Rabu, 11 Januari 2012

Wahyu Ilahi terhadap Hamba-HambaNya


Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin bahwa, sahabat Harist bin Hisyam Radhiyallâhu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasul, bagaimana cara datangnya wahyu kepadamu?”
 
Nabi menjawab, “Kadang wahyu tersebut sampai kepadaku seperti bunyi lonceng dan cara turun wahyu sedemikian ini terasa paling berat bagiku, kemudian aku merasa ketakutan, dan sungguh aku dapat menghafal apa yang telah disampaikan malaikat kepadaku. Dan kadangkala malaikat mengubah wujudnya menjadi sosok seorang laki-laki, kemudian berucap kepadaku, sehingga aku hafal apa yang ia katakan.”
 
Wahyu merupakan hal yang sangat sakral, tidak sembarang orang menerimanya, makhluk yang dipilih untuk menerima wahyu berarti makhluk yang luar biasa, diantaranya adalah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
 
Turunnya wahyu kepada sang Baginda Rasulullah melalui bermacam-macam cara. Kadang melalui mimpi, kadang juga datang kepada beliau dalam keadaan terjaga.
 
Nabi kita Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ketika wahyu turun, mengalami semacam kepayahan, keningnya bercucuran meskipun saat itu kondisinya sangatlah dingin. Aisyah berkata, “Sungguh aku melihat wahyu diturunkan kepadanya pada waktu sangat dingin sehingga mengakibatkan Nabi ketakutan dan keningnya bercucuran keringat.” (H. al-Bukhari).
 
Rawi-Rawi Hadis
 
Perawi Hadis yang terlibat dalam periwayatan hadis ini sebanyak enam rawi, yaitu:
1) Abdullah bin Yusuf al-Mishriy at-Tinnisiy1), 2) al-Imam Malik2), 3) Abul Mundzir, Hisyam bin Urwah bin az-Zubair bin al-Awam al-Qurasyi al-Asadi, 4) Abu Abdillah, Urwah yang tak lain adalah Ayah Shahabat Hisyam (urutan kedua perawi Hadis ini), 5) Ummul Mukminin Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq Radhiyallâhu ‘anhu.3), 6) Al-Harist bin Hisam bin al-Mughirah bin Abdillah bin Makhzum4), saudara kandung Abu Jahal.
 
Untuk kapasitas dan kwalitas Hadis di atas, baik yang berkenaan dengan para perawinya atau yang berkenaan dengan matannya tidak perlu dipermasalahkan, sebab Hadis ini sudah diteliti oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dan keduanya mencantumkan Hadis tersebut dalam karyanya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan Ulama sudah sepakat dan mengamini kwalitas dan tingkat akurasi kedua kitab Shahih tersebut.
Wahyu ataukah Ilham?
 
Wahyu adalah sebuah penjelasan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ kepada Nabi-Nya secara samar atau tersembunyi. Wahyu menurut istilah syariat adalah penjelasan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang ditujukan kepada Nabi-nabiNya atas suatu hal, adakalanya berupa Kalam, Risalah via malaikat, dan lain sebagainya, baik ketika tidur atau terjaga. Kadang kala kata “wahyu” ini diartikan sebagai barang (materi) yang diwahyukan. Arti sedemikian ini bila lihat dengan kacamata ilmu Balaghah merupakan bagian dari sastra Arab yang berupa bentuk kata mashdar (pekerjaan/proses). Tapi yang dimaksud adalah maf’ûl (obyek) atau sesuatu yang diwahyukan. Jadi kata “wahyu” berarti sesuatu yang diwahyukan kepada rasul-Nya. Hal ini mencakup al-Qur’an dan Hadis sebagaimana dalam firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya5): “Ucapan (Muhammad) itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS an-Najm [35]: 04) Kata “wahyu” memiliki beberapa pengertian serta bentuk tergantung dengan kalimat apa kata tesebut dikaitkan. Jika kata wahyu dikaitkan atau disandingkan dengan kata “Nabi” atau “Anbiya’” (para nabi), maka mempunyai tiga bentuk6):
 
Pertama, wahyu yang ditransfer kepada nabi-Nya yang berupa kalam qadîm seperti yang pernah dialami oleh Nabi Musa ‘Alaihissalâm di Bukit Tursina (Gunung Sina). Kedua, wahyu yang tersampaikan kepada nabi melalui perantara malaikat, seperti dalam firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya, “…atau mengutus seorang utusan (malaikat)..” (QS asy-Syûrâ [42]: 51). Dan Ketiga, wahyu menghembus ke dalam hati Nabi, sesuai dengan Hadis Nabi : “Innar-Rûh al-Quddûs nafatsa fî rau‘î ay nafsî”. Artinya, “Sesungguhnya malaikat jibril meniupkan pada hatiku.”
 
Dalam Hadis di atas, kata “rau’î” ditafsiri dengan kata “nafsi” yang artinya hatiku. Menurut sebagian pendapat bentuk wahyu yang ketiga ini juga dialami oleh Nabi Daud ‘Alaihissalâm.
 
Lain halnya bilamana kata “wahyu” disandingkan dengan kata selain kata “Anbiya’” maka kata wahyu tersebut mempunyai arti ilham. Seperti wahyu Allah Subhânahu wa ta‘âlâ kepada lebahdalam firman Allah yang artinya, “Dan tuhanmu mewahyukan pada lebah…” (QS an-Nahl [16]: 68)7)
 
Bentuk Turunnya Wahyu
 
Imam as-Suhaili memaparkan dengan jelas bahwa kata “wahyu” mempunyai tujuh bentuk, yaitu:
 
Pertama, mimpi (manâm) seperti yang diriwayatkan Aisyah yang artinya, “Pertama kali turunnya wahyu adalah mimpi indah pada waktu Nabi tertidur…” (HR al-Bukhari)
 
Kedua, kedatangan wahyu seperti bunyi sebuah lonceng, seperti dalam Hadis di atas. Ulama berpendapat bahwa cara turunnya wahyu yang sedemikian mempunyai hikmah yang tersimpan, yaitu menarik dan memfokuskan perhatian Nabi dari hal-hal lain.8)
 
Ketiga, datangnya wahyu merasuk ke dalam hati Nabi. Bentuk ini sejalan dengan pembagian wahyu yang ketiga.
 
Keempat, malaikat menjelma menjadi sesosok manusia. Seperti Hadis di atas. Pernah suatu ketika malaikat menjelma menjadi Sahabat Dihyah bin Khalifah al-Kalbi. Sahabat Dihyah adalah Sahabat yang paling tampan di antara sahabat-sahabat yang lain. Dengan alasan itu pula malaikat yang menjelma sahabat Dihyah memilih untuk menutupi wajahnya dengan sehelai kain supaya terhindar dari ketertarikan kaum Hawa.9)
 
Kelima, Malaikat Jibril memperlihatkan sosok seperti wujud aslinya dengan perlengkapan sayap yang berjumlah 600 dan menyajikan barang yang dianggap sangat berharga di kalangan manusia, yaitu sebuah lu’lu’ (permata) dan Yaqut.
 
Keenam, Allah Subhânahu wa ta‘âlâ memperdengarkan suara dari belakang hijâb. Kejadian ini sama persis yang dialami Nabi Musa ‘Alaihissalâm di sebuah Bukit Tursina (Gunung Sinai). Allah Subhânahu wa ta‘âlâ berfirman yang artinya, “…Dan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ telah bebicara kepada Nabi Musa ‘Alaihissalâm dengan langsung” (QS an-Nisa’ [04]: 164). Dan yang dialami Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika malam Isrâ’, firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya, “…atau dari belakang tabir.” (QS asy-Syûrâ [42]: 51)
 
Wahyu turun kepada Rasulullah baik beliau dalam keadaaan terbangun, seperti dalam Hadis yang diriwayatkan Aisyah yang artinya, “Kemudian malaikat datang kepadaku dan berkata, ‘Bacalah!’”, ataupun pada waktu Nabi sedang dalam keadaan tertidur seperti dalam Hadis yang juga diriwayatkan oleh Aisyah yang artinya, “Pertama kali turunnya wahyu adalah mimpi indah pada waktu Nabi tertidur”.
 
Ketujuh, wahyu yang disampaikan melalui malaikat Israfil. Yang dimaksud wahyu di sini bukanlah al-Qur’an. Karena malaikat Israfil menemani Nabi semenjak diangkat menjadi Nabi selama tiga tahun, sebelum diangkat menjadi Rasul. Sedangkan al-Qur’an sepenuhnya diturunkan melalui perantara Jibril ‘Alaihissalâm.10)
 
Kesimpulan
 
Kedua Hadis di atas menunjukkan kepada kita salah satu bentuk turunnya wahyu yang diterima Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dari kedua Hadis tersebut dapat kita mengerti bahwa menerima wahyu bukanlah hal yang gampang dan terasa ringan. Dengan gamblang Nabi menceritakan bahwa rasanya sangat berat dan sakit.
 
Dan yang perlu diperhatikan dalam redaksi Hadis di atas adalahbahwasanya pertanyaan Sahabat Hisyam Radhiyallâhu ‘anhu yang tertera dalam Hadis di atas murni bertujuan untuk ketenangan hati, serta bukanlah sebuah wujud dari keingkaran sahabat Nabi.11)
 
Catatan akhir:
1.     Dikenal dengan at-Tinnisiy karena mukim di Tinnis, wafat tahun 218 H. Tahdzibul-Kamal X/654. disepakati kredibilitasnya sebaimana komentar Imam al-Kholiliy, Tahdzibut-Tahdzib 6/80
2.     Nama lengkapnya Abu Abdillah bin Malik bin Abi Amir al-Ashbikhiy al- Madaniy. Lahir 95 H. salah satu golongan Muktsirin, meriyaytkan meriwyatkan sebayak 2630 Hadis, wafat 179 H. pada usia 94
3.     Lahir selisih empat atau lima tahun setelah kenabian, salah satu golongan Muktsirin, meriwyatkan sebanyak 2210 Hadis. Wafat malam Selasa tangaal 17 Ramadan pada tahun 58 H
4.     Hadir dalam peperangan Badar sesbagai musuh orang Islam (bersatatus Kafir), kemudian masuk Islam pada hari penaklukan Makah, beliau mempunyai 32 anak
5.     Syaikh Abdullah bin Hijazi as- Syarqawi, Fathul-Mubdiy, Darulfikr,1994, I/9
6.     Badruddin al-Aini, ‘Umdat al-Qariy, Darul kutub ‘ilmiyah ,2001, I/79
7.     Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi , Tafsir al-Baghawi, Dar Thayyibah, 1997, VII/400
8.     Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarhu an-Nawawiy ‘ala al-Muslim, Dar kotob Ilmiyah ,2000, viii/46
9.     Syaikh Abdullah bin Hijazi as- Syarqawi, Fathul-Mubdiy, Darulfikr,1994, I/ 09
10.  Lihat ‘Umdatul-Qârî Syarh Shahîhul-Bukhari, 2001, Dar Kotob Ilmiyah, vol.I hlm.79.
11.  Badruddin al-Aini, ‘Umdat al-Qariy, Darul kutub ilmiyah, I/88
 
Sumber: Pesantren Sidogiri – Pasuruan
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Sistem Pendidikan Pesantren Berbasis Karakter


Oleh Kholil Aziz
 
Pada tahun 1998 rezim orde baru tumbang kemudian diiring lembaran baru dalam dunia pendidikan kita. Capaian ini menjadi angin segar bagi perbaikan generasi bangsa melalui pendidikan nasional. Kemudian diiringi dukungan pemerintah dengan memberi pendidikan gratis, sertifikasi guru dan dosen, bantuan operasional sekolah, pembangunan madrasah bertaraf internasional.

Indonesia telah berbenah diri dalam menciptakan kualitas generasinya, pemerintah mewajibkan pendidikan sembilan tahun. Pendidikan nasional telah kembali ke jalur yang benar menjadi pelopor kebangkitan nasional mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju di dunia. Indonesia terus melaju ke tingkat internasional dengan menjuarai berbagai ajang bergengsi dibidang pendidikan.

Terlepas dari semua itu, sistem pendidikan nasional ternyata masih menyimpan segudang masalah dalam menciptakan sumber daya manusia. Contoh kecilnya adalah penerapan UN tertantang oleh prasarana pendidikan yang belum merata kuantitas dan kualitasnya di seluruh Indonesia. Selain itu pemerintah cendrung masih “otoriter” dengan memandang sebelah mata lembaga pendidikan swasta, apalagi lembaga pendidika pesantren.

Akhirnya terjadi gap antara pendidikan antara sekolah/madrasah negeri, swasta, dan pesantren; keluaran sekolah/madrasah yang belum sepenuhnya nyambung dengan dunia kerja. Alumni pesantren selalu diposisikan sebagai pak Ustadz yang seakan tak berhak untuk terjun ke dunia bisnis dan semacamnya. Kendati pun secara kualitas kemampuan santri bisa bersaing dengan jebolah sekolah negeri.

Pendidikan nasional, khususnya negeri masih jauh sekali dari nilai-nilai luhur dalam membangun mental anak didikanya; integrasi pendidikan agama ke dalam sistem pendidikan nasional yang masih jauh dari harapan. Ketimpangan ini kemudian menciptakan generasi individualis yang tak peka lingkungan.

Padahal tujuan utama diselenggarakannya pendidikan adalah untuk “mendewasakan” manusia melalui proses belajar-mengajar. Baik guru dan khususnya anak didik. Tolak ukur kedewasaan peserta didik di sini dapat dilihat dari kematangan dalam berfikir, bersikap dan bertindak. Jadi sistem penilaian terhadap siswa tidak sebatas pada angka yang cukup dikerjakan lembar-lembar ujian saja.

Dan jika hal ini bisa diterapkan dalam sistem pendidika nasional, maka yakinlah bahwa pendidikan kita sebatas meningkatkan kapasitas intelektual anak didik, tapi juga membentuk manusia seutuhnya sehingga diharapkan output yang dihasilkan dari sebuah proses pendidikan dapat mentransformasikan pengetahuan yang diserapnya untuk memperbaiki masyarakat di sekitarnya.

Semua itu bisa diperoleh di lembaga pendidikan pesantren, yang menyeimbangkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Kiranya tidak berlebihan jika kita menyebut pesantren sebagai lembaga lembaga pengajaran sekaligus lembaga pendidikan yang inten mencetak gerasai multifungsi yang bisa menerapkan sistem pendidikan agama dan pendidikan umum.

Sistem pemondokan di pesantren menjadi cari khas sekaligus keunggulan ketimbang lembaga pendidika lainnya, dan itu sudah terbukti banyak diadopsi oleh banyak sekolah negeri guna memfasilitasi siswa berprestasi. Berbagai sistem yang diterapkan di pesantren dari segi pendidikan menjadi keunggulan komparatif pesantren dibandingkan dengan sekolah atau madrasah di luar pesantren.

Sistem doktrin terhadap santri yang dianut pesantren menjadikan nilai-nilai bukan sekedar untuk diketahui namun diamalkan. Seperti halnya sosok kiai sebagai figur dalam pengamalan ilmunya. Sistem pendidikan di pesantren bertumpu pada sosok kiai, dimana nilai-nilai sudah menginternalisasi secara baik. Sang kiai mengajar dengan keteladanan dan itu adalah keunggulan pendidikan pesantren.

Pada hakikatnya pesantren era sekarang sudah jauh dari kesan kampungan yang selama ini menjadi label banyak pesantren di pinggiran kota. Pesantren pinggiran kota yang tak pernah dilirik pemerintah selama ini sudah lama berbenah diri. Sistem pendidikan pesantren salaf mongkombinasikan kurikulum tradisional dan kurikulum modern yang selama ini menjadi acuan sekolah negeri, yakni, pesantren mengagas suatu rumusan yang berbasis pada kebutuhan kontemporer. Bisa kita lihat sekarang, kebanyakan pesantren sudah memasukan pendidikan SMK dan semacamnya.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, pesantren sekrang tidak hanya mengajari kitab kuning dan bahasa arab saja pada santrinya, melainkan diberikan juga bekal bahasa inggris, ilmu komputer, dan keterampilan pelengkap lainnya. Adapun konsep kurikulum yang ditawarkan pesantren modern ini lebih mengarah pada keterpaduan antara aspek kognitif, normatif dan tetap berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam.

Perpaduan semacam ini ternyata menjawab kebutuhan masyarakat modern. Menurut Hasyim Muzadi bahwa dalam menghadapi realitas kekinian, kita tidak harus skeptis dalam menerapkan metodologi dan tidak usah mengacak-acak modernitas, atas nama keharusan perubahan itu sendiri. Tradisi menjadikan agama bercokol dalam masyarakat harus lebih kreatif dan dinamis sebab mampu bersenyawa dengan aneka ragam unsur kebudayaan. (Hasyim Muzadi: 1999).

Sebenarnya para pengamat pendidikan selama ini tidak menyadari bahwa sebenarnya pesantren telah menjadi penengah anatara sekolah swasta dan sekolah negeri yang telah memberikan dua aspek pokok dalam sekolah swasta dan sekolah negeri.

Akhir kata, penulis mau mengutip pendapat Muhammad Abduh mengenai tujuan pendidikan dalam arti luas yang mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Disini Muhammad Abduh menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan pekembangan akal tetapi juga perkembangan spiritual. Itulah solusi yang ditawarkan lembaga pendidikan pesantren.

* Pustakawan di PP Mambaul Ulum Bata-Bata, Pamekasan Madura
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Senin, 09 Januari 2012

Meraih Kebahagiaan Sejati (2)

Oleh. Cecep Zakarias El Bilad*
 
3. Dari mana kita berasal?
 
Jawaban pertanyaan ketiga ini terdapat dalam QS.15:28-29,

“Dan ketika Tuhanmu berkata kepada para Malaikat ‘telah Aku ciptakan sedemikian rupa jasad manusia dari onggokan tanah liat…Maka sesudah jasad itu sempurna dan Aku tiupkan ruh-Ku ke dalamnya, bersujudlah kalian padanya wahai para Malaikat.”

Dua ayat ini menggambarkan bagaimana manusia diciptakan dalam dua tahap, tahap pembuatan jasad, dan tahap pemberian ruh ke dalam jasad tersebut. Ayat ini menjadi landasan suci tesis para filsuf Muslim seperti Ibn Sina dan Al Ghazali bahwa sosok manusia itu terdiri atas dua aspek, jasad dan jiwa/ruh. Dari keduanya, jiwa-lah yang utama. Jasad hanya sebatas wadah/tempat bagi jiwa untuk bekerja. Tanpa jiwa, jasad tak lebih dari seonggok daging yang membungkus tulang-tulang dan yang berbahan dasar tanah liat. Jiwa-lah yang membuat jasad tersebut bergerak.

Malaikat yang tercipta lebih dahulu dalam ayat itu diperintahkan Allah untuk bersujud kepada manusia. Sujud di sini, seperti dikatakan al-Thabariy dan al-Baghawi, bukan penghambaan, tetapi sujud tanda penghormatan dan pemuliaan sosok manusia. Perintah tersebut diberikan setelah jasad manusia itu disempurnakan dengan dimasukkannya ruh Allah (min rûhî). Ruh di sini barang kali bisa berarti seperangkat piranti keunggulan yang dimasukkan Allah ke dalam jasad tersebut. Ruh tidak hanya membuatnya bisa bergerak, tetapi juga menyimpan potensi-potensi yang tidak dimiliki oleh malaikat dan mahluk-mahluk lain termasuk iblis yang pada ayat selanjutnya dijelaskan tidak mau bersujud.

Nyatanya, memang hanya manusia yang “mewarisi” kemampuan-kemampuan, namun dalam kapasitas yang sangat terbatas, yang hanya dimiliki Allah, seperti berkreasi, memerintah, berkasih-sayang, adil, berpikir/mengetahui, dan lain-lain. Potensi-potensi inilah yang memungkinkannya menerima kehormatan dari Allah untuk menjadi khalifah/pemimpin di muka bumi. Meskipun secara fisik manusia terbuat dari tanah, keunggulan-keunggulan ruhani inilah yang barang kali menjadi alasan mengapa malaikat dan iblis diperintahkan sujud hormat kepada manusia. Aspek imateri dari manusia ini tidak dilihat oleh iblis sehingga dia menolak untuk bersujud. Iblis hanya melihat aspek fisikal manusia dari tanah yang menurutnya tidak lebih mulia dari dirinya yang tercipta dari api. Maka bisa dimengerti mengapa para Sufi dan filsuf Muslim memberikan perhatian besar pada persoalan jiwa ini. Bagi mereka, manusia sejatinya adalah dia yang bersemayam di balik wujud fisiknya. Wujud fisik tersebut hanya sebatas media untuk hidup di alam fisik ini. Bahkan bagi Suhrawardi, seorang filsuf Muslim abad ke-12, jasad itu seperti penjara. Manusia tak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati sebelum dia benar-benar keluar dari jasadnya. Baginya, jasad adalah penjara yang pengap.

4. Akan ke mana kita esok hari?

Untuk pertanyaan terakhir ini, banyak sekali ayat yang bisa dirujuk. Beberapa di antaranya adalah:
QS.29:57
“Setiap esensi pasti akan musnah. Semuanya akan kembali pada Kami”

QS. Yunus:56
“Dia lah yang menghidupkan dan mematikan. Kepada-Nya kalian akan kembali (dikembalikan).”
 
QS. Ali Imran:83
“Apakah mereka mencari jalan keimanan lain selain jalan Allah. Padahal, kepada-Nya segala apa yang di langit dan di bumi berserah diri dengan rela maupun terpaksa. Dan kepada-Nya semua itu pasti akan kembali (dikembalikan).”

Lepas dari konteks pembicaraannya masing-masing, ketiga ayat ini memiliki sebuah titik temu bahwa, segala sesuatu di alam raya ini, benda maupun peristiwa, berjalan menuju arah yang sama, yaitu Dia, Allah. Artinya bahwa, keberadaan kita, alam raya dan seluruh isinya, bukan keberadaan yang mutlak dan abadi. Awalnya, kita dan semuanya itu adalah tidak ada, lalu menjadi ada seperti saat ini. Akhirnya akan kembali menjadi tidak ada, mati, musnah.

Tiga ayat tersebut menginformasikan, bahwa proses keberadaan-ketidakberadaan ini tidak berlangsung sendiri. Tetapi ada subjek yang menjalankannya. Bahwa segala sesuatu menjadi ada berarti ada yang mengadakan. Dan bahwa segala sesuatu tersebut akan lenyap berarti ada yang melenyapkan. Ini terlihat pada kalimat “turja’ûn” dan “yurja’ûn” pada ketiga ayat itu. Keduanya adalah kalimat pasif bermakna “kalian dikembalikan” dan “mereka dikembalikan”. Siapa yang mengembalikan? Dia-lah Allah. Sebab dari semua yang ada, semua yang hidup dan semua yang mati. Dia-lah yang ada secara mutlak. Dia ada tanpa sebab, karena Dia-lah sebab itu sendiri. Dia-lah al-Awwal dan al-Âkhir, dan selain Dia adalah hadîts (baru).

Dalam konteks manusia dan mahluk hidup lainnya, akhir dari kehidupan adalah mati. Sementara kehidupan sendiri, seperti dalam uraian pertanyaan ketiga, tak lain adalah kondisi bersatunya jiwa dengan jasad materi. Bersatunya dua wujud tersebut terjadi di tempat yang disebut alam dunia. Maka mati sesungguhnya adalah saat dimana jiwa keluar/dikeluarkan (yurja’u) dari jasadnya. Setelah terpisah dari jiwanya, jasad menjadi tak lebih dari onggokan daging yang akan segera membusuk. Allah kemudian melalui Nabi-Nya mengajarkan untuk menguburkan jasad tersebut, agar segera kembali ke wujudnya semula, tanah.

Sementara jiwa ditempatkan Allah di alam ruh guna menjalani proses ‘kehidupan’ selanjutnya. Ada banyak fase kehidupan, seperti diinformasikan dalam al-Quran dan Hadits. Kiamat menjadi titik akhir seluruh kehidupan alam semesta ini. Sampai di sini para ahli berbeda pendapat apakah saat tersebut adalah akhir dari kehidupan alam jasad/materi maupun ruh, atau hanya jasad; juga mereka berselisih apakah fase kehidupan pasca kiamat itu adalah kehidupan jiwa plus jasad atau jiwa semata. Hanya Dia yang mengetahui dan berkuasa ke mana dan bagaimana ciptaan-Nya akan dikembalikan.

Lautan Jiwa

Dalam karya sufistiknya the Garden of Truth, Seyyed Hussein Nasr mengatakan “life is a journey” hidup ialah sebuah perjalanan. Perjalanan hidup manusia terjadi di ruang bernama alam dunia. Sementara alam dunia sendiri bergerak menuju suatu arah. Dan perjalanan hidup manusia beriringan dengan perjalan hidup alam dunia ini. Semua berjalan dari tidak ada menjadi ada, dan akan kembali menjadi tidak ada. Pada saat ketiadaan alam semesta ini yang ada hanya Dia. Namun Dia tetap ada ketika saat ini alam semesta itu ada. Seperti diurai di atas, Dia adalah sumber dari semua keberadaan (the Source of all existence). Dia ada dengan diri-Nya sendiri, tanpa sebab, tanpa permulaan, tanpa akhir. Dia yang menciptakan, dan dia pula yang menghancurkan. Dia yang tak diciptakan dan tak mengenal hancur.

Kehidupan manusia dan kehidupan alam semesta, kembali menurut Nasr, ialah ibarat perjalanan berputar. Bertolak dari satu titik, berjalan, terus berjalan, dan akan kembali pada titik semula. Artinya, bahwa yang ada mutlak dan pasti itu (Wâjib al-Wujûd/Necessery) hanya satu, Allah. Sementara semua wujud yang lain bertolak dari wujud mutlak tersebut. Wujud-wujud lain tersebut adalah wujud yang tidak pasti (mumkin al-wujûd/possible), imanen, fana, temporal. Wujud-wujud ini pada waktunya akan kembali pada Wujud Satu yang Mutlak itu. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa Allah itu adalah sebuah wujud materi seperti titik. Perumpamaan ini sebatas upaya untuk mempermudah penggambaran tentang hakekat kehidupan, meski bukan perumpamaan yang sempurna sebab Allah memang tidak berpadanan (mukhâlafah li al-hawâdits).

Kembali pada ‘dunia’ manusia. Titik tolak kehidupan manusia tentunya adalah saat kelahiran, dan titik akhirnya adalah kematian. Dan persis pada saat ini, kita tengah berjalan di garis antara dua titik tersebut. Garis yang kita namakan sebagai ‘kehidupan’. Tuhan kemudian menginformasikan tentang tujuan penciptaan kita manusia untuk beribadah, baik dalam arti umum seperti diurai di atas maupun khusus berupa ritual-ritual. Perintah ini sejatinya bermakna zikir. Ini merupakan cara Tuhan memperingatkan manusia agar selalu ingat akan hakekat serta tujuan penciptaan dirinya dan alam semesta. Konteks pembicaraan surat Al-Dzariat: 56 sendiri adalah tentang betapa umat manusia zaman para nabi terdahulu lupa akan hakekat diri dan alam semesta. Mereka tidak lagi mengenal siapa Tuhannya. Diutusnya para rasul mengemban misi mengembalikan kesadaran mereka akan hakekat semua itu. Kisah ini menjadi pengajaran bagi umat Nabi Muhammad SAW agar tersadar dan tidak terjerembab ke dalam perangkap yang sama.

Kesadaran ini akan mengangkat manusia dari jebakan-jebakan perjalanan hidup: kegemerlapan, kesenangan, kemewahan, kenyamanan, dan lain-lain, yang semuanya itu semu belaka. Sebab hidup sebagai perjalanan berarti bahwa, tidak ada yang lebih berharga selain perjalanan itu sendiri. Segala hal yang dialami, dirasakan dan dimiliki selama perjalanan tidak lebih dari sekedar sesuatu yang bisa diceritakan setelah perjalan berakhir. Namun memang, cara kita melewati semuanya itu tidak hanya berbekas sebagai kesan, tetapi juga menjadi penilaian yang menentukan nasib kita kelak di perjalanan hidup di alam selanjutnya.

Secara praktis, memaknakan hidup sebagai perjalanan berarti bahwa seluruh yang kita miliki, dan yang kita nikmati di alam raya ini selayaknya diorientasikan semata kepada penghambaan (ibadah) tulus kepada Allah SWT: uang, kendaraan, jabatan, tanah, rumah, pakaian, alat-alat olahraga, udara, anak, istri, dan lain sebagainya. Ini semua sebagai ‘ongkos’ dan sarana yang disediakan Allah untuk kita semua dalam melaksanakan misi perjalanan dunia ini (QS.16:4-16). Oleh Sang Pemberi misi, semuanya kelak di Hari Pengadilan akan dimintai pertanggungjawaban. Al-Quran dan Sunnah sudah secara lengkap menghimpun berbagai prinsip, hukum dan tips agar selamat dalam perjalanan. Kembali pada masing-masing kita, sejauh mana mau mempelajari, memahami dan berkomitmen merefleksikannya dalam pikiran, sikap dan tindakan.

Akhirnya dapat dirumuskan, bahwa kesadaran hidup sebagai sebuah perjalanan menjadi kunci menggapai kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang lahir dari pengetahuan akan hakekat penciptaan kehidupan, serta kejujuran menerima pengetahuan tersebut sebagai kebenaran sejati. Kesadaran ini menjadi modal filosofis untuk merumuskan pikiran, sikap dan langkah menghadapi setiap jengkal hari. Dari sini kita dapat menyusun cita-cita, target dan skala prioritas dalam hidup dan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di dalamnya: mana yang diperlukan dan mana yang tidak; mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang harus, boleh, tidak boleh; mana yang harus didahulukan dan mana yang harus diakhirkan; dan seterusnya.

Kebahagiaan di sini ialah kerelaan jiwa terhadap setiap potensi dan kekurangan yang dimiliki, kondisi yang dirasakan, peristiwa yang menimpa dan persoalan yang menghadang. Kerelaan ini memancar dari jiwa yang tersinari oleh pengetahuan akan hakekat kehidupan. Dan dari jiwa yang yakin bahwa Allah telah menganugerahkan bumi dan isinya untuk kebutuhan para musafirnya. Bagi jiwa yang rela ini, tak seorang musafir bumi pun yang diutus tanpa perbekalan. Allah mengetahui tingkat kebutuhan dan kemampuan setiap musafir-Nya. Dia menganuerahkan perbekalan tersebut dengan jumlah dan kualitas yang beragam, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Dia tahu persis akan hal itu. Dia-lah yang Adil sejati. Sehingga bagi musafir yang rela itu, banyak sedikit perbekalan yang dianugerahkan tidak menjadi masalah: banyak tidak melenakan; sedikit tidak menyengsarakan. Baginya, tidak ada yang lebih berharga dari perjalanan itu sendiri. Perjalanan dengan tunduk pasrah dan tulus menuju sumber dari segala keberadaan.

Dengan kata lain, jiwa yang rela memandang hidup ini bukan sebagai buku kosong, tetapi sebagai buku yang setiap halamannya dihiasi kisah-kisah. Dengan kerelaan, jiwa akan memfokuskan konsentrasinya pada setiap kisah yang tersaji. Baginya, kesuksesan menangkap makna setiap kisah tersebut menjadi kunci sukses memahami keseluruhan isi buku tersebut. Sebuah buku yang menghadirkan kisah-kisah tentang kemiskinan, penyakit, kecelakaan, kegagalan, musibah, dan juga tentang kekayaan, kesuksesan, kesehatan, kesejahteraaan, kekuasaan, kecantikan, ketampanan, kecerdasaan, popularitas, dan lain sebagainya.

Setiap jiwa memiliki kisahnya masing-masing, dengan tema-tema yang beragam antara satu jiwa dengan lainnya. Jiwa yang rela tak akan terlena dengan satu atau dua kisah saja. Dia akan semangat menyelami setiap kisah hingga halaman akhir hidupnya.

Sebaliknya, jiwa yang tidak rela akan terlena pada satu atau dua kisah saja. Kisah yang melenakan ini biasanya yang bertema jenis kedua di atas, kekayaan, kesehatan, kesejahteraan, popularitas. Dia tidak mampu memahami pesan dalam kisah-kisah lainnya, karena konsentrasinya hilang, tertinggal di satu kisah yang lampau itu. Ketidakmampuan yang berbuah kesengsaraan (hidup). Dia lupa, dan benar-benar lupa bahwa, mau tidak mau, dia harus membaca seluruh isi buku hidupnya. Dia juga lupa, bahwa ada banyak buku kehidupan yang harus (pasti) dia baca. []

* Penulis adalah Anggota LDNU PCNU Kab.Bogor; Mahasiswa Pascasarjana Islamic Philosophy di the Islamic College of Advanced Studies (ICAS) Jakarta.
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Cara dan Hukum Talqin Mayit


Ketika seorang muslim meninggalkan dunia, maka hal-hal yang wajib dilaksanakan adalah empat perkara. Memandikan, mengkafankan, menyembayangkan dan menguburkan. Sebagaimana kata Ibnu Ruslan di dalam Zubadnya:
 
والغسل والتكفين والصلاة # عليه ثم الدفن مفروضات
 
Dan memandikan, mengkafankan, menyembahyangkan atas mayyit, l,alu menguburkan adalah merupakan fardu.
 
Adapun mentalqin mayit tidaklah wajib atau fardhu. Hukum mentalqin mayyit adalah sunnah. Dan waktunya setelah mayit dikuburkan. Tempat mentalqin adalah di atas pekuburan, di mana si mulaqqin (orang yang mentalqin) itu duduk menghadapkan muka mayit, di atas kubur, dan orang-orang lainnya dari pada pengiring mayit berdiri sekeliling kubur. Jika sekiranya mayit tidak ditalqinkan, tidaklah orang yang tahu atas kematiannya itu menjadi berdosa. Karena hukumnya hanya sunnat. Dan tidak perlu kuburan digali kembali, sedang kesunnatan talqin adalah mayyit setelah dikuburkan.
 
Mengenai kesunatan talqin Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in berkata:
 
وتلقين بالغ ولوشهيدا كما اقتضاه اطلاقهم خلافاللزركشى بعد تمام دفن
 
Dan disunnatkan mentalqin mayit dewasa, dan sekalipun ia syahid. Sebagaimana kehendak orang yang diithlaqkan mereka.
 
Menurut Assayyidul Bakri dalam halaman yang sama:
 
وذلك لقوله تعالى: وذكر فان الذكرى تنفع المؤمنين. واجوج مايكون العبد الى التذكير فى هذه الحالة
 
Dan yang demikian itu karena firman Allah swt: dan beri ingatlah, maka sesungguhynyaperingatan itu berguna bagi orang-orang yang beriman. Dan yang paling dihajati hemba Allah kepada peringatan adalah dalam keadaan seperti ini
 
Dan sebuah hadits yang menerangkan tentang talqin diantaranya adalah riwayat Rosyid bin Sa’ad dari Dlamrah bin Habib, dan dari Hakim bin Umari, ketiga-tiganya berkata:
 
اذا سوي على الميت قبره وانصرف الناس عنه كانوا يستحبون ان يقال للميت عند قبره يافلان قل لااله الا الله اشهد ان لااله الا الله ثلاث مرات يافلان قل ربي الله ودينى الاسلام ونبيى محمد صلى الله عليه وسلم ثم ينصرف (رواه سعيد بن منصور فى سننه)
 
Apabila telah diratakan atas mayit akan kuburnya dan telah berpaling manusia dari paanya adalah mereka para sahabat mengistihbabkan (menyunatkan) bahwa dikatakan bagi mayit pada kuburnya: Ya fulan: katakanlah La Ilaha Illallah, Asyhadu alla Ilaha Illallah, tiga kali. Hai Fulan katakanlah: Tuhanku Allah, Agamaku Islam dan Nabiku Muhammad saw, kemudian berpalinglah ia. Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam sunannya.

Dan diriwayatkan pula hadits marfu’ menurut riwayat Atthabrani dan menurut riwayat Abdul ‘Aziz al-Hambali dalam Asy-Syafi’I bahwa Umamah berkata:

Apabila aku mati, maka lakukanlah olehmu terhadap diriku, sebagaimana Rasulullah saw pernah memerintahkannya kepada kita agar memperlakukan mayit kita seraya bersabda: apabila mati salah seorang dari saudara-saudara kamu, maka kamu ratakan atas kuburnya, maka hendaklah berdiri salah seorang kamu di atas kepala kuburnya, kemudian hendaklah berkata: hai fulan anak fulananh, maka sesungguhnya ada didengarnya, hanya ia tidak dapat menjawab. Lalu berkatalah: hai fulan anak fulanah, maka sesungguhnya ia duduk melurus kemudian dikatakannya: Hai Fulan anak fulanah, maka sesungguhnya ia menjawab: berilah kami petunjuk, semoga Allah melimpahkan rahmat Nya atasmu… tetapi kamu sekalian tidak mengetahuinya. Maka hendaklah dikatakannya: ingatlah apa yang engkau keluar atasnya dari dunia, yaitu penyaksian bahwa tidak ada Tuhan yang disembah dengan sebanr-benarnya melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu hamba Nya dan utusan Nya. dan sesungguhnya engkau telah ridha Allah sebagai Tuhan. Dan Islam sebagai agama. Dan Nabi Muhammad sebagai Nabi. Dan al-Qur’an sebagai Imam. Maka sesunggugnya Munkar dan Nakir memegang tiap tangan seseorang dan berkata: Mari kita berangkat. Alasan apa lagi kita duduk pada orang yang sudah ditalqin (diajarkan) akan hujjahnya, maka berkatalah seorang laki-laki: Ya Rasulullah. Maka jika tidak dikenal siapa ibunya? Jawabnya: di bangsakannya kepada ibunya: Hawwa, Hai Fulan bin Hawwa.

Mengenai hadits ini telah berkata alhafidz dalam attalkhish, dan isnad hadits ini baik dan telah menguatkan dia oleh Addliya’ dalam ahkamnya. []
 
Sumber: NU Online
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Jumat, 06 Januari 2012

Kuda Terbang Nabi Sulaiman


اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَلَّذِى خَلَقَ اْلإِنْسَانَ خَلِيْفَةً فِي اْلأَرْضِ وَالَّذِى جَعَلَ كُلَّ شَيْئٍ إِعْتِبَارًا لِّلْمُتَّقِيْنَ وَجَعَلَ فِى قُلُوْبِ الْمُسْلِمِيْنَ بَهْجَةًوَّسُرُوْرًا. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحـْدَهُ لاَشـَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلَى كُلِّ شَيْئ قَدِيْرٌ. وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ.
 
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَاَفْضلِ اْلاَنْبِيَاءِ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَاِبه اَجْمَعِيْنَ اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَاَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لاِّوْلِى ٱلأَلْبَـٰبِ
 
Hadirin Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah

Marilah kita bersama-sama saling berwasiat untuk meningkatkan taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengatur bumi seisinya. Dialah yang menentukan sejarah manusia, juga berbagai mahkluk lainnya. Ketaqwaan itu harus selalu kita upayakan dan ditingkatkan kualitasnya, karena banyaknya godaan dunia yang setiap saat mengancam dan dapat mengendurkannya.
 
Jangankan kita sebagai manusia biasa, Nabi Sulaiman pun hampir tergoda oleh dunia. Karena itulah diwajibkan atas khatib setiap kali di atas mimbar di hari Jum’at, agar berwasiat tentang ketaatan. Ushikum binasfi bitaqwallah… ittaqullah haqqa tuqatih…dan beragam kalimat dengan maksud yang seragam, yaitu meningkatkan taqwa kepada Allah subhanahu wa Ta’ala.
 
Hadirin Jama’ah Jum’ah yang Berbahagia…
 
Seperti yang telah terucap dalam muqaddimah, kali ini khatib hendak menceritakan kembali sebuah kisah yang dihadirkan oleh al-Qur’an tentang kuda-kuda terbangnya Nabi Sulaiman as. yang gagah bersayap dan menakjubkan. Dalam surat Shaad ayat ke-30 hingga ayat ke-33 diterangkan.
 
وَوَهَبۡنَا لِدَاوُۥدَ سُلَيۡمَـٰنَ‌ۚ نِعۡمَ ٱلۡعَبۡدُ‌ۖ إِنَّهُ ۥۤ أَوَّابٌ * إِذۡ عُرِضَ عَلَيۡهِ بِٱلۡعَشِىِّ ٱلصَّـٰفِنَـٰتُ ٱلۡجِيَادُ *فَقَالَ إِنِّىٓ أَحۡبَبۡتُ حُبَّ ٱلۡخَيۡرِ عَن ذِكۡرِ رَبِّى حَتَّىٰ تَوَارَتۡ بِٱلۡحِجَابِ * رُدُّوهَا عَلَىَّ‌ۖ فَطَفِقَ مَسۡحَۢا بِٱلسُّوقِ وَٱلۡأَعۡنَاقِ
 
"Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesunguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)* (Ingatlah) Ketika dipertunjukan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore.* Maka dia berkata, "Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan."* "Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku." Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu. (Shaad:30-33)
 
Para mufassir menerangkan berbagai kisah itu dengan beragam, sesuai penafsiran masing-masing. Yang jelas dapat diceritakan pakemnya bahwa Nabi Sulaiman a.s. memiliki kuda-kuda yang gagah-kekar perkasa tubuhnya, cepat-melesat larinya bagaikan kilat.
 
Berkali-kali kuda-kuda itu diandalkan sebagai balatentara yang selalu berjihad di jalan Allah swt. Suatu hari, ketika Nabi Sulaiman sibuk memeriksa dan mengatur kuda-kuda tersebut, begitu asyiknya, hingga ia tak terasa meninggalkan shalat Ashar. Karena lupa, bukan disengaja.
 
Maka, ketika Nabi Sulaiman a. s. sadar bahwa kuda-kuda itu telah menyebabkan sholatnya tercecer, ia pun bersumpah, "Tidak, demi Allah, janganlah kalian (kuda-kudaku) melalaikanku dari menyembah Tuhanku."
 
Lalu beliau menitahkan agar kuda-kuda itu disembelih. Maka beliau memukul leher-leher dan urat-urat nadi kuda-kuda tersebut dengan pedang.
 
Ketika Allah mengetahui hamba-Nya, yang bernama Sulaiman menyembelih kuda-kuda tersebut karena Diri-Nya, karena takut dari siksa-Nya serta karena kecintaan dan pemuliaan kepada-Nya, karena dia sibuk dengan kuda-kuda tersebut sehingga habis waktu shalat.
 
Maka Allah lalu menggantikan untuknya sesuatu yang lebih baik dari kuda-kuda tersebut, yakni angin yang bisa berhembus dengan perintahnya, sehingga akan menjadi subur daerah yang dilewatinya. Perjalanan yang ditempuh sebulan, maka kembalinya juga sebulan. Dan tentu, ini lebih cepat dan lebih baik daripada kuda.
 
Hadirin Jama’ah yang Mulia…
 
Kini, tiada lagi kuda-kuda bersayap yang gagah dan terbang dengan kecepatan luar biasa. Kuda bersayap itu kini hanya hidup dalam dunia dongeng. Meskipun secara fisik telah tiada, tapi nilai guna kuda itu, kini telah digantikan dengan berbagai bentuk teknologi transportasi dan informasi yang kecanggihannya mampu melipat waktu dan meruntuhkan batas ruang.
 
Sayangnya, berbagai macam benda teknologi ini menjadi simbol kemewahan yang banyak diburu oleh manusia. Walaupun mereka sadar bahwa barang-barang ini mempunyai tingkat kecanggihan luar biasa dalam upaya memalingkan manusia dari Tuhannya. Televisi, internet, game online dan juga penguasaan senjata nuklir yang diidam-idamkan.
 
Kini sudah nyata, bahwa kuda dan awan itu hadir dalam bentuk lain yang jauh lebih dahsyat, sedangkan iman manusia sekarang jauh lebih tipis dibandingkan dengan iman Nabi Sualaiman a.s. Lantas bagaimanakah seharusnya manusia menyikapinya?
 
Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
 
Jika demikian pertanyaannya, bagaimanakah cara kita menerjemahkan dan menafsirkan cerita selanjutnya, yaitu ketika Nabi Sulaiman as. berniat membunuh semua kuda dan kemudian diganti oleh Allah dengan bentuk angin? Apakah itu berlaku khusus Nabi Sulaiman a.s. atau umat muslim secara pada umumnya?
 
Pertanyaan ini telah dijawab oleh Rasulullah saw dalam haditsnya: "Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena takut kepada Allah kecuali Allah akan memberimu (sesuatu) yang lebih baik daripadanya." (HR Ahmad dan Al-Baihaqi, hadits shahih)

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ بمَا فيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ
 
 
 
Sumber: NU Online
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Kamis, 05 Januari 2012

Mati Serius Cara Ketawa

Di Indonesia, tak ada cerita koran atau majalah mati dalam keadaan atau dengan cara ketawa. Pasti dengan sedih dan duka derita. Kenapa? karena negara kita adalah negara Indonesia, bukan negara Madura.
 
Bukan politik yang saya bicarakan, melainkan agama. Bagi orang Madura yang umumnya religius dan sangat serius dengan religiusitasnya, mati adalah kegembiraan yang kalau Tuhan membolehkan - akan mereka jalani dengan tertawa-tawa. Bagaimana tidak, wong mati itu artinya sukses berpisah dari dunia yang kerjaannya cuma menipu, dan ketemu dengan Kekasih yang amat didamba-damba, itu pun dengan jarak waktu yang tak terbatas, bahkan waktu itu sendiri tak cukup  untuk menampung pertemuan mesra antara para kekasih dengan Kekasih mereka.
 
Karena itu kalau mereka berduyun-duyun pergi ke masjid, berbinar-binar wajah mereka. Kalau mereka pergi haji ke Mekah, bercahayalah air muka mereka, sambil diam-diam berdoa: "Kekasih, ambilah aku selama-lamanya! Tak usah Engkau kirim aku kembali ke negeri tipu daya yang penuh fatamorgana di toko-toko serba ada, serta yang kalau seorang bupati mendapatkan rakyatnya mati ditembak tentara  dalam proyek yang dijalankannya, ia malah tampak bangga...."
 
Lain dengan kita yang di Jawa, terutama di Jakarta. Kalau pergi salat Jumat, cemberut wajah kita, dan sesampainya di masjid, dijamin pasti ngantuk mata kita.
 
Kita di kota-kota besar, di wilayah-wilayah metropolitan dari peradaban yang mengaku paling maju ini, telah menjatuhkan pilihan untuk berpacaran tidak dengan Kekasih Sejati, melainkan dengan kesenangan-kesenangan temporer, dengan kekasih-kekasih sementara yang kita book per-jam, dengan kendaraan-kendaraan yang selalu baru, syukur berusia di bawah 20 tahun, serta dengan kedudukan-kedudukan yang jasanya adalah membuat kita merasa cemas akan dijatuhkan oleh para demonstran darinya.
 
Jadi bagi kita yang sudah "maju", yang ada hanya mati cemberut, mati tidak rela. Mati kita tidak serius, tidak benar-benar bersedia menerima mati, alias terpaksa. Kalau malaikat bertanya: "Maunya kamu hidup sampai umur berapa sih?"
 
Kita menjawab, "Yaaah, paling tidak 70 tahun-lah." Malaikat menggoda: "Bagaimana kalau saya usulkan ke Tuhan umurmu diperpanjang 10 tahun lagi, jadi 80 tahun?"
 
Kita menjawab, "Wah, al-hamdulillah banget". "kalau ditambah jatah 20 tahun lagi, mau?" Wajah kita malu-malu, tapi jawaban kita jelas: "Ya, mosok ndak mau..."
 
"Kalau 30 tahun lagi, 40 tahun lagi, 1000 tahun lagi....?" Kita salah tingkah, tapi jelas: mau! Padahal ternyata Tuhan hanya ngasih jatah kita 55 tahun, dan itu hak Dia sepenuhnya, wong Dia yang bikin kita, Dia yang memiliki license dan copyright atas eksistensi kita seratus persen. Mau apa, lu?
 
Ya, kagak mau ape-ape. Jangankan ame Tuhan, mau melawan petugas saja ampun-ampun. Cuma dongkol doang. Nelangsa. Sampai akhirnya benar-benar mati, mati nelangsa.
 
Padahal orang Madura tidak mati nelangsa. Mereka umumnya mati ketawa. Rela mati, bahkan memang mengharapkan mati. Karena mati bukan tragedi, melainkan pertemuan cinta abadi. Karena itu juga Madura lebih ringan membayangkan indikator apa saja yang bisa membawa ke kematian. Carok tidak keberatan: akibat paling puncak paling-paling kan mati. Dan carok kan peristiwa untuk membela kehormatan, harga diri dan nilai moral.
 
Memang carok bukan cara yang dewasa dan beradab untuk menyelesaikan masalah. Tapi terus terang saja mereka yang tidak setuju, tak menerima dan tak berani carok itu bukan berarti sudah dewasa dan lebih beradab. Mereka tak mau carok karena memang standar kehormatan, harga diri dan moralitas yang hendak dipertahankan memang sudah tidak ada, atau sekurang-kurang-nya sudah tipis, sudah dikurangi sambil ditutup-tutupi dengan argumentasi-argumentasi yang muluk-muluk cara orang modern mengkosmetiki bibirnya yang kebanyakan nyinyir.
 
Alhasil, arti Mati Ketawa Cara Madura, adalah mati serius yang dijalani gembira dan batin tertawa-tawa. Mati mereka serius, sehingga hidup pun mereka jalani dengan serius, karena kehidupan adalah suku cadang untuk merakit kematian yang sebaik-baiknya. Setetes darah pun mereka hayati dengan penuh keseriusan, dengan penuh prinsip dan pertimbangan nilai yang matang. Ketika seorang pemuda Madura tergeletak dirumah sakit, diinfus dan membutuhkan sumbangan darah untuk dipompakan ke dalam tubuhnya agar bertahan hidup - ia tetap juga serius untuk memoralkan setiap tetes darah yang akan masuk ke dalam dirinya.
 
Tatkala darah yang dibawa kepadanya adalah darah salah seorang pamannya, ia menolak keras: "Saya 'dak sudi dimasuki darah paman saya! Lha wong dia suka maling dan ganggu istri orang. Kalau darah dia mengalir di badan saya, siapa yang kelak akan mempertanggung jawabkan darah itu di depan Tuhan? Darah itulah yang menjadi sumber tenaga dari kekuatan-kekuatan kurang ajar dia, saya 'dak sudi dibebani kekurang ajaran itu. Dan kalau nanti darahnya saya pakai untuk amal, saya 'dak mau dia yang mendapat pahala!"
 
Betapa ketawa kematian mereka.....
 
Emha Ainun Nadjib,
Dari buku Demokrasi Tolol Versi Saridin, Zaituna, 1998
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Rabu, 04 Januari 2012

Undangan Foswan

Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Selasa, 03 Januari 2012

Nahdlatul Islam Indonesia

Oleh: Dedy Mardiansyah Harby*

Aktifitas yang mengitari peristiwa 10 November 1945 tentu saja merupakan sebuah rangkaian. Tidak berdiri sendiri. Baik secara gagasan pemikiran maupun gerakan lapangan. Begitu juga dengan keterlibatan komunitas santri. Kelompok yang kala itu identik dengan pesantren, kiai, pembelajaran referensi agama Islam (yang terdokumentasikan dalam kitab kuning dan juga putih), surau (langgar atau masjid) dan asrama (pemondokan).

Demikianlah. Kenyataan kembalinya tentara Kerajaan Belanda (NICA) ke Indonesia, dengan membonceng pasukan sekutu pasca kekalahan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, membuat warga bangsa ini menjadi waspada. Apalagi mengingat pendapatan yang melimpah ruah dari hasil bumi dan hasil kerja sumber daya Indonesia yang selama ini telah dinikmati oleh para penjajah (kolonialis). Ditambah gelagat para serdadu Belanda, karena tak rela Indonesia bekas jajahan negaranya lepas begitu saja, yang suka sesumbar dan berbuat semena-mena serta kerap menjarah.

Jihad Kebangsaan

Tak hanya dwi tunggal Soekarno-Hatta dan para pimpinan nasional serta elemen bangsa lainnya yang gregetan, waspada dan melakukan gerakan. Kelompok santri yang diimami atau dikomandoi para kiai pun demikian. Tidak hanya memberikan taushiyah (wejangan dan arahan) bagi para pimpinan baik nasional maupun lokal. Tetapi juga melakukan praksis lapangan. Mulai dari memanjatkan dzikir dan do'a perjuangan (istighotsah yang kemudian menjadi bagian ritual dan tradisi dalam komunitas ini) di langgar atau masjid pesantren dan desa yang otomatis menjadikan upaya sosialisasi gerakan perjuangan lebih massif dan efektif, melatih dan menyiapkan kelompok santri sebagai bagian laskar sukarelawan pejuang rakyat serta puncaknya mengeluarkan pernyataan sikap para kiai selaku elit kelompok santri dan pimpinan umat terkait situasi kontemporer. Pernyataan itu dikenal dengan Resolusi Jihad yang dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945.

Ya, Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, pemimpin besar elit santri kala itu yang tak lain ayah dari KH Abdul Wahid, Menteri Agama RI pertama, dan kakek dari Abdurrahman (Gus Dur), Presiden RI keempat, atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, organisasi afiliasi terbesar komunitas santri Indonesia itu disampaikan dengan bahasa Arab sebagai strategi menghindar dari pengawasan Belanda.

Itulah yang kemudian memantik semangat perjuangan kaum santri untuk berbuat lebih demi tanah air tercinta. Melakukan gerakan perlawanan nyata, bersama elemen lainnya, hingga membuat Surabaya, yang boleh dibilang pusat aktifitas atau "ibukota republik" santri Indonesia, jadi membara. Pergerakan 10 November 1945 yang diwarnai insiden Hotel Orange dan insiden baku tembak lainnya serta orasi langsung yang berisi pesan moral perjuangan kepada Arek-arek Suroboyo dan pekik nyaring Allaahu Akbar yang digelorakan oleh Bung Tomo melalui corong radio.

Bentrok fisik yang tak terhindarkan itu menelan korban yang cukup banyak terutama di pihak Indonesia. Catatan yang ada menyebutkan setidaknya 6.000 hingga 16.000 orang korban tewas. Baik dari warga sipil maupun dari tentara Republik Indonesia. Dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Sementara korban tewas dari pasukan sekutu dan Belanda yang dibantu India kira-kira sejumlah 600 orang.

Pertempuran yang telah memakan ribuan korban jiwa itu disebut juga pertempuran fisik terbesar melawan penjajah pasca merdeka dan telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia demi mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada peristiwa ini membuat tanggal kejadiannya dikenal oleh Republik Indonesia hingga sekarang sebagai Hari Pahlawan.

Ranah Kejuangan Santri

Peristiwa 10 November 1945 hanyalah satu cuplikan dari etos kejuangan kaum santri. Masih banyak peristiwa dan moment yang menjadi tautan sejarah dimana kaum santri menjadikan bangsa dan negara ini sebagai medan juang. Bahkan kehadiran pesantren di Nusantara, sejak zaman Wali Songo yang kurang lebih lima sampai sepuluh abad lebih, tak ayal adalah untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang berbudi luhur, cerdas dan berkualitas serta khas Indonesia.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sama atau tidakkah medan juang santri masa lalu dengan masa kini dan nanti? Bagaimana kiat komunitas santri dalam memaknai, menjalani dan mengembangkan kiprah pengabdiannya terhadap bangsa? Apakah sama dengan yang dilakukan oleh generasi Wali Songo atau generasi Bung Tomo?

Prinsipnya, santri adalah sekelompok orang yang dengan perantaraan bimbingan dan keteladanan tokoh kiai melakukan aktifitas pendalaman dan penguasaan agama dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya (tafaqquh fii al diin). Ini bersumber dari salah satu ayat Qur'an yang mengarahkan agar tersedia sekelompok orang atau komunitas (thaa'ifah) dalam kaum muslimin yang tidak ikut terlibat berjuang melawan musuh-musuh Allah. Akan tetapi mengkonsentrasikan diri mereka dalam aktifitas akademik keilmuan guna menyiapkan tenaga-tenaga inti penjaga stabilitas dan kualitas moral kultural dan intelektual masyarakatnya.

Pada titik ini, perjuangan santri adalah berproses untuk menjadi pribadi suci dan mumpuni yang suatu saat tampil sebagai kiai atau elit agama yang mampu membina, membimbing dan melayani umat agar senantiasa berada dalam koridor kerelaan Allah SWT. Karenanya, medan juang santri pada titik ini adalah medan juang yang sakral dan terbatas yaitu ranah moral intelektual dan akademik keilmuan serta lingkungan almamater yang digeluti dan dinaunginya.

Realitanya, kiai, sebagai elit santri, tidak berada dalam ruang yang hampa. Yang berarti bahwa sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap penyuluhan moral dan intelektual masyarakat memberikan konsekuensi berupa tuntutan untuk memahami situasi dan kondisi yang tercipta di masyarakatnya secara menyeluruh. Tak jarang, tuntutan itu berubah menjadi tekanan kepada kiai untuk terlibat langsung di lapangan. Dimana untuk itu kiai kerap menunjuk santri atau muridnya guna menjadi badal atau pengganti dirinya apakah untuk meneruskan pengabdiannya di dalam pesantren melalui pembelajaran kitab kuning atau untuk melakukan pengabdiannya di luar pesantren melalui pendampingan masyarakat.

Di sini, medan juang santri yang diawali oleh persinggungan elitnya, sang kiai, adalah medan yang profan dan luas. Melampaui ranah moral dan intelektual. Yaitu realitas sosial yang terhampar sedemikian luas. Dari sini kemudian sejarah aktivisme komunitas santri dalam pergolakan kebangsaan bermula. Mulai dari mengajarkan tata hidup sehat dan tercerahkan menurut pandangan agama Islam baik aspek kepercayaan, ekonomi, sosial, seni budaya hingga aspek politik. Sejak dari masa Raden Fatah dan Pendirian Negara Kerajaan Demak atau jauh sebelumnya.

Dalam konteks pendirian republik inipun demikian. Siapa yang kira bahwa seorang sekaliber Ibrahim Datuk Tan Malaka yang mengonsep Republik Indonesia dengan bukunya Naar de Republiek Indonesia plus buku opus magnumnya "Madilog" dan telah menjelajahi 2 benua dan 11 negara setara dengan jarak tempuh 2 kali mengelilingi bumi ini adalah seorang santri yang hafal Al Qur'an dan merupakan produk pendidikan model Surau (pesantren di Minangkabau). Tak hanya itu, nilai-nilai Qur'an seperti merdeka dari rasa takut dan merdeka dari hasrat ingin menguasai pihak atau bangsa lain, musyawarah dan kemandirian diejawantahkan olehnya dengan apik. Karena kematangan religiositasnya pula, ia mampu menundukkan ideologi sosialisme bahkan komunisme sebagai alat perjuangan yang membuatnya disebut oleh Soekarno, Presiden RI Pertama, sebagai sosok revolusioner yang paling mahir dalam revolusi lewat teori dan praktek Gerilya-Politik-Ekonomi (Gerpolek)-nya.

Strategi perjuangan dan peperangan gerilya itu pula yang di tangan seorang Soedirman, Jenderal Besar Bapak Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang juga berlatar belakang santri menjadi berkembang. Dengan kebersahajaan khas wong ndeso (karena tidak mengenyam pendidikan tinggi seperti tokoh-tokoh pemimpin pergerakan nasional kebanyakan), kader dan guru Muhammadiyah ini rela keluar masuk hutan demi menunjukkan kekuatan fisik maha dahsyat revolusi Indonesia. Senafas dengan Tan Malaka, santri yang juga cenderung sosialis dan menolak berunding dengan penjajah ini menginginkan Indonesia Merdeka seratus persen.

Negara 'ala NU dan Muhammadiyah

Negara dalam konsep Tan Malaka, Bapak Pendiri Republik ini, adalah negara efisien dan fungsional yang dikelola oleh sebuah organisasi. Di dalamnya terdapat fungsi perencanaan (legislatif), pelaksanaan (eksekutif) dan pengawasan (yudikatif) (Hasan Nasbi dalam Seri Buku Tempo : Tan Malaka, 2010 : 155).

Tidak seperti negara demokrasi parlementer yang mengharuskan adanya partai politik dan negara dengan trias politikanya. Praktek negara model Montesqiu ini cenderung mewajarkan tindakan hegemoni dan penindasan sekelompok kecil (elit) terhadap kelompok besar (kawula alit). Sekarang, logika demokrasi seperti itu merajalela dan telah menghantam setiap lini kearifan bangsa. Praktek money politic dan memilih kucing dalam karung dalam pentas suksesi lokal maupun nasional telah menjadi bagian paling subur yang menyebabkan salah urus dan situasi carut marut. Sebab, kekuasaan telah menjadi rebutan.

Dalam konteks Negara Mashlahah, yang dikelola dari rakyat adalah kepercayaan (amanat) bukan kekuasaan. Sehingga mereka yang terlibat di dalamnya secara sukarela menjalankan mandat rakyat demi tercapainya nilai-nilai kebaikan (maslahat) secara maksimal dan seluas-luasnya. Sedikit sekali celah atau tindakan yang dekonstruktif dan kontra produktif karena yang berlangsung adalah optimalisasi nilai-nilai luhur.

Praktek pengelolaan mandat dan kepercayaan model inilah yang telah diterapkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang tak lain merupakan representasi komunitas terbesar di republik ini. Keduanya adalah organisasi masyarakat (ormas) keagamaan mayoritas di nusantara bahkan dunia. Pada kedua ormas santri (satu identik dengan basis desa sementara yang satunya identik dengan basis kota) ini praktek pengelolaan amanat kepercayaan publik yang efisien dan fungsional, sebagaimana diinginkan Bapak Republik ini, berlangsung memadai.

Lihatlah di NU, tradisi pemilihan kepemimpinan tidak berangkat dari pemilihan langsung yang menggunakan tim sukses demi mendulang suara layaknya partai politik, tetapi melalui ijma' atau kesepakatan para tokoh yang kredibilitasnya dan kualitas ketokohannya di atas rata yang berlandaskan prinsip tawadhu', rendah hati dan kebersahajaan. Dari proses ini lahirlah pemimpin aspiratif (rais syuriyah) yang berikut jajarannya menjalankan fungsi badan kehormatan dan pengawasan plus pengadilan. Sementara untuk pelaksana, Rais Syuriyah menunjuk seseorang yang telah diajukan publik untuk menjadi pemimpin eksekutif (ketua tanfidziyah) yang dengan gerbongnya menjalankan semua program yang telah digariskan dalam pertemuan massal (kongres atau muktamar).

Pun demikian di Muhammadiyah, muktamarnya berlangsung untuk memilih pemimpin aspiratif (tim formatur yang terdiri dari 13 orang dengan kualifikasi terstandar dan memiliki kapabilitas dan kualitas ketokohan di atas rata-rata). Beda sedikit dengan NU, pemimpin eksekutif dipilih oleh dan dari Tim 13 tersebut. Meski demikian, pembagian fungsi dan wewenang berdasarkan prinsip yang sama yaitu musyawarah dan persaudaraan.

Tak heran jika kemudian pada praktek kenegaraan dan kebangsaan NU dan Muhammadiyah dapat berperan begitu aktif dan produktif. Kader dan warga kedua ormaspun menjadi bagian perhatian. Namun, sayang, porsinya masih minim sekali dan juga relatif singkat, seperti momentum dipilihnya Gus Dur (mantan Ketua Umum Pengurus Besar NU), M. Amin Rais (mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah) dan Akbar Tanjung (mantan Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam) sebagai Presiden, Ketua MPR dan Ketua DPR di awal Orde Reformasi.

Jika pola tata kelola amanat dan kepercayaan publik model NU dan Muhammadiyah ini yang diterapkan dalam tatakelola Negara Kesatuan Republik Indonesia, kebijakan umum yang mampu mendatangkan kemaslahatan nasional secara maksimal insya Allah akan dapat terpenuhi.

Agenda Khilafah Mashlahah

Tempat agama adalah dalam pencarian batas-batas kepantasan hidup bagi sebuah bangsa. Demikian ungkapan terkenal "Wali" Pribumisasi Islam Indonesia, Gus Dur. Sebangun dengan Nurcholis Madjid, A. Syafi'i Ma'arif dan Emha Ainun Nadjib dan bahkan YB. Mangunwijaya, pemikir-pemikir Indonesia kontemporer yang semakin mematangkan rumusan kepribadian bangsa Indonesia secara idelogis dan teologis.

Teologi Kebangsaan Indonesia yang disarikan lewat Pancasila sebagaimana yang telah diformulasi sejak zaman Sunan Kalijaga, Tan Malaka hingga Indonesia Merdeka lewat tangan mereka telah memungkinkan bangsa Indonesia untuk menatap sebuah masa depan, yang dalam bentuknya yang unik, sangat menjanjikan. Masa depan yang sangat jauh dari mainstream atau arus utama pemerhati kajian rekayasa masa depan (futurolog).

Dengan bekal kekayaan sejarah masa lalu dalam pembentukan sebuah bangsa, penghayatan dinamika lokal, nasional, regional dan global masa kini dan tanggung jawab akan kemaslahatan hidup generasi esok hari, bangsa Indonesia kini mulai menyadari akan pentingnya proses mentransformasi diri menjadi masyarakat santri atau madani.

Proses kebangkitan nasional kembali yang terjadi di Indonesia itu sangat mungkin melampaui pencapaian Malaysia, India, Jepang, China bahkan Amerika Serikat. Bukan karena keajaiban atau doa leluhur semata, tetapi karena pembelajaran pahit-manis yang telah diberikan oleh negara-negara dan bangsa-bangsa di atas itu kepada Indonesia baik sengaja atau tidak. Dimana letak geografis Indonesia yang sangat strategis telah menyuburkan cara berpikir model Gado-gado pada bangsa ini untuk secara kreatif mengolah hal-hal yang tampaknya telah menjadi sampah dari peradaban dunia yang melintasinya dan merubahnya menjadi kembali berguna.

Praktek salah urus yang melanda negeri ini tentu pada saatnya akan sampai pada titik kulminasi. Ledakan emosi sekaligus inspirasi yang menginginkan perbaikan di seluruh lini tanpa terkecuali pada saatnya akan melibatkan dan mendudukkan para santri sebagai pengendali. Kenapa, karena pada titik ini perbaikan yang diinginkan bukanlah model anarki tetapi model santri yang manusiawi dan indonesiawi. Jauh dari tindak kekerasan dan pelanggaran nilai kemanusiaan tetapi tetap tegas sesuai batasan yang diperlukan.

Khilafah pada saatnya dikembangkan tetapi tentu bukan khilafah untuk mendirikan negara dalam negara (Syariat atau Negara Islam). Bukan pula yang membolehkan aksi pengeboman yang justru kontraproduktif dan jauh dari nilai kemaslahatan dan kemanusiaan. Khilafah dalam konteks generasi muslim yang indonesiawi atau madani ini adalah tata kelola lingkungan yang efisien, fungsional dan produktif dengan orientasi berkah dan maslahah. Di sinilah kita temui pembenaran tesis Cak Nur tentang ledakan santri yang berhasil menjadi profesional, pengusaha, dokter, artis, teknisi, sutradara dan produser film, penulis, pekerja dan pemilik media dan lain-lain. Dengan keteladanan dan kearifan, menjalankan misi para kiai yang tak lain adalah penerus tugas para nabi. Di sinilah Kebangkitan Islam Indonesia atau Nahdlatul Islam Indonesia itu terjadi. Selamat berkembang generasi santri, selamat memperbaiki dan membangkitkan negeri ini!

* Mantan jurnalis Bengkulu Ekpress, tengah studi di PPS. IAIN Raden Fatah Palembang dan mengabdi di PP. Nurul Huda Sukaraja serta Sekum MUI OKU Timur, Sumatera Selatan.
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>