari keberangkatan.

Bahkan ada yang menyelenggarakan pengajian akbar dengan mendatangkan muballigh/kiai di luar daerah. Maksudnya tidak lain adalah berpamitan dan minta maaf kepada saudara seiman sehubungan akan keberangkatannya pergi ibadah haji. Akan tetapi biasanya orang NU membuat acara demikian: pengantar protokolir, sambutan, doa calon jamaah haji, penutup dan adzan untuk keberangkatan.

Adzan yang dikumandangkan orang NU ni bberdasarkan pada, pertama, penjelasan dalam kitab I’anatut Thalibin, Juz 1 hlm 23 berikut ini:
 
قوله خلف المسافر—أي ويسنّ الأذان والإقامة أيضا خلف المسافر لورود حديث صحيخ فيه قال أبو يعلى في مسنده وابن أبي شيبه: أقول وينبغي أنّ محل ذالك مالم يكن سفر معصية

"Kalimat 'menjelang bepergian bagi musafir' maksudnya dalah disunnahkan adzan dan iqomah bagi seseorang yang hendak bepergian berdasar hadits shahih. Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan: Sebaiknya tempat adzan yang dimaksud itu dikerjakan selama bepergian asal tidak bertujuan maksiat."

Dalil kedua diperoleh dari kitab yang sama:
 
فائدة: لم يؤذن بلال لأحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم غير مرة لعمر حين دخل الشام فبكى الناس بكاء شديدا قيل إنه أذان لأبي يكر إلي أن مات ... الخ

"Sahabat Bilal tidak pernah mengumandangkan adzan untuk seseorang setelah wafatnya Nabi Muhammad kecuali sekali. Yaitu ketika Umar bin Khattab berkunjung ke negeri Syam. Saat itu orang-orang menangis terharu sejadi-jadinya. Tapi ada khabar lain: Bilal mengumandangkan adzan pada waktu wafatnya Abu Bakar."

Dalil ketiga, dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, hal 36:
 
من طريق أبي بكر والرذبري عن ابن داسة قال: حدثنا ابن محزوم قال حدثني الإمام على ابن أبي طالب كرم الله وجهه وسيدتنا عائشة رضي الله عنهم—كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا استودع منه حاج أو مسافر أذن وأقام – وقال ابن سني متواترا معنوي ورواه أبو داود والقرافي والبيهقي

"Riwayat Abu Bakar dan Ar-Rudbari dari Ibnu Dasah, ia berkata: Ibnu Mahzum menceritakan kepadaku dari Ali dari Aisyah, ia mengatakan: Jika seorang mau pergi haji atau bepergian, ia pamit kepada Rasulullah, Rasul pun mengadzani dan mengomati. Hadits ini menurut Ibnu Sunni mutawatir maknawi. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Qarafi, dan al-Baihaqi."

Demikian pula kata Imam al-Hafidz yang dikutip oleh Sayyid Abdullah Bafaqih, Madang. Menurutnya, hadits ini juga terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, hal 36.
 
KH. Munawir Abdul Fattah
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Minggu, 23 Oktober 2011

Faham Kebangsaan NU

Faham Kebangsaan NU
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Pada pertengahan minggu yang lalu, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) menyelenggarakan pertemuan pra-Rakernas, yang berlangsung di Gedung Kantor PBNU. Penulis diminta berceramah tentang faham kebangsaan di kalangan warga NU. Dalam sambutan sebelumnya, Prof. Cecep Syarifudin, salah seorang Ketua PBNU periode ini, menceritakan bagaimana KH. M Hasyim As’yari dalam tahun 1943, menyampaikan kepada Laksamana Maeda dari pemerintahan kependudukan Jepang bahwa, mendiang Soekarno adalah pilihan NU untuk melakukan negosiasi tentang kemerdekaan Indonesia dari tangan Jepang. Ini sebenarnya adalah bagian dari perjanjian lisan secara diam-diam antara pemerintah pendudukan Jepang di satu pihak, dengan para pemimpin Indonesia, di pihak lain. Mereka berjanji, jika tentara Sekutu mendarat ke Kepulauan Jepang, tanah-tanah jajahannya akan memperoleh kemerdekaan.

Perjanjian ini dimaksudkan untuk membuat bangsa-bangsa terjajah itu untuk tidak dikuasai oleh pihak Sekutu. Penunjukkan Bung Karno oleh KH. M. Hasyim As’yari itu, merupakan bukti bahwa beliau sebagai otoritas tertinggi di NU tidak memikirkan kepentingan NU lebih dari kepentingan bangsa. Jika masalahnya mengenai NU orang yang mengerjakan haruslah dari lingkungan tersebut, namun jika persoalannya menyangkut kepentingan bangsa, maka orang terbaiklah yang harus diangkut, walaupun tidak berada di lingkungan NU sendiri. Di sini Prof. Syarifuddin, yang juga menantu (Alm.) KH. Anwar Musadad dari Garut itu, menyebutkan bagaimana faham kebangsaan dalam bentuk penunjukkan personalia dimiliki NU, serta dipahaminya. Prof. Syarifudin menyimpulkan dengan demikian, bahwa faham kebangsaan juga dimiliki NU.

Dalam uraiannya, penulis mengemukakan “bukti-bukti lain” bahwa NU memiliki faham kebangsaan yang diinternalisasikan sendiri oleh NU, dalam hal-hal yang bersangkut paut dengan faham kebangsaan itu. Dari sudut diplomasi penulis menceritakan bagaimana mendiang ayahnya KH. A. Wahid Hasyim mencoba “memperkecil” jarak antara para wakil gerakan-gerakan Islam di satu pihak dan para wakil golongan nasionalis” dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tahun 1945 untuk sama-sama menyetujui gagasan Syariah Islam sebagai pengganti istilah “negara Islam” dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian, karena keberatan Mr. Maramis dalam PPKI atas istilah Syariah Islam, beliau menyakinkan para wakil gerakan Islam itu untuk “membuangnya” dari teks UUD 1945 pada hari berikutnya, 18 Agustus 1945.

Contoh di atas ditambahi pula oleh penulis dengan sebuah contoh lain, bahwa PBNU yang berkedudukan di Surabaya mengeluarkan sebuah seruan, yang kemudian di kenal dengan nama Resolusi Jihad, pada tanggal 22 Oktober 1945, sekitar 2 bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Dinyatakan oleh PBNU dalam resolusi itu, bahwa mempertahankan Republik Indonesia adalah kewajiban berjihad. Dengan demikian sebuah negara sekuler dipertahankan oleh sebuah ajaran agama yang tentunya sangat menarik untuk dikaji. Dari contoh di atas, penulis menyimpulkan bahwa NU mengembangkan faham kebangsaan yang bersumber pada ajaran agama Islam yang mengikuti pandangan-pandangan mazhab fiqh terkenal dengan nama ajaran Islam Tradisional. Faham ini sudah tentu juga sangat dipengaruhi oleh keadaan lokal.

Tetapi, yang sebearnya paling menarik perhatian, adalah apa yang dituliskan dan dikupas oleh Einar Sitompul, dahulu Sekjen Huria Kristen Batak Protestan dan sekarang kepala Badan Litbang PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia). Dalam tesis untuk mencapai ijazah S2 yang kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul “NU dan Pancasila” oleh Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia di Jakarta. Dalam buku itu, Einar Sitompul bercerita dan mengupas sebuah pertanyaan yang muncul dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935 (tetapi penulis mendapatkan dari sumber lain yang berbentuk lisan hal itu terjadi dalam tahun 1936), hal itu muncul dalam bentuk pertanyaan: “wajibkah bagi kaum muslimin di kawasan Hindia Belanda, demikian kita dikenal waktu itu, mempertahakan kawasan tersebut, yang diperintah oleh kaum non-muslim (yaitu para penjajah Belanda)?”

Jawaban atas pertanyaan tersebut wajib, karena dua alasan pertama, rujukan lama Bughyah Al-Mustarsyidin menyatakan, daerah yang dulunya menjadi bagian dari sebuah kerajaan Islam wajib dipertahankan kerena masih ada kaum muslimin di dalamnya yang menjalankan ajaran-ajaran agama mereka. Alasan kedua, dirumuskan oleh Muktamar itu sendiri, bahwa kaum muslimin tidak memerlukan negara pada waktu itu, untuk menjalankan ajaran-ajaran agama mereka. Ini adalah sebuah pernyataan sangat penting, karena dapat disimpulkan bahwa ada pemisahan yang tegas antara negara dan masyarakat/komunitas. Ini berarti, sebuah negara Islam tidaklah wajib di didirikan oleh kaum muslimin, walaupun juga tidak ada larangan untuk melakukan hal itu. Ini berarti, benarlah pendapat seorang sarjana muslimin di masa lampau, yang dijadikan subyek disertasi Prof. DR. Nurcholish Madjid bahwa negara Islam tidak wajib hukum fiqhnya.

Pendapat Ibn Taimiyah itu sangatlah menarik, walaupun bukan masalah wajib tidaknya negara Islam yang dibahas Nurcholish Madjid dalam disertasinya itu karena ia “hanya” membahas terori “Filsafat Alam” (genesis) dari sarjana agung tersebut. Hal itu memang cukup mengherankan, karena Profesor kita itu justru tidak tertarik (out of touch) dengan masalah yang hangat dibicarakan di tanah air, bahkan hingga saat ini. Inilah pertanda bahwa ia adalah seorang ilmuwan tulen yang berani “melawan arus”, hingga kepada masalah-masalah paling mendasar sekalipun dalam keyakinan kaum muslimin. Tetapi itu bukan urusan kita, yang mendorong ditulisnya artikel ini. Yang terpenting, bahwa negara Islam tidak diwajibkan bagi mereka, walaupun juga tidak dilarang.

Secara budaya, pandangan di atas tentang tidak wajibnya negara Islam didirikan, ternyata di kalangan gerakan Islam di negeri ini tidak demikian halnya secara politis. Cukup banyak jumlahnya mereka yang menginginkan berdirinya sebuah negara Islam di Bumi Nusantara. Sedangkan “organisasi Islam” seperti NU dan Muhamadiyah, sebagai entitas non politis, menentangnya. Namun, justru organisasi-organisasi politis yang bukan gerakan warga Islam, justru berbeda pandangan seperti itu. Dengan kata lain, politisasi gerakan Islam bersifat terlalu jauh melakukan formalisasi atas hal-hal yang tidak dipikirkan oleh gerakan-gerakan kultural Islam sendiri. Pelajaran sejarah seperti ini memang sangat menarik untuk diikuti. Orang-orang di luar gerakan Islam, umpamanya tetap saja tidak mengerti kekuasaan riil dari gerakan-gerakan militan Islam, seperti para teroris yang ada di beberapa kawasan tanah air kita.

Pada titik ini penulis berhenti, mempersilahkan para hadirim dan hadirat yang terdiri dari kaum muda itu, untuk menarik kesimpulan sendiri dari ceramah penulis itu. Ini adalah sekelumit dari begitu banyak wilayah yang menarik untuk dipikirkan bagi masa depan bangsa dan negara kita. Diskusi demi diskusi haruslah di dorong ke arah itu; dan itu adalah arah yang tepat utnuk dilakukan saat ini. Kalau faham serba kesenangan materi (hedonisme) sudah begitu merajalela dikalangan generasi muda kita, jawabnya adalah tidak hanya bersikap marah-marah kepada mereka saja, justru mereka justru harus didorong dan diarahkan membicarakan hal-hal yang penting bagi masa depan kita, seperti demokrasi, kedaulatan hukum, faham kebangsaan dan sebagainya. Kedengarannya memang mudah tetapi penulis menyadari hal itu sulit dilakukan, bukan?

Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>