tag:blogger.com,1999:blog-89162612763958382582024-03-14T02:33:06.639-07:00FOSWAN (Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.comBlogger55125tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-27337062450506394612019-10-20T20:21:00.000-07:002019-10-20T20:21:22.265-07:00Kajian Kitab Fathul Qorib Part 1<center><iframe width="560" height="315" src="https://youtu.be/yTIRVgE5Cm0" frameborder="0" allow="autoplay; encrypted-media" allowfullscreen></iframe></center>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-34095428952594540512018-02-10T22:56:00.000-08:002018-02-10T23:21:44.074-08:00Belajar Perbedaan Ilmu Nahwu dan Shorof secara singkat<center><iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/mZCT8gIOuWI" frameborder="0" allow="autoplay; encrypted-media" allowfullscreen></iframe></center>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-14893501814461461132015-09-25T20:31:00.001-07:002015-09-25T20:31:20.735-07:00Pemahaman yang diplesetkan Muhammadiyah dan qasidah burdah
Sebelumnya banyak pihak yang menyerang bahkan mencaci pernyataan KH Said Aqil Siraj bahwa berjenggot dapat mengurangi kecerdasan.
Para ulama terdahulu juga mengingatkan bahwa “barangsiapa yang berlebihan panjang jenggotnya hingga ke pusar maka (hal tersebut) menunjukkan sedikitnya kecerdasan padanya” sebagaimana contoh kajian pada http://www.ngaji.web.id/2015/09/antara-jenggot-sunnah-dan-kecerdasan.html
Di dalam kitab Taurat juga dikatakan “barangsiapa yang berlebihan panjang jenggotnya, maka sedikit otaknya, barangsiapa yang sedikit otaknya, sedikit kecerdasannya, dan barangsiapa yang sedikit kecerdasannya, maka orang tersebut adalah orang yang tolol (pandir)”.
Jadi tidak ada yang salah dengan pernyataan KH Said Aqil Siradj bahwa “jenggot dapat mengurangi kecerdasan” yakni “semakin panjang semakin goblok” dan beliaupun tidak mengatakan orang berjenggot goblok dan tidak juga mencontohkan atau menuding siapapun yang berlebihan panjang jenggotnya hingga ke pusar.
Oleh karenanya para ulama dari empat mazhab telah sepakat untuk tidak membiarkannya melebihi satu genggam.
Kalau kita lihat video secara utuh, maka pernyataan KH Said Aqil Siraj bahwa “semakin panjang jenggot semakin goblok” adalah sebuah nasehat bagi mereka yang mengamalkan sunnah Rasulullah memelihara jenggot namun tidak menjadikannya seperti Rasulullah atau tidak menjadikannya cerdas (fathonah) sehingga mereka bersikap radikal karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah
Begitupula para Sahabat juga mempertanyakan jenggot orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yang terkenal gigih menjalankan sunnah Rasulullah namun tidak menjadikan mereka seperti Rasulullah atau tidak menjadikan mereka berakhlak baik sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/09/15/jenggot-dan-goblok/
Kali ini yang menjadi polemik adalah KH Said Aqil Siraj mengeluarkan kata “goblok” yang ditujukan kepada ormas Muhammadiyah sebagaimana video yang diunggah (upload) pada http://www.youtube.com/watch?v=KtyTqyxvdzc dan yang mengunggah menggunakan ID “nu garis lurus”.
Video yang diunggah pada 14 September 2015 tampaknya ingin memecah belah kaum muslim dan khususnya ormas NU karena video tersebut adalah video yang “dicari-cari” dan diberi judul vol 2 namun tidak ada kaitannya dengan pernyataan “semakin panjang semakin goblok” karena pernyataan “vol 2” tersebut dinyatakan 20 Oktober 2009.
Polemik kali ini jika disalahpahami dan tidak menahan diri akan menimbulkan perselisihan di antara kedua ormas.
Hal yang harus kita ingat selalu bahwa jika terjadi permusuhan di antara kaum muslim maka perlu kita waspadai hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi karena Allah Azza wa Jalla menciptakan kaum yang mempunyai rasa permusuhan terhadap kaum muslim adalah kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Salah satu protokol Zionis yakni yang ketujuhbelas berbunyi,
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan…..
Serangan terhadap ketua umum PBNU KH Said Aqil Siraj adalah termasuk upaya mendiskreditkan ulama karena ormas NU adalah salah satu jama’ah minal muslimin yang istiqomah mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Kutipan pernyataan Beliau tersebut terkait dengan pelarangan atau pengharaman Qasidah Burdah yang dimotori oleh firqah Wahabi yakni orang-orang yang mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat.
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut yang tidak pernah bertemu muka yakni mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih
Berikut kutipan informasi dari situs resmi mereka seperti pada http://www.saudiembassy.net/about/country-information/Islam/saudi_arabia_Islam_heartland.aspx
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Penamaan firqah Wahabi dinisbatkan kepada nama ayahnya Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sekedar untuk membedakan antara ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah dengan ajaran Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Contoh penisbatan bukan pada nama sendiri lainnya adalah seperti pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, kita sepakati dinamakan sebagai mazhab Hambali karena hal itu adalah hasil ijtihad dan istinbat beliau dalam perkara fiqih berdasarkan sumber ijtihad yang dimilikinya seperti hafalan hadits yang melebihi jumlah hadits yang telah dibukukan pada zaman kini dan kompetensinya dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah yang diakui oleh jumhur ulama sebagai salah satu Imam Mujtahid Mutlak
Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
Contoh penghasut pada masa keruntuhan kekhalifahan Turki Ustmani adalah seperti Thomas Edward Lawrence, perwira Yahudi Inggris yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian, selain menghasut untuk membiasakan umat Islam disegi kemajuan dunia seperti kebiasaan barat, termasuk nasionalisme Arab dan Sekulerisme, ia juga menyebarkan hasutan supaya umat Islam tidak terikat dan tidak fanatik kepada aliran mazhabiah.
Hasil hasutan Laurens Of Arabian adalah mereka meninggalkan para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Sehingga kaum muslim mengajukan permohonan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz sebagaimana yang dikabarkan pada http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,39479-lang,id-c,nasional-t,Komite+Hijaz-.phpx
***** awal kutipan *****
Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh.
Saat itu terjadi eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain, mereka pindaha atau pulang ke negara masing-masing, termasuk para santri asal Indonesia.
Dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah, berbagai tempat bersejarah, baik rumah Nabi Muhammad dan sahabat termasuk makam Nabi hendak dibongkar.
Dalam kondisi seperti itu umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Merembuk Hijaz atau Komite Hijaz.
Komite bertugas menyampaikan lima permohonan:
Pertama, Memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqoid maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk memperkuat hubungan dan persaudaraan umat Islam yang bermazhab sehingga umat Islam menjadi sebagi tubuh yang satu, sebab umat Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan.
***** akhir kutipan *****
Setelah awal abad ke 20 tidaklah terdengar lagi mufti-mufti mazhab di wilayah kerajaan dinasti Saudi karena mereka termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
Ulama besar Indonesia yang pernah menjadi mufti Mazhab Syafi’i sekaligus menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Beliau memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi guru para ulama Indonesia.
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang awam sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/09/18/bukanlah-hanabila/
Dr Deliar Noer dalam bukunya berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 menyebutkan, Ibnu Sa’ud yang berhasil mengusir penguasa Makah sebelumnya, yakni Syarif Husein pada tahun 1924, mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktik beragama sesuai dengan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab atau ajaran Wahabi.
Ketika ada undangan dari Ibnu Sa’ud pada kalangan Islam di Indonesia untuk menghadiri kongres di Makah, langsung mendapat reaksi dengan dibicarakan undangan tersebut di Kongres ke-4 Al-Islam di Yogyakarta (Agustus 1925) serta Kongres Ke-5 di Bandung (Februari 1926).
Kedua kongres itu didominasi golongan yang dinamakan pembaru Islam yang arti sebenarnya adalah pemahaman baru yang tidak mengikuti metode pemahaman dan istinbath yang telah dibakukan dan dicontohkan oleh Imam Mazhab yang empat
Pada kongres di Bandung, KH Abdul Wahab Chasbullah atas nama ulama kalangan kaum tua mengusulkan mempertahankan beragama istiqomah mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah disampaikan oleh para pengikutnya berikut dengan kebiasan-kebiasaan yang telah dilakukan oleh mereka. Kongres di Bandung itu ternyata tidak menyambut baik usulan tersebut.
KH Abdul Wahab Chasbullah selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat di kalangan ulama kaum tua, dimulai dari Surabaya, kemudian Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sepakat mendirikan suatu panitia yang disebut ”Komite Merembuk Hijaz”.
Oleh karena untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud.
Dalam mengupayakan pertemuan dengan Raja Ibnu Sa’ud, kedua utusan itu juga diminta hadir dengan perantaraan Belanda di Jedah. Tetapi mereka tidak dapat berangkat karena terlambat memesan tempat di kapal.
Sebagai gantinya, NU mengirimkan isi keputusan rapat mereka kepada Raja Ibnu Sa’ud dengan tambahan permintaan, agar isi keputusan itu dapat dimasukkan dalam undang-undang Hijaz. Namun tidak ada jawaban atas permintaan itu.
Kemudian pada 27 Maret 1928, NU mengumumkan Abdul Wahab dan Ahmad Ghanaim al-Amir pergi ke Makah. Keduanya sampai di Tanah Suci pada 27 April 1928, dan 13 Juni 1928 mereka diterima Raja.
Salah satu poin seruan pada Raja Ibnu Sa’ud adalah “tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir yang benar atau wirid membaca Dalail al-Khairat atau Burdah atau mengaji kitab fiqh mazhab Syafi’i, seperti Tuhfah, Nihayah, Bajah.” sebagaimana contoh informasi dari http://chaerolriezal.blogspot.co.id/2013/06/nahdhatul-ulama-nu_12.html
Keistiqomahan ormas NU untuk mengikuti Imam Mazhab yang empat terlukis dalam lambang ormas NU, sebagaimana yang dikutip dari situs http://al-islamjenangan.blogspot.com/2013/02/nahdlotul-ulama-rahmatan-lil-alamin.html
Dalam penjelasannya tentang makna lambang NU, KH Ridwan menguraikan bahwa tali ini melambangkan agama sesuai dengan firman Allah “Berpeganglah kepada tali Allah, dan jangan bercerai berai.” (Q.s. Ali Imran: 103).
Posisi tali yang melingkari bumi melambangkan ukhuwah (persatuan) kaum muslimin seluruh dunia.
Untaian tali berjumlah 99 melambangkan asmaul husna.
Bintang sembilan melambangkan Wali Sanga.
Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Empat bintang kecil di samping kiri dan kanan melambangkan Khulafa’ Ar-Rasyidin.
Empat bintang kecil di bagian bawah melambangkan madzahibul arba’ah (madzhab yang empat).
Ahlussunnah wal jamaah dalam bidang i’tiqod mengikuti imam Asy’ari. Dalam bidang akhlak mengikuti ulama’-ulama’ tasawuf yang muktabaroh.
KH Ridwan menambahkan bahwa ormas NU didirikan untuk mengikuti sunnah Rasulullah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Thabari Ra yang mengatakan; berkata kaum ulama’ bahwa jamaah adalah as-sawadul a’dzom (mayoritas kaum muslimin).
Rasulullah telah mengingatkan bahwa ketika masa bermunculan penyeru-penyeru menuju pintu jahannam yakni menyeru untuk menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) maka hendaklah selalu bersama jama’ah muslimin dan imamnya, hindarilah seluruh firqah-firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kita gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggut.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Mayoritas kaum muslim pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in
Sedangkan pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Memang ada mazhab selain yang empat, namun pada masa sekarang sudah sulit ditemukan ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam mazhab selain yang empat sehingga tidak mudah untuk menjadikannya tempat bertanya.
Sebagaimana pepatah mengatakan “malu bertanya sesat di jalan” maka kesesatan dapat timbul dari keengganan untuk bertanya kepada orang-orang yang dianugerahi karunia hikmah oleh Allah Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.
Umat Islam maupun sekelompok umat Islam seperti organisasi kemasyarakatan (ormas) yang mengikuti Imam Mazhab yang empat tidaklah dikatakan berfirqah.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak.
“Jika ia benar mendapat dua pahala, jika salah hanya mendapat satu pahala” hanyalah berlaku untuk ahli istidlal yang dipunyai para fuqaha, yakni ulama yang faqih dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Adapun orang yang bukan ahli istidlal lantas menghukumi, dia tidak dapat pahala. Ia justru berdosa karena bukan ahlinya.
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/13), Para ulama’ berkata : ” Telah menjadi ijma’ bahwa hadits ini adalah untuk hakim yang alim dan ahli hukum, jika keputusannya benar maka dia mendapat 2 (dua) pahala yaitu pahala ijtihadnya dan pahala benarnya, jika salah maka dapat satu pahala yaitu pahala ijtihadnya saja”
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu ta’ala berkata dalam menjelaskan hadits ini: “(Beliau) mengisyaratkan bahwa tidaklah mesti – disaat ditolak hukumnya atau fatwanya lantaran berijtihad lalu keliru – maka dia mendapat dosa dengan (kesalahan) tersebut. Akan tetapi apabila dia telah mengerahkan kemampuannya, maka ia mendapat pahala, jika (hukumnya) benar, maka digandakan pahalanya. Namun apabila dia menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa ilmu maka dia mendapat dosa.” (Fathul Bari: 13/331)
Telah berkata Al-Baghawiy rahimahullahu ta’ala : “Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits : ‘Apabila ia berijtihad kemudian keliru, baginya satu pahala’; tidaklah dimaksud dengannya ia diberikan pahala karena kekeliruan (yang ia lakukan). Namun ia diberikan pahala dalam kesungguhannya (ijtihadnya) untuk mencari kebenaran, karena ijtihad merupakan bagian dari ibadah. Dosa dalam kekeliruan itu ada jika ia tidak bersungguh-sungguh dalam ijtihad. Dan ini ada pada diri orang yang berkumpul padanya peralatan/sarana untuk berijtihad. Adapun orang yang tidak berhak untuk berijtihad, maka ia termasuk orang yang telah memperberat-berat/memaksakan diri sehingga tidak diberikan ‘udzur atas kekeliruannya dalam memutuskan hukum. Bahkan, dikhawatirkan padanya tertimpa dosa yang sangat besar.
Ibnul-Mundzir rahimahullahu ta’ala berkata : “Seorang hakim yang keliru hanyalah diberi pahala jika ia seorang yang ‘aalim terhadap metodologi ijtihad, lalu melakukan ijtihad. Jika ia bukan seorang yang ‘aalim, tidak diberikan pahala”. Ia berdalil dengan hadits tiga golongan qaadliy dimana padanya disebutkan dua golongan yang masuk neraka: “Qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara bukan berdasarkan kebenaran, maka ia masuk neraka. Dan qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara dalam keadaan ia tidak mengetahui (ilmunya), maka ia pun masuk neraka”.
Diriwayatkan dari Buraidah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : ‘Hakim itu ada tiga golongan. Satu masuk surga dan dua masuk neraka. Golongan yang masuk surga adalah orang yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan dengannya. Adapun orang yang mengetahui kebenaran namun ia menyimpang darinya dalam hukum (ia tidak memutuskan dengannya) , maka ia masuk neraka. Dan orang yang memutuskan perkara dengan kebodohan, maka ia juga masuk neraka” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3573, At-Tirmidziy no. 1322, Ibnu Maajah no. 2315, dan dishahihkan oleh Al-Haakim)
Begitupula ahli hadits berbeda dengan para fuqaha.
Ahli hadits tidak berhak untuk bertindak sebagai fuqaha. Oleh karenannya tidak ditemukan penisbatan nama mazhab kepada nama seorang ahli hadits.
Ahli hadits hanyalah menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya kemudian mengumpulkan, meneliti dan menyampaikan dalam kitab-kitab hadits atau menyusunnya berdasarkan nama perawi sehingga menjadi kitab-kitab musnad atau menyusunnya berdasarkan klasifikasi masalah sehingga menjadi kitab-kitab sunan.
Pada masa sekarang bermunculan orang-orang yang mengaku-ngaku atau dinisbatkan sebagai ahli hadits namun bukan ahli hadits sebenarnya (yang menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya) melainkan ahli membaca hadits-hadits yang telah terbukukan di balik perpustakaan alias otodidak (shahafi).
Ada pula mereka yang terhasut meninggalkan Imam Mazhab yang empat dan lebih memilih mengikuti orang-orang yang mengaku berada di atas manhaj (mazhab) Salaf sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://almanhaj.or.id/content/1474/slash/0/antara-ahlus-sunnah-dan-salafiyah/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar [Majmu Fatawa 4/149]
***** akhir kutipan *****
Begitupula dalam jawaban Raja Ibnu Sa’ud berupa surat terhadap seruan Komite merembuk Hijaz mereka mengaku mengikuti mazhab Salafush Sholeh.
Istilah mazhab (manhaj) Salaf adalah keliru karena penisbatan nama mazhab kepada nama perorangan bukan pada suatu kelompok atau nama generasi
Penisbatan nama mazhab adalah kepada fuqaha (ahli fiqih) atau ahli istidlal yang telah meraih kompetensi sebagai Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil
Nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in tercantum pada hadits, pada umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad dan istinbat mereka.
Para perawi sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.
Jadi pendapat atau pemahaman Salafush Sholeh tidak bisa didapatkan dari membaca hadits.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas dapat kita pahami bahwa Imam Mazhab yang empat yang menyusun ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip dasar ( asas) beserta cabangnya (furu) yang akan diikut umat Islam sampai akhir zaman.
Mereka yang mengaku berada di atas manhaj (mazhab) Salaf juga mengatakan bahwa mereka mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun pada kenyataannya tentu mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri terhadap hadits yang dibacanya, bukan pendapat atau permahaman Salafush Sholeh.
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca.
Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh.
Selain fitnah terhadap Salafush Sholeh karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah akibat mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafI), mereka dapat terjerumus memfitnah Allah dan RasulNya dengan mereka mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah berfirman seperti ini, seperti ini, Rasulullah telah bersabda seperti ini, seperti ini namun menurut akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/21/janganlah-memfitnah-tuhan/
Jadi pada kenyataannya orang-orang yang mengaku berada di atas manhaj (mazhab) Salaf maupun pencetus istilah manhaj (mazhab) salaf adalah orang-orang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/07/istilah-mazhab-salaf/
Sebagai dimaklumi, bahwa arti “salaf” adalah “orang yang terdahulu”. Orang yang terdahulu itu ada yang baik dan ada yang buruk.
Pada zaman Nabi, bukan saja yang ada itu orang Islam, tetapi ada juga orang Yahudi, Nasrani. Singkatnya, di zaman dulu itu ada orang yang shaleh dan ada pula orang yang taleh (bahasa Minang) atau talih (tidak sholeh).
Oleh karenanya kita dianjurkan memperbanyak bergaul dengan orang shaleh dan mengurangi bergaul dengan orang talih.
Kalau kita dianjurkan mengikuti mazhab atau manhaj Salaf, dengan arti mazhab atau manhaj orang yang terdahulu, maka itu berarti kita dianjurkan bukan saja mengikuti orang-orang yang baik-baik tetapi juga mengikuti orang yang jelek-jelek.
Bahkan batas waktu yang tegas antara yang dinamai zaman Salaf dan zaman Khalaf tidak ada keterangan, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits.
Apakah yang dinamakan zaman Salaf itu 100 tahun, 200 tahun, 300 tahun, 400 tahun atau 500 tahun sesudah Nabi ? tidak ada keterangannya yang pasti.
Pada intinya tidak ada nubuat Rasulullah yang menyebutkan batas atau pembagian waktu Salaf dan Khalaf.
Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim juga termasuk salaf karena bertemu dengan Rasulullah namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/05/termasuk-salaf/
Salah dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bukan ahli istidlal akan menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan sehingga timbullah firqah dalam Islam.
Perhatikanlah tulisan-tulisan mereka contohnya pada http://tukpencarialhaq.com/ maka akan dapat kita temukan bertebaran nama-nama firqah yang masing-masing merasa paling benar seperti salafi jihadi, salafi haraki, salafi Turotsi, salafi Yamani atau salafi Muqbil, salafi Rodja atau salafi Halabi, salafi Sururi, salafi Quthbi atau salafi Ikhwani dan firqah-firqah yang lain dengan nama pemimpinnya.
Contohnya pengikut Ali Hasan Al Halabi dinamakan oleh salafi yang lain sebagai Halabiyun sebagaimana contoh publikasi mereka pada http://tukpencarialhaq.com/2013/11/17/demi-halabiyun-rodja-asatidzah-ahlussunnah-pun-dibidiknya/ berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Kita lanjutkan sedikit pemaparan bukti dari kisah Haris, Jafar Salih dkk.
Cileungsi termasuk daerah terpapar virus Halabiyun Rodja pada ring pertama.
Tak heran jika kepedulian asatidzah begitu besar terhadap front terdepan (disamping daerah Jakarta tentunya).
Daurah-daurah begitu intensif dilaksanakan, jazahumullahu khaira. Kemarahan mereka telah kita saksikan bersama dan faktanya, amarah/ketidaksukaan ini juga mengalir deras pada sebagian dai yang menisbahkan diri dan dakwahnya sebarisan dengan kita.
Berdusta (atas nama Asy Syaikh Muqbil rahimahullah-pun) dilakukan, menjuluki sebagai Ashhabul Manhaj sebagaimana yang dilontarkan dengan penuh semangat oleh Muhammad Barmim, berupaya mengebiri pembicaraan terkait kelompok-kelompok menyimpang sampaipun Sofyan Ruray mengumumkan melalui akun facebooknya keputusan seperempat jam saja!!
****** akhir kutipan ******
Asy-Syathibi mengatakan bahwa orang-orang yang berbeda pendapat atau pemahaman sehingga menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan. maka mereka menjadi firqah-firqah dalam Islam sebagaimana yang Beliau sampaikan dalam kitabnya, al-I’tisham yang kami arsip pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/ciri-aliran-sesat/
****** awal kutipan *****
Salah satu tanda aliran atau firqoh sesat adalah terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105).
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya, kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”
Kemudian Asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wasallam, tetapi mereka tidak bercerai berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan nash-nya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam.
Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan, maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama.
Persoalan tersebut berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menafsirkan ayat berikut ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.”
******* akhir kutipan *******
Jadi firqah atau sekte timbul ketika sebuah kelompok kaum muslim (jama’ah minal muslimin) atau sebuah ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah namun mereka tidak berkompetensi sebagai ahli istidlal apalagi sebagai imam mujtahid mutlak
Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan pada http://www.sangpencerah.com/2013/08/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-ini.html bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat.
Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih, ormas Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah diteladani oleh pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada http://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-zon-jonggol-aswaja-sarkub/
Jadi dapat kita simpulkan bahwa berdasarkan pemahaman mereka terhadap Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri , mereka menyalahkan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan bahkan menganggap kebiasaan-kebiasaan yang dahulu Beliau lakukan adalah kesesatan atau bid’ah dholalah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah diambilnya ilmu agama dari al ashaaghir yakni orang-orang yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Walaupun ulama panutan mereka pada awalnya berguru dengan guru-guru yang memiliki sanad guru (susunan guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah namun menjadi tidak berarti apa-apa jika pada akhirnya mereka lebih banyak mendalami ilmu agama di balik perpustakaan alias secara otodidak (shahafi) sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/18/sanad-tak-berarti/
Janganlah mengambil pendapat atau ilmu agama dari ulama dlaif yakni orang-orang yang kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/31/ulama-dlaif/
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Jadi pengikut syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Begitupula pengikut syaitan dapat diakibatkan karena terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi sehingga memusuhi umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka.
Kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason, iluminati, lucifier adalah pengikuti syaitan
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman” (QS Al Baqarah [2]:102)
Mereka yang terhasut dan menjadi pengikut syaitan karena aqidah mereka yakni dalam memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir sehingga terjerumus bertasyabuh dengan kaum Yahudi sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/07/tauhid-trinitas/
Mereka yang terhasut dan menjadi pengikut syaitan karena gagal paham tentang bid’ah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang yang tidak dilarangNya atau mengharamkan yang tidak diharamkanNya dan sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkanNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/21/gagal-paham-bidah/
Begitupula mereka yang melarang atau mengharamkan qasidah burdah adalah mereka yang gagal paham tentang bid’ah.
Mereka yang melarang atau mengharamkan qasidah burdah karena menganggap sebagai pujian berlebihan bagi Rasulullah adalah karena salah memahami sabda Rasulullah, “Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Hal ini timbul dikarenakan mereka mencoba memahami hadits secara sepotong-potong.
Kadang mereka memotong sebatas
“Jangan memujiku secara berlebihan ”
atau
“Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam”
Mereka tidak memperhatikan apa fungsi bagian akhir dari sabda Rasulullah tersebut yakni “Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Hadits tersebut sudah secara jelas meberikan batasan pujian yang berlebihan yakni “seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam” yang mempunyai makna majaz (kiasan) yang maknanya adalah “seperti kaum Nasrani yang menjadikan Nabi Isa a.s sebagai putera Tuhan”
Apa yang dilakukan oleh kaum Nasrani diingkari dengan “Isa putera Maryam” dan “Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Dan sejak larangan Nabi itu disampaikan hingga saat ini, tidak pernah ada seorangpun dari kalangan umat Islam yang memuji Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melebihi batasannya sebagai manusia.
Sehingga benarlah apa yang disampaikan Imam Bushiri di dalam syair Burdahnya:
“Tinggalkan pengakuan orang Nasrani atas Nabi mereka… Pujilah beliau (shallallahu alaihi wasallam) sesukamu dengan sempurna… Sandarkanlah segala kemuliaan untuk dirinya… Dan nisbahkanlah sesukamu segala keagungan untuk kemuliaannya…”
Begitupula mereka menganggap syair dalam qasidah burdah mengandung kemusyrikan serupa pula dengan mereka menganggap kaum muslim yang mengamalkan sholawat Nariyah akan bertempat di Neraka karena pemahaman tauhid mereka adalah tauhid ala firqah Wahabi.
Terkait sholawat Nariyah, mereka mengatakan bahwa
“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang diserunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah)”
Tampaknya mereka memahami secara dzahir atau dengan makna dzahir terhadap kalimat yang artinya,
“yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik”
Kalimat tersebut seharusnya dipahami dengan makna majaz (makna metaforis , makna kiasan) bahwa Beliau shallallahu alaihi wasallam pembawa Al Qur’an, pembawa hidayah, pembawa risalah, yang dengan itu semualah terurai segala ikatan dosa dan sihir, hilang segala kesedihan yaitu dengan sakinah, khusyu dan selamat dari siksa neraka, dipenuhi segala kebutuhan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik yaitu husnul khatimah dan sorga,
Ini adalah kiasan saja dari sastra balaghah Arab dari cinta, sebagaimana pujian Abbas bin Abdulmuttalib ra kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dihadapan Beliau shallallahu alaihi wasallam :
“… dan engkau (wahai Nabi shallallahu aalaihi wasallam) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417), tentunya bumi dan langit tidak bercahaya terang yang terlihat mata, namun kiasan tentang kebangkitan risalah.
Sebagaimana ucapan Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah, bila kami dihadapanmu maka jiwa kami khusyu” (shahih Ibn Hibban hadits no.7387), “Wahai Rasulullah, bila kami melihat wajahmu maka jiwa kami khusyu” (Musnad Ahmad hadits no.8030)
Semua orang yang mengerti bahasa arab memahami ini, Cuma kalau mereka tak faham bahasa maka langsung memvonis musyrik, tentunya dari dangkalnya pemahaman atas tauhid.
Demikianlah penjelasan ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yakni Habib Munzir Al Musawa yang bersumber dari http://www.majelisrasulullah.org/forums/topic/keutamaan-shalawat-nariyyah-fiqhaqidah/
Memang salah satu ciri khas mereka yang mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat adalah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab. Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi dalam kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf menjelaskan bahwa,
“sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”
Kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul contohnya jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Jadi kesimpulannya orang-orang yang sesat dan menyesatkan dapat dikarenakan kurang mendalami atau bahkan melarang (mengharamkan) mendalami ilmu balaghah.
Gagal paham tentang bid’ah dapat pula disebabkan karena kurang mendalami ilmu balaghah sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/27/bidah-dan-balaghah/
Oleh karenanya lebih baik mensyaratkan bagi pondok pesantren, majelis tafsir, ormas-ormas yang mengaku Islam, lembaga kajian Islam maupun lembaga-lembaga Islam lainnya termasuk lembaga Bahtsul Masail untuk dapat memahami dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) dalam implementasi agama dan menghadapi permasalahan kehidupan dunia sampai akhir zaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, wajib menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/30/bacalah-dan-istinbath/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tulisan selengkapnya dapat dibaca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/09/17/muhammadiyah-dan-qasidah-burdah/FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-20628419691510336832012-01-11T17:30:00.001-08:002012-01-11T17:30:25.013-08:00Wahyu Ilahi terhadap Hamba-HambaNya<div id="yui_3_2_0_1_1326278513735272"><div class="yiv584051072WordSection1" id="yui_3_2_0_1_1326278513735269"><br />
<div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin bahwa, sahabat Harist bin Hisyam Radhiyallâhu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasul, bagaimana cara datangnya wahyu kepadamu?”</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Nabi menjawab, “Kadang wahyu tersebut sampai kepadaku seperti bunyi lonceng dan cara turun wahyu sedemikian ini terasa paling berat bagiku, kemudian aku merasa ketakutan, dan sungguh aku dapat menghafal apa yang telah disampaikan malaikat kepadaku. Dan kadangkala malaikat mengubah wujudnya menjadi sosok seorang laki-laki, kemudian berucap kepadaku, sehingga aku hafal apa yang ia katakan.”</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Wahyu merupakan hal yang sangat sakral, tidak sembarang orang menerimanya, makhluk yang dipilih untuk menerima wahyu berarti makhluk yang luar biasa, diantaranya adalah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Turunnya wahyu kepada sang Baginda Rasulullah melalui bermacam-macam cara. Kadang melalui mimpi, kadang juga datang kepada beliau dalam keadaan terjaga. </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Nabi kita Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ketika wahyu turun, mengalami semacam kepayahan, keningnya bercucuran meskipun saat itu kondisinya sangatlah dingin. Aisyah berkata, “Sungguh aku melihat wahyu diturunkan kepadanya pada waktu sangat dingin sehingga mengakibatkan Nabi ketakutan dan keningnya bercucuran keringat.” (H. al-Bukhari).</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Rawi-Rawi Hadis</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Perawi Hadis yang terlibat dalam periwayatan hadis ini sebanyak enam rawi, yaitu:</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">1) Abdullah bin Yusuf al-Mishriy at-Tinnisiy<span style="color: blue;">1)</span>, 2) al-Imam Malik<span style="color: blue;">2)</span>, 3) Abul Mundzir, Hisyam bin Urwah bin az-Zubair bin al-Awam al-Qurasyi al-Asadi, 4) Abu Abdillah, Urwah yang tak lain adalah Ayah Shahabat Hisyam (urutan kedua perawi Hadis ini), 5) Ummul Mukminin Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq Radhiyallâhu ‘anhu.<span style="color: blue;">3)</span>, 6) Al-Harist bin Hisam bin al-Mughirah bin Abdillah bin Makhzum<span style="color: blue;">4)</span>, saudara kandung Abu Jahal.</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Untuk kapasitas dan kwalitas Hadis di atas, baik yang berkenaan dengan para perawinya atau yang berkenaan dengan matannya tidak perlu dipermasalahkan, sebab Hadis ini sudah diteliti oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dan keduanya mencantumkan Hadis tersebut dalam karyanya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan Ulama sudah sepakat dan mengamini kwalitas dan tingkat akurasi kedua kitab Shahih tersebut.</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Wahyu ataukah Ilham?</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Wahyu adalah sebuah penjelasan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ kepada Nabi-Nya secara samar atau tersembunyi. Wahyu menurut istilah syariat adalah penjelasan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang ditujukan kepada Nabi-nabiNya atas suatu hal, adakalanya berupa Kalam, Risalah via malaikat, dan lain sebagainya, baik ketika tidur atau terjaga. Kadang kala kata “wahyu” ini diartikan sebagai barang (materi) yang diwahyukan. Arti sedemikian ini bila lihat dengan kacamata ilmu Balaghah merupakan bagian dari sastra Arab yang berupa bentuk kata mashdar (pekerjaan/proses). Tapi yang dimaksud adalah maf’ûl (obyek) atau sesuatu yang diwahyukan. Jadi kata “wahyu” berarti sesuatu yang diwahyukan kepada rasul-Nya. Hal ini mencakup al-Qur’an dan Hadis sebagaimana dalam firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya<span style="color: blue;">5)</span>: “Ucapan (Muhammad) itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS an-Najm [35]: 04) Kata “wahyu” memiliki beberapa pengertian serta bentuk tergantung dengan kalimat apa kata tesebut dikaitkan. Jika kata wahyu dikaitkan atau disandingkan dengan kata “Nabi” atau “Anbiya’” (para nabi), maka mempunyai tiga bentuk<span style="color: blue;">6)</span>:</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Pertama, wahyu yang ditransfer kepada nabi-Nya yang berupa kalam qadîm seperti yang pernah dialami oleh Nabi Musa ‘Alaihissalâm di Bukit Tursina (Gunung Sina). Kedua, wahyu yang tersampaikan kepada nabi melalui perantara malaikat, seperti dalam firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya, “…atau mengutus seorang utusan (malaikat)..” (QS asy-Syûrâ [42]: 51). Dan Ketiga, wahyu menghembus ke dalam hati Nabi, sesuai dengan Hadis Nabi : “Innar-Rûh al-Quddûs nafatsa fî rau‘î ay nafsî”. Artinya, “Sesungguhnya malaikat jibril meniupkan pada hatiku.”</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dalam Hadis di atas, kata “rau’î” ditafsiri dengan kata “nafsi” yang artinya hatiku. Menurut sebagian pendapat bentuk wahyu yang ketiga ini juga dialami oleh Nabi Daud ‘Alaihissalâm.</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Lain halnya bilamana kata “wahyu” disandingkan dengan kata selain kata “Anbiya’” maka kata wahyu tersebut mempunyai arti ilham. Seperti wahyu Allah Subhânahu wa ta‘âlâ kepada lebahdalam firman Allah yang artinya, “Dan tuhanmu mewahyukan pada lebah…” (QS an-Nahl [16]: 68)<span style="color: blue;">7)</span></span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Bentuk Turunnya Wahyu</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Imam as-Suhaili memaparkan dengan jelas bahwa kata “wahyu” mempunyai tujuh bentuk, yaitu: </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Pertama, mimpi (manâm) seperti yang diriwayatkan Aisyah yang artinya, “Pertama kali turunnya wahyu adalah mimpi indah pada waktu Nabi tertidur…” (HR al-Bukhari)</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Kedua, kedatangan wahyu seperti bunyi sebuah lonceng, seperti dalam Hadis di atas. Ulama berpendapat bahwa cara turunnya wahyu yang sedemikian mempunyai hikmah yang tersimpan, yaitu menarik dan memfokuskan perhatian Nabi dari hal-hal lain.<span style="color: blue;">8)</span></span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Ketiga, datangnya wahyu merasuk ke dalam hati Nabi. Bentuk ini sejalan dengan pembagian wahyu yang ketiga.</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Keempat, malaikat menjelma menjadi sesosok manusia. Seperti Hadis di atas. Pernah suatu ketika malaikat menjelma menjadi Sahabat Dihyah bin Khalifah al-Kalbi. Sahabat Dihyah adalah Sahabat yang paling tampan di antara sahabat-sahabat yang lain. Dengan alasan itu pula malaikat yang menjelma sahabat Dihyah memilih untuk menutupi wajahnya dengan sehelai kain supaya terhindar dari ketertarikan kaum Hawa.<span style="color: blue;">9)</span> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Kelima, Malaikat Jibril memperlihatkan sosok seperti wujud aslinya dengan perlengkapan sayap yang berjumlah 600 dan menyajikan barang yang dianggap sangat berharga di kalangan manusia, yaitu sebuah lu’lu’ (permata) dan Yaqut.</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Keenam, Allah Subhânahu wa ta‘âlâ memperdengarkan suara dari belakang hijâb. Kejadian ini sama persis yang dialami Nabi Musa ‘Alaihissalâm di sebuah Bukit Tursina (Gunung Sinai). Allah Subhânahu wa ta‘âlâ berfirman yang artinya, “…Dan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ telah bebicara kepada Nabi Musa ‘Alaihissalâm dengan langsung” (QS an-Nisa’ [04]: 164). Dan yang dialami Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika malam Isrâ’, firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya, “…atau dari belakang tabir.” (QS asy-Syûrâ [42]: 51)</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Wahyu turun kepada Rasulullah baik beliau dalam keadaaan terbangun, seperti dalam Hadis yang diriwayatkan Aisyah yang artinya, “Kemudian malaikat datang kepadaku dan berkata, ‘Bacalah!’”, ataupun pada waktu Nabi sedang dalam keadaan tertidur seperti dalam Hadis yang juga diriwayatkan oleh Aisyah yang artinya, “Pertama kali turunnya wahyu adalah mimpi indah pada waktu Nabi tertidur”.</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Ketujuh, wahyu yang disampaikan melalui malaikat Israfil. Yang dimaksud wahyu di sini bukanlah al-Qur’an. Karena malaikat Israfil menemani Nabi semenjak diangkat menjadi Nabi selama tiga tahun, sebelum diangkat menjadi Rasul. Sedangkan al-Qur’an sepenuhnya diturunkan melalui perantara Jibril ‘Alaihissalâm.<span style="color: blue;">10)</span></span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Kesimpulan</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Kedua Hadis di atas menunjukkan kepada kita salah satu bentuk turunnya wahyu yang diterima Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dari kedua Hadis tersebut dapat kita mengerti bahwa menerima wahyu bukanlah hal yang gampang dan terasa ringan. Dengan gamblang Nabi menceritakan bahwa rasanya sangat berat dan sakit. </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dan yang perlu diperhatikan dalam redaksi Hadis di atas adalahbahwasanya pertanyaan Sahabat Hisyam Radhiyallâhu ‘anhu yang tertera dalam Hadis di atas murni bertujuan untuk ketenangan hati, serta bukanlah sebuah wujud dari keingkaran sahabat Nabi.<span style="color: blue;">11)</span> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Catatan akhir:</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dikenal dengan at-Tinnisiy karena mukim di Tinnis, wafat tahun 218 H. Tahdzibul-Kamal X/654. disepakati kredibilitasnya sebaimana komentar Imam al-Kholiliy, Tahdzibut-Tahdzib 6/80 </span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Nama lengkapnya Abu Abdillah bin Malik bin Abi Amir al-Ashbikhiy al- Madaniy. Lahir 95 H. salah satu golongan Muktsirin, meriyaytkan meriwyatkan sebayak 2630 Hadis, wafat 179 H. pada usia 94</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>3.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Lahir selisih empat atau lima tahun setelah kenabian, salah satu golongan Muktsirin, meriwyatkan sebanyak 2210 Hadis. Wafat malam Selasa tangaal 17 Ramadan pada tahun 58 H</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>4.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Hadir dalam peperangan Badar sesbagai musuh orang Islam (bersatatus Kafir), kemudian masuk Islam pada hari penaklukan Makah, beliau mempunyai 32 anak</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>5.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Syaikh Abdullah bin Hijazi as- Syarqawi, Fathul-Mubdiy, Darulfikr,1994, I/9</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>6.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Badruddin al-Aini, ‘Umdat al-Qariy, Darul kutub ‘ilmiyah ,2001, I/79</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>7.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi , Tafsir al-Baghawi, Dar Thayyibah, 1997, VII/400</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>8.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarhu an-Nawawiy ‘ala al-Muslim, Dar kotob Ilmiyah ,2000, viii/46</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>9.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Syaikh Abdullah bin Hijazi as- Syarqawi, Fathul-Mubdiy, Darulfikr,1994, I/ 09</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>10.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Lihat ‘Umdatul-Qârî Syarh Shahîhul-Bukhari, 2001, Dar Kotob Ilmiyah, vol.I hlm.79.</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>11.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Badruddin al-Aini, ‘Umdat al-Qariy, Darul kutub ilmiyah, I/88</span></div><div class="yiv584051072MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv584051072MsoNormal" id="yui_3_2_0_1_1326278513735266"><span id="yui_3_2_0_1_1326278513735263" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sumber: Pesantren Sidogiri – Pasuruan</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-45553046612970732952012-01-11T03:46:00.001-08:002012-01-11T03:46:30.085-08:00Sistem Pendidikan Pesantren Berbasis Karakter<div id="yui_3_2_0_1_1326278513735206"><div class="yiv11175489WordSection1" id="yui_3_2_0_1_1326278513735203"><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><b><span style="color: blue; font-family: "sans-serif"; font-size: 12.0pt;"><br />
</span></b></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Oleh Kholil Aziz</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Pada tahun 1998 rezim orde baru tumbang kemudian diiring lembaran baru dalam dunia pendidikan kita. Capaian ini menjadi angin segar bagi perbaikan generasi bangsa melalui pendidikan nasional. Kemudian diiringi dukungan pemerintah dengan memberi pendidikan gratis, sertifikasi guru dan dosen, bantuan operasional sekolah, pembangunan madrasah bertaraf internasional.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Indonesia telah berbenah diri dalam menciptakan kualitas generasinya, pemerintah mewajibkan pendidikan sembilan tahun. Pendidikan nasional telah kembali ke jalur yang benar menjadi pelopor kebangkitan nasional mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju di dunia. Indonesia terus melaju ke tingkat internasional dengan menjuarai berbagai ajang bergengsi dibidang pendidikan.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Terlepas dari semua itu, sistem pendidikan nasional ternyata masih menyimpan segudang masalah dalam menciptakan sumber daya manusia. Contoh kecilnya adalah penerapan UN tertantang oleh prasarana pendidikan yang belum merata kuantitas dan kualitasnya di seluruh Indonesia. Selain itu pemerintah cendrung masih “otoriter” dengan memandang sebelah mata lembaga pendidikan swasta, apalagi lembaga pendidika pesantren.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Akhirnya terjadi gap antara pendidikan antara sekolah/madrasah negeri, swasta, dan pesantren; keluaran sekolah/madrasah yang belum sepenuhnya nyambung dengan dunia kerja. Alumni pesantren selalu diposisikan sebagai pak Ustadz yang seakan tak berhak untuk terjun ke dunia bisnis dan semacamnya. Kendati pun secara kualitas kemampuan santri bisa bersaing dengan jebolah sekolah negeri.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pendidikan nasional, khususnya negeri masih jauh sekali dari nilai-nilai luhur dalam membangun mental anak didikanya; integrasi pendidikan agama ke dalam sistem pendidikan nasional yang masih jauh dari harapan. Ketimpangan ini kemudian menciptakan generasi individualis yang tak peka lingkungan.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Padahal tujuan utama diselenggarakannya pendidikan adalah untuk “mendewasakan” manusia melalui proses belajar-mengajar. Baik guru dan khususnya anak didik. Tolak ukur kedewasaan peserta didik di sini dapat dilihat dari kematangan dalam berfikir, bersikap dan bertindak. Jadi sistem penilaian terhadap siswa tidak sebatas pada angka yang cukup dikerjakan lembar-lembar ujian saja.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dan jika hal ini bisa diterapkan dalam sistem pendidika nasional, maka yakinlah bahwa pendidikan kita sebatas meningkatkan kapasitas intelektual anak didik, tapi juga membentuk manusia seutuhnya sehingga diharapkan output yang dihasilkan dari sebuah proses pendidikan dapat mentransformasikan pengetahuan yang diserapnya untuk memperbaiki masyarakat di sekitarnya.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Semua itu bisa diperoleh di lembaga pendidikan pesantren, yang menyeimbangkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Kiranya tidak berlebihan jika kita menyebut pesantren sebagai lembaga lembaga pengajaran sekaligus lembaga pendidikan yang inten mencetak gerasai multifungsi yang bisa menerapkan sistem pendidikan agama dan pendidikan umum.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Sistem pemondokan di pesantren menjadi cari khas sekaligus keunggulan ketimbang lembaga pendidika lainnya, dan itu sudah terbukti banyak diadopsi oleh banyak sekolah negeri guna memfasilitasi siswa berprestasi. Berbagai sistem yang diterapkan di pesantren dari segi pendidikan menjadi keunggulan komparatif pesantren dibandingkan dengan sekolah atau madrasah di luar pesantren.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Sistem doktrin terhadap santri yang dianut pesantren menjadikan nilai-nilai bukan sekedar untuk diketahui namun diamalkan. Seperti halnya sosok kiai sebagai figur dalam pengamalan ilmunya. Sistem pendidikan di pesantren bertumpu pada sosok kiai, dimana nilai-nilai sudah menginternalisasi secara baik. Sang kiai mengajar dengan keteladanan dan itu adalah keunggulan pendidikan pesantren.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pada hakikatnya pesantren era sekarang sudah jauh dari kesan kampungan yang selama ini menjadi label banyak pesantren di pinggiran kota. Pesantren pinggiran kota yang tak pernah dilirik pemerintah selama ini sudah lama berbenah diri. Sistem pendidikan pesantren salaf mongkombinasikan kurikulum tradisional dan kurikulum modern yang selama ini menjadi acuan sekolah negeri, yakni, pesantren mengagas suatu rumusan yang berbasis pada kebutuhan kontemporer. Bisa kita lihat sekarang, kebanyakan pesantren sudah memasukan pendidikan SMK dan semacamnya.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dalam bahasa yang lebih sederhana, pesantren sekrang tidak hanya mengajari kitab kuning dan bahasa arab saja pada santrinya, melainkan diberikan juga bekal bahasa inggris, ilmu komputer, dan keterampilan pelengkap lainnya. Adapun konsep kurikulum yang ditawarkan pesantren modern ini lebih mengarah pada keterpaduan antara aspek kognitif, normatif dan tetap berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Perpaduan semacam ini ternyata menjawab kebutuhan masyarakat modern. Menurut Hasyim Muzadi bahwa dalam menghadapi realitas kekinian, kita tidak harus skeptis dalam menerapkan metodologi dan tidak usah mengacak-acak modernitas, atas nama keharusan perubahan itu sendiri. Tradisi menjadikan agama bercokol dalam masyarakat harus lebih kreatif dan dinamis sebab mampu bersenyawa dengan aneka ragam unsur kebudayaan. (Hasyim Muzadi: 1999).</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Sebenarnya para pengamat pendidikan selama ini tidak menyadari bahwa sebenarnya pesantren telah menjadi penengah anatara sekolah swasta dan sekolah negeri yang telah memberikan dua aspek pokok dalam sekolah swasta dan sekolah negeri.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Akhir kata, penulis mau mengutip pendapat Muhammad Abduh mengenai tujuan pendidikan dalam arti luas yang mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Disini Muhammad Abduh menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan pekembangan akal tetapi juga perkembangan spiritual. Itulah solusi yang ditawarkan lembaga pendidikan pesantren.</span></div><div class="yiv11175489MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_1326278513735200" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_1326278513735197" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
* Pustakawan di PP Mambaul Ulum Bata-Bata, Pamekasan Madura</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-72232919260804306332012-01-09T19:53:00.001-08:002012-01-09T19:53:46.241-08:00Meraih Kebahagiaan Sejati (2)<div id="yui_3_2_0_1_132616747796571"><div class="yiv303516745WordSection1" id="yui_3_2_0_1_132616747796568"><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><b><span style="color: blue; font-family: "sans-serif"; font-size: 12.0pt;"> </span></b></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Oleh. Cecep Zakarias El Bilad</span><span style="font-family: Symbol; font-size: 10.0pt;">*</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"></span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">3. Dari mana kita berasal?</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Jawaban pertanyaan ketiga ini terdapat dalam QS.15:28-29,</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
“Dan ketika Tuhanmu berkata kepada para Malaikat ‘telah Aku ciptakan sedemikian rupa jasad manusia dari onggokan tanah liat…Maka sesudah jasad itu sempurna dan Aku tiupkan ruh-Ku ke dalamnya, bersujudlah kalian padanya wahai para Malaikat.” </span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dua ayat ini menggambarkan bagaimana manusia diciptakan dalam dua tahap, tahap pembuatan jasad, dan tahap pemberian ruh ke dalam jasad tersebut. Ayat ini menjadi landasan suci tesis para filsuf Muslim seperti Ibn Sina dan Al Ghazali bahwa sosok manusia itu terdiri atas dua aspek, jasad dan jiwa/ruh. Dari keduanya, jiwa-lah yang utama. Jasad hanya sebatas wadah/tempat bagi jiwa untuk bekerja. Tanpa jiwa, jasad tak lebih dari seonggok daging yang membungkus tulang-tulang dan yang berbahan dasar tanah liat. Jiwa-lah yang membuat jasad tersebut bergerak.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Malaikat yang tercipta lebih dahulu dalam ayat itu diperintahkan Allah untuk bersujud kepada manusia. Sujud di sini, seperti dikatakan al-Thabariy dan al-Baghawi, bukan penghambaan, tetapi sujud tanda penghormatan dan pemuliaan sosok manusia. Perintah tersebut diberikan setelah jasad manusia itu disempurnakan dengan dimasukkannya ruh Allah (min rûhî). Ruh di sini barang kali bisa berarti seperangkat piranti keunggulan yang dimasukkan Allah ke dalam jasad tersebut. Ruh tidak hanya membuatnya bisa bergerak, tetapi juga menyimpan potensi-potensi yang tidak dimiliki oleh malaikat dan mahluk-mahluk lain termasuk iblis yang pada ayat selanjutnya dijelaskan tidak mau bersujud.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Nyatanya, memang hanya manusia yang “mewarisi” kemampuan-kemampuan, namun dalam kapasitas yang sangat terbatas, yang hanya dimiliki Allah, seperti berkreasi, memerintah, berkasih-sayang, adil, berpikir/mengetahui, dan lain-lain. Potensi-potensi inilah yang memungkinkannya menerima kehormatan dari Allah untuk menjadi khalifah/pemimpin di muka bumi. Meskipun secara fisik manusia terbuat dari tanah, keunggulan-keunggulan ruhani inilah yang barang kali menjadi alasan mengapa malaikat dan iblis diperintahkan sujud hormat kepada manusia. Aspek imateri dari manusia ini tidak dilihat oleh iblis sehingga dia menolak untuk bersujud. Iblis hanya melihat aspek fisikal manusia dari tanah yang menurutnya tidak lebih mulia dari dirinya yang tercipta dari api. Maka bisa dimengerti mengapa para Sufi dan filsuf Muslim memberikan perhatian besar pada persoalan jiwa ini. Bagi mereka, manusia sejatinya adalah dia yang bersemayam di balik wujud fisiknya. Wujud fisik tersebut hanya sebatas media untuk hidup di alam fisik ini. Bahkan bagi Suhrawardi, seorang filsuf Muslim abad ke-12, jasad itu seperti penjara. Manusia tak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati sebelum dia benar-benar keluar dari jasadnya. Baginya, jasad adalah penjara yang pengap.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
4. Akan ke mana kita esok hari?</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Untuk pertanyaan terakhir ini, banyak sekali ayat yang bisa dirujuk. Beberapa di antaranya adalah:<br />
QS.29:57</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">“Setiap esensi pasti akan musnah. Semuanya akan kembali pada Kami”</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
QS. Yunus:56</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">“Dia lah yang menghidupkan dan mematikan. Kepada-Nya kalian akan kembali (dikembalikan).” </span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">QS. Ali Imran:83</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">“Apakah mereka mencari jalan keimanan lain selain jalan Allah. Padahal, kepada-Nya segala apa yang di langit dan di bumi berserah diri dengan rela maupun terpaksa. Dan kepada-Nya semua itu pasti akan kembali (dikembalikan).”</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Lepas dari konteks pembicaraannya masing-masing, ketiga ayat ini memiliki sebuah titik temu bahwa, segala sesuatu di alam raya ini, benda maupun peristiwa, berjalan menuju arah yang sama, yaitu Dia, Allah. Artinya bahwa, keberadaan kita, alam raya dan seluruh isinya, bukan keberadaan yang mutlak dan abadi. Awalnya, kita dan semuanya itu adalah tidak ada, lalu menjadi ada seperti saat ini. Akhirnya akan kembali menjadi tidak ada, mati, musnah.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Tiga ayat tersebut menginformasikan, bahwa proses keberadaan-ketidakberadaan ini tidak berlangsung sendiri. Tetapi ada subjek yang menjalankannya. Bahwa segala sesuatu menjadi ada berarti ada yang mengadakan. Dan bahwa segala sesuatu tersebut akan lenyap berarti ada yang melenyapkan. Ini terlihat pada kalimat “turja’ûn” dan “yurja’ûn” pada ketiga ayat itu. Keduanya adalah kalimat pasif bermakna “kalian dikembalikan” dan “mereka dikembalikan”. Siapa yang mengembalikan? Dia-lah Allah. Sebab dari semua yang ada, semua yang hidup dan semua yang mati. Dia-lah yang ada secara mutlak. Dia ada tanpa sebab, karena Dia-lah sebab itu sendiri. Dia-lah al-Awwal dan al-Âkhir, dan selain Dia adalah hadîts (baru).</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dalam konteks manusia dan mahluk hidup lainnya, akhir dari kehidupan adalah mati. Sementara kehidupan sendiri, seperti dalam uraian pertanyaan ketiga, tak lain adalah kondisi bersatunya jiwa dengan jasad materi. Bersatunya dua wujud tersebut terjadi di tempat yang disebut alam dunia. Maka mati sesungguhnya adalah saat dimana jiwa keluar/dikeluarkan (yurja’u) dari jasadnya. Setelah terpisah dari jiwanya, jasad menjadi tak lebih dari onggokan daging yang akan segera membusuk. Allah kemudian melalui Nabi-Nya mengajarkan untuk menguburkan jasad tersebut, agar segera kembali ke wujudnya semula, tanah.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Sementara jiwa ditempatkan Allah di alam ruh guna menjalani proses ‘kehidupan’ selanjutnya. Ada banyak fase kehidupan, seperti diinformasikan dalam al-Quran dan Hadits. Kiamat menjadi titik akhir seluruh kehidupan alam semesta ini. Sampai di sini para ahli berbeda pendapat apakah saat tersebut adalah akhir dari kehidupan alam jasad/materi maupun ruh, atau hanya jasad; juga mereka berselisih apakah fase kehidupan pasca kiamat itu adalah kehidupan jiwa plus jasad atau jiwa semata. Hanya Dia yang mengetahui dan berkuasa ke mana dan bagaimana ciptaan-Nya akan dikembalikan.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Lautan Jiwa</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dalam karya sufistiknya the Garden of Truth, Seyyed Hussein Nasr mengatakan “life is a journey” hidup ialah sebuah perjalanan. Perjalanan hidup manusia terjadi di ruang bernama alam dunia. Sementara alam dunia sendiri bergerak menuju suatu arah. Dan perjalanan hidup manusia beriringan dengan perjalan hidup alam dunia ini. Semua berjalan dari tidak ada menjadi ada, dan akan kembali menjadi tidak ada. Pada saat ketiadaan alam semesta ini yang ada hanya Dia. Namun Dia tetap ada ketika saat ini alam semesta itu ada. Seperti diurai di atas, Dia adalah sumber dari semua keberadaan (the Source of all existence). Dia ada dengan diri-Nya sendiri, tanpa sebab, tanpa permulaan, tanpa akhir. Dia yang menciptakan, dan dia pula yang menghancurkan. Dia yang tak diciptakan dan tak mengenal hancur.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Kehidupan manusia dan kehidupan alam semesta, kembali menurut Nasr, ialah ibarat perjalanan berputar. Bertolak dari satu titik, berjalan, terus berjalan, dan akan kembali pada titik semula. Artinya, bahwa yang ada mutlak dan pasti itu (Wâjib al-Wujûd/Necessery) hanya satu, Allah. Sementara semua wujud yang lain bertolak dari wujud mutlak tersebut. Wujud-wujud lain tersebut adalah wujud yang tidak pasti (mumkin al-wujûd/possible), imanen, fana, temporal. Wujud-wujud ini pada waktunya akan kembali pada Wujud Satu yang Mutlak itu. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa Allah itu adalah sebuah wujud materi seperti titik. Perumpamaan ini sebatas upaya untuk mempermudah penggambaran tentang hakekat kehidupan, meski bukan perumpamaan yang sempurna sebab Allah memang tidak berpadanan (mukhâlafah li al-hawâdits).</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Kembali pada ‘dunia’ manusia. Titik tolak kehidupan manusia tentunya adalah saat kelahiran, dan titik akhirnya adalah kematian. Dan persis pada saat ini, kita tengah berjalan di garis antara dua titik tersebut. Garis yang kita namakan sebagai ‘kehidupan’. Tuhan kemudian menginformasikan tentang tujuan penciptaan kita manusia untuk beribadah, baik dalam arti umum seperti diurai di atas maupun khusus berupa ritual-ritual. Perintah ini sejatinya bermakna zikir. Ini merupakan cara Tuhan memperingatkan manusia agar selalu ingat akan hakekat serta tujuan penciptaan dirinya dan alam semesta. Konteks pembicaraan surat Al-Dzariat: 56 sendiri adalah tentang betapa umat manusia zaman para nabi terdahulu lupa akan hakekat diri dan alam semesta. Mereka tidak lagi mengenal siapa Tuhannya. Diutusnya para rasul mengemban misi mengembalikan kesadaran mereka akan hakekat semua itu. Kisah ini menjadi pengajaran bagi umat Nabi Muhammad SAW agar tersadar dan tidak terjerembab ke dalam perangkap yang sama.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Kesadaran ini akan mengangkat manusia dari jebakan-jebakan perjalanan hidup: kegemerlapan, kesenangan, kemewahan, kenyamanan, dan lain-lain, yang semuanya itu semu belaka. Sebab hidup sebagai perjalanan berarti bahwa, tidak ada yang lebih berharga selain perjalanan itu sendiri. Segala hal yang dialami, dirasakan dan dimiliki selama perjalanan tidak lebih dari sekedar sesuatu yang bisa diceritakan setelah perjalan berakhir. Namun memang, cara kita melewati semuanya itu tidak hanya berbekas sebagai kesan, tetapi juga menjadi penilaian yang menentukan nasib kita kelak di perjalanan hidup di alam selanjutnya.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Secara praktis, memaknakan hidup sebagai perjalanan berarti bahwa seluruh yang kita miliki, dan yang kita nikmati di alam raya ini selayaknya diorientasikan semata kepada penghambaan (ibadah) tulus kepada Allah SWT: uang, kendaraan, jabatan, tanah, rumah, pakaian, alat-alat olahraga, udara, anak, istri, dan lain sebagainya. Ini semua sebagai ‘ongkos’ dan sarana yang disediakan Allah untuk kita semua dalam melaksanakan misi perjalanan dunia ini (QS.16:4-16). Oleh Sang Pemberi misi, semuanya kelak di Hari Pengadilan akan dimintai pertanggungjawaban. Al-Quran dan Sunnah sudah secara lengkap menghimpun berbagai prinsip, hukum dan tips agar selamat dalam perjalanan. Kembali pada masing-masing kita, sejauh mana mau mempelajari, memahami dan berkomitmen merefleksikannya dalam pikiran, sikap dan tindakan.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Akhirnya dapat dirumuskan, bahwa kesadaran hidup sebagai sebuah perjalanan menjadi kunci menggapai kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang lahir dari pengetahuan akan hakekat penciptaan kehidupan, serta kejujuran menerima pengetahuan tersebut sebagai kebenaran sejati. Kesadaran ini menjadi modal filosofis untuk merumuskan pikiran, sikap dan langkah menghadapi setiap jengkal hari. Dari sini kita dapat menyusun cita-cita, target dan skala prioritas dalam hidup dan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di dalamnya: mana yang diperlukan dan mana yang tidak; mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang harus, boleh, tidak boleh; mana yang harus didahulukan dan mana yang harus diakhirkan; dan seterusnya.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Kebahagiaan di sini ialah kerelaan jiwa terhadap setiap potensi dan kekurangan yang dimiliki, kondisi yang dirasakan, peristiwa yang menimpa dan persoalan yang menghadang. Kerelaan ini memancar dari jiwa yang tersinari oleh pengetahuan akan hakekat kehidupan. Dan dari jiwa yang yakin bahwa Allah telah menganugerahkan bumi dan isinya untuk kebutuhan para musafirnya. Bagi jiwa yang rela ini, tak seorang musafir bumi pun yang diutus tanpa perbekalan. Allah mengetahui tingkat kebutuhan dan kemampuan setiap musafir-Nya. Dia menganuerahkan perbekalan tersebut dengan jumlah dan kualitas yang beragam, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Dia tahu persis akan hal itu. Dia-lah yang Adil sejati. Sehingga bagi musafir yang rela itu, banyak sedikit perbekalan yang dianugerahkan tidak menjadi masalah: banyak tidak melenakan; sedikit tidak menyengsarakan. Baginya, tidak ada yang lebih berharga dari perjalanan itu sendiri. Perjalanan dengan tunduk pasrah dan tulus menuju sumber dari segala keberadaan.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dengan kata lain, jiwa yang rela memandang hidup ini bukan sebagai buku kosong, tetapi sebagai buku yang setiap halamannya dihiasi kisah-kisah. Dengan kerelaan, jiwa akan memfokuskan konsentrasinya pada setiap kisah yang tersaji. Baginya, kesuksesan menangkap makna setiap kisah tersebut menjadi kunci sukses memahami keseluruhan isi buku tersebut. Sebuah buku yang menghadirkan kisah-kisah tentang kemiskinan, penyakit, kecelakaan, kegagalan, musibah, dan juga tentang kekayaan, kesuksesan, kesehatan, kesejahteraaan, kekuasaan, kecantikan, ketampanan, kecerdasaan, popularitas, dan lain sebagainya.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Setiap jiwa memiliki kisahnya masing-masing, dengan tema-tema yang beragam antara satu jiwa dengan lainnya. Jiwa yang rela tak akan terlena dengan satu atau dua kisah saja. Dia akan semangat menyelami setiap kisah hingga halaman akhir hidupnya.</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_132616747796565" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_132616747796562" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Sebaliknya, jiwa yang tidak rela akan terlena pada satu atau dua kisah saja. Kisah yang melenakan ini biasanya yang bertema jenis kedua di atas, kekayaan, kesehatan, kesejahteraan, popularitas. Dia tidak mampu memahami pesan dalam kisah-kisah lainnya, karena konsentrasinya hilang, tertinggal di satu kisah yang lampau itu. Ketidakmampuan yang berbuah kesengsaraan (hidup). Dia lupa, dan benar-benar lupa bahwa, mau tidak mau, dia harus membaca seluruh isi buku hidupnya. Dia juga lupa, bahwa ada banyak buku kehidupan yang harus (pasti) dia baca. []</span></div><div class="yiv303516745MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
* Penulis adalah Anggota LDNU PCNU Kab.Bogor; Mahasiswa Pascasarjana Islamic Philosophy di the Islamic College of Advanced Studies (ICAS) Jakarta.</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-50234578860463966132012-01-09T03:00:00.001-08:002012-01-09T03:00:57.039-08:00Cara dan Hukum Talqin Mayit<div id="yui_3_2_0_1_1326106738588102"><div class="yiv1613189175WordSection1" id="yui_3_2_0_1_132610673858899"><br />
<div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Ketika seorang muslim meninggalkan dunia, maka hal-hal yang wajib dilaksanakan adalah empat perkara. Memandikan, mengkafankan, menyembayangkan dan menguburkan. Sebagaimana kata Ibnu Ruslan di dalam Zubadnya:</span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">والغسل والتكفين والصلاة # عليه ثم الدفن مفروضات</span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"></span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dan memandikan, mengkafankan, menyembahyangkan atas mayyit, l,alu menguburkan adalah merupakan fardu.</span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Adapun mentalqin mayit tidaklah wajib atau fardhu. Hukum mentalqin mayyit adalah sunnah. Dan waktunya setelah mayit dikuburkan. Tempat mentalqin adalah di atas pekuburan, di mana si mulaqqin (orang yang mentalqin) itu duduk menghadapkan muka mayit, di atas kubur, dan orang-orang lainnya dari pada pengiring mayit berdiri sekeliling kubur. Jika sekiranya mayit tidak ditalqinkan, tidaklah orang yang tahu atas kematiannya itu menjadi berdosa. Karena hukumnya hanya sunnat. Dan tidak perlu kuburan digali kembali, sedang kesunnatan talqin adalah mayyit setelah dikuburkan.<span dir="RTL" lang="AR-SA"></span></span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Mengenai kesunatan talqin Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in berkata:</span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">وتلقين بالغ ولوشهيدا كما اقتضاه اطلاقهم خلافاللزركشى بعد تمام دفن</span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"></span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dan disunnatkan mentalqin mayit dewasa, dan sekalipun ia syahid. Sebagaimana kehendak orang yang diithlaqkan mereka.</span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Menurut Assayyidul Bakri dalam halaman yang sama:<span dir="RTL" lang="AR-SA"></span></span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">وذلك لقوله تعالى: وذكر فان الذكرى تنفع المؤمنين. واجوج مايكون العبد الى التذكير فى هذه الحالة</span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"></span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dan yang demikian itu karena firman Allah swt: dan beri ingatlah, maka sesungguhynyaperingatan itu berguna bagi orang-orang yang beriman. Dan yang paling dihajati hemba Allah kepada peringatan adalah dalam keadaan seperti ini</span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dan sebuah hadits yang menerangkan tentang talqin diantaranya adalah riwayat Rosyid bin Sa’ad dari Dlamrah bin Habib, dan dari Hakim bin Umari, ketiga-tiganya berkata:<span dir="RTL" lang="AR-SA"></span></span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">اذا سوي على الميت قبره وانصرف الناس عنه كانوا يستحبون ان يقال للميت عند قبره يافلان قل لااله الا الله اشهد ان لااله الا الله ثلاث مرات يافلان قل ربي الله ودينى الاسلام ونبيى محمد صلى الله عليه وسلم ثم ينصرف (رواه سعيد بن منصور فى سننه) </span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"></span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Apabila telah diratakan atas mayit akan kuburnya dan telah berpaling manusia dari paanya adalah mereka para sahabat mengistihbabkan (menyunatkan) bahwa dikatakan bagi mayit pada kuburnya: Ya fulan: katakanlah La Ilaha Illallah, Asyhadu alla Ilaha Illallah, tiga kali. Hai Fulan katakanlah: Tuhanku Allah, Agamaku Islam dan Nabiku Muhammad saw, kemudian berpalinglah ia. Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam sunannya. </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dan diriwayatkan pula hadits marfu’ menurut riwayat Atthabrani dan menurut riwayat Abdul ‘Aziz al-Hambali dalam Asy-Syafi’I bahwa Umamah berkata:</span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_132610673858896" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_132610673858893" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Apabila aku mati, maka lakukanlah olehmu terhadap diriku, sebagaimana Rasulullah saw pernah memerintahkannya kepada kita agar memperlakukan mayit kita seraya bersabda: apabila mati salah seorang dari saudara-saudara kamu, maka kamu ratakan atas kuburnya, maka hendaklah berdiri salah seorang kamu di atas kepala kuburnya, kemudian hendaklah berkata: hai fulan anak fulananh, maka sesungguhnya ada didengarnya, hanya ia tidak dapat menjawab. Lalu berkatalah: hai fulan anak fulanah, maka sesungguhnya ia duduk melurus kemudian dikatakannya: Hai Fulan anak fulanah, maka sesungguhnya ia menjawab: berilah kami petunjuk, semoga Allah melimpahkan rahmat Nya atasmu… tetapi kamu sekalian tidak mengetahuinya. Maka hendaklah dikatakannya: ingatlah apa yang engkau keluar atasnya dari dunia, yaitu penyaksian bahwa tidak ada Tuhan yang disembah dengan sebanr-benarnya melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu hamba Nya dan utusan Nya. dan sesungguhnya engkau telah ridha Allah sebagai Tuhan. Dan Islam sebagai agama. Dan Nabi Muhammad sebagai Nabi. Dan al-Qur’an sebagai Imam. Maka sesunggugnya Munkar dan Nakir memegang tiap tangan seseorang dan berkata: Mari kita berangkat. Alasan apa lagi kita duduk pada orang yang sudah ditalqin (diajarkan) akan hujjahnya, maka berkatalah seorang laki-laki: Ya Rasulullah. Maka jika tidak dikenal siapa ibunya? Jawabnya: di bangsakannya kepada ibunya: Hawwa, Hai Fulan bin Hawwa. </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Mengenai hadits ini telah berkata alhafidz dalam attalkhish, dan isnad hadits ini baik dan telah menguatkan dia oleh Addliya’ dalam ahkamnya. []</span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1613189175MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sumber: NU Online</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-41854720395183234402012-01-06T19:34:00.000-08:002012-01-06T19:34:18.035-08:00Kuda Terbang Nabi Sulaiman<div id="yui_3_2_0_1_1325906943667101"><div class="yiv82439708WordSection1" id="yui_3_2_0_1_132590694366798"><br />
<div class="yiv82439708MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَلَّذِى خَلَقَ اْلإِنْسَانَ خَلِيْفَةً فِي اْلأَرْضِ وَالَّذِى جَعَلَ كُلَّ شَيْئٍ إِعْتِبَارًا لِّلْمُتَّقِيْنَ وَجَعَلَ فِى قُلُوْبِ الْمُسْلِمِيْنَ بَهْجَةًوَّسُرُوْرًا. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحـْدَهُ لاَشـَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلَى كُلِّ شَيْئ قَدِيْرٌ. وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ.</span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"></span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَاَفْضلِ اْلاَنْبِيَاءِ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَاِبه اَجْمَعِيْنَ اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَاَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لاِّوْلِى ٱلأَلْبَـٰبِ</span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"></span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Hadirin Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Marilah kita bersama-sama saling berwasiat untuk meningkatkan taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengatur bumi seisinya. Dialah yang menentukan sejarah manusia, juga berbagai mahkluk lainnya. Ketaqwaan itu harus selalu kita upayakan dan ditingkatkan kualitasnya, karena banyaknya godaan dunia yang setiap saat mengancam dan dapat mengendurkannya.</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Jangankan kita sebagai manusia biasa, Nabi Sulaiman pun hampir tergoda oleh dunia. Karena itulah diwajibkan atas khatib setiap kali di atas mimbar di hari Jum’at, agar berwasiat tentang ketaatan. Ushikum binasfi bitaqwallah… ittaqullah haqqa tuqatih…dan beragam kalimat dengan maksud yang seragam, yaitu meningkatkan taqwa kepada Allah subhanahu wa Ta’ala.<span dir="RTL" lang="AR-SA"></span></span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Hadirin Jama’ah Jum’ah yang Berbahagia…</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Seperti yang telah terucap dalam muqaddimah, kali ini khatib hendak menceritakan kembali sebuah kisah yang dihadirkan oleh al-Qur’an tentang kuda-kuda terbangnya Nabi Sulaiman as. yang gagah bersayap dan menakjubkan. Dalam surat Shaad ayat ke-30 hingga ayat ke-33 diterangkan.</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">وَوَهَبۡنَا لِدَاوُۥدَ سُلَيۡمَـٰنَۚ نِعۡمَ ٱلۡعَبۡدُۖ إِنَّهُ ۥۤ أَوَّابٌ * إِذۡ عُرِضَ عَلَيۡهِ بِٱلۡعَشِىِّ ٱلصَّـٰفِنَـٰتُ ٱلۡجِيَادُ *فَقَالَ إِنِّىٓ أَحۡبَبۡتُ حُبَّ ٱلۡخَيۡرِ عَن ذِكۡرِ رَبِّى حَتَّىٰ تَوَارَتۡ بِٱلۡحِجَابِ * رُدُّوهَا عَلَىَّۖ فَطَفِقَ مَسۡحَۢا بِٱلسُّوقِ وَٱلۡأَعۡنَاقِ</span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"></span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">"Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesunguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)* (Ingatlah) Ketika dipertunjukan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore.* Maka dia berkata, "Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan."* "Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku." Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu. (Shaad:30-33)</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Para mufassir menerangkan berbagai kisah itu dengan beragam, sesuai penafsiran masing-masing. Yang jelas dapat diceritakan pakemnya bahwa Nabi Sulaiman a.s. memiliki kuda-kuda yang gagah-kekar perkasa tubuhnya, cepat-melesat larinya bagaikan kilat.<span dir="RTL" lang="AR-SA"></span></span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Berkali-kali kuda-kuda itu diandalkan sebagai balatentara yang selalu berjihad di jalan Allah swt. Suatu hari, ketika Nabi Sulaiman sibuk memeriksa dan mengatur kuda-kuda tersebut, begitu asyiknya, hingga ia tak terasa meninggalkan shalat Ashar. Karena lupa, bukan disengaja.</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Maka, ketika Nabi Sulaiman a. s. sadar bahwa kuda-kuda itu telah menyebabkan sholatnya tercecer, ia pun bersumpah, "Tidak, demi Allah, janganlah kalian (kuda-kudaku) melalaikanku dari menyembah Tuhanku."</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Lalu beliau menitahkan agar kuda-kuda itu disembelih. Maka beliau memukul leher-leher dan urat-urat nadi kuda-kuda tersebut dengan pedang.</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Ketika Allah mengetahui hamba-Nya, yang bernama Sulaiman menyembelih kuda-kuda tersebut karena Diri-Nya, karena takut dari siksa-Nya serta karena kecintaan dan pemuliaan kepada-Nya, karena dia sibuk dengan kuda-kuda tersebut sehingga habis waktu shalat.</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Maka Allah lalu menggantikan untuknya sesuatu yang lebih baik dari kuda-kuda tersebut, yakni angin yang bisa berhembus dengan perintahnya, sehingga akan menjadi subur daerah yang dilewatinya. Perjalanan yang ditempuh sebulan, maka kembalinya juga sebulan. Dan tentu, ini lebih cepat dan lebih baik daripada kuda.</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Hadirin Jama’ah yang Mulia…</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Kini, tiada lagi kuda-kuda bersayap yang gagah dan terbang dengan kecepatan luar biasa. Kuda bersayap itu kini hanya hidup dalam dunia dongeng. Meskipun secara fisik telah tiada, tapi nilai guna kuda itu, kini telah digantikan dengan berbagai bentuk teknologi transportasi dan informasi yang kecanggihannya mampu melipat waktu dan meruntuhkan batas ruang.</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sayangnya, berbagai macam benda teknologi ini menjadi simbol kemewahan yang banyak diburu oleh manusia. Walaupun mereka sadar bahwa barang-barang ini mempunyai tingkat kecanggihan luar biasa dalam upaya memalingkan manusia dari Tuhannya. Televisi, internet, game online dan juga penguasaan senjata nuklir yang diidam-idamkan.</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Kini sudah nyata, bahwa kuda dan awan itu hadir dalam bentuk lain yang jauh lebih dahsyat, sedangkan iman manusia sekarang jauh lebih tipis dibandingkan dengan iman Nabi Sualaiman a.s. Lantas bagaimanakah seharusnya manusia menyikapinya?</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Jika demikian pertanyaannya, bagaimanakah cara kita menerjemahkan dan menafsirkan cerita selanjutnya, yaitu ketika Nabi Sulaiman as. berniat membunuh semua kuda dan kemudian diganti oleh Allah dengan bentuk angin? Apakah itu berlaku khusus Nabi Sulaiman a.s. atau umat muslim secara pada umumnya?</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Pertanyaan ini telah dijawab oleh Rasulullah saw dalam haditsnya: "Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena takut kepada Allah kecuali Allah akan memberimu (sesuatu) yang lebih baik daripadanya." (HR Ahmad dan Al-Baihaqi, hadits shahih)</span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ بمَا فيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ</span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"></span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv82439708MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sumber: NU Online</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-83673831476685831932012-01-05T21:52:00.000-08:002012-01-05T21:52:29.413-08:00Mati Serius Cara Ketawa<div id="yui_3_2_0_1_1325828836092146"><div class="yiv256471638WordSection1" id="yui_3_2_0_1_1325828836092143"><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Di Indonesia, tak ada cerita koran atau majalah mati dalam keadaan atau dengan cara ketawa. Pasti dengan sedih dan duka derita. Kenapa? karena negara kita adalah negara Indonesia, bukan negara Madura.</span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Bukan politik yang saya bicarakan, melainkan agama. Bagi orang Madura yang umumnya religius dan sangat serius dengan religiusitasnya, mati adalah kegembiraan yang kalau Tuhan membolehkan - akan mereka jalani dengan tertawa-tawa. Bagaimana tidak, wong mati itu artinya sukses berpisah dari dunia yang kerjaannya cuma menipu, dan ketemu dengan Kekasih yang amat didamba-damba, itu pun dengan jarak waktu yang tak terbatas, bahkan waktu itu sendiri tak cukup untuk menampung pertemuan mesra antara para kekasih dengan Kekasih mereka.</span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Karena itu kalau mereka berduyun-duyun pergi ke masjid, berbinar-binar wajah mereka. Kalau mereka pergi haji ke Mekah, bercahayalah air muka mereka, sambil diam-diam berdoa: "Kekasih, ambilah aku selama-lamanya! Tak usah Engkau kirim aku kembali ke negeri tipu daya yang penuh fatamorgana di toko-toko serba ada, serta yang kalau seorang bupati mendapatkan rakyatnya mati ditembak tentara dalam proyek yang dijalankannya, ia malah tampak bangga...."</span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Lain dengan kita yang di Jawa, terutama di Jakarta. Kalau pergi salat Jumat, cemberut wajah kita, dan sesampainya di masjid, dijamin pasti ngantuk mata kita. </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Kita di kota-kota besar, di wilayah-wilayah metropolitan dari peradaban yang mengaku paling maju ini, telah menjatuhkan pilihan untuk berpacaran tidak dengan Kekasih Sejati, melainkan dengan kesenangan-kesenangan temporer, dengan kekasih-kekasih sementara yang kita book per-jam, dengan kendaraan-kendaraan yang selalu baru, syukur berusia di bawah 20 tahun, serta dengan kedudukan-kedudukan yang jasanya adalah membuat kita merasa cemas akan dijatuhkan oleh para demonstran darinya.</span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Jadi bagi kita yang sudah "maju", yang ada hanya mati cemberut, mati tidak rela. Mati kita tidak serius, tidak benar-benar bersedia menerima mati, alias terpaksa. Kalau malaikat bertanya: "Maunya kamu hidup sampai umur berapa sih?" </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Kita menjawab, "Yaaah, paling tidak 70 tahun-lah." Malaikat menggoda: "Bagaimana kalau saya usulkan ke Tuhan umurmu diperpanjang 10 tahun lagi, jadi 80 tahun?" </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Kita menjawab, "Wah, al-hamdulillah banget". "kalau ditambah jatah 20 tahun lagi, mau?" Wajah kita malu-malu, tapi jawaban kita jelas: "Ya, mosok ndak mau..."</span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">"Kalau 30 tahun lagi, 40 tahun lagi, 1000 tahun lagi....?" Kita salah tingkah, tapi jelas: mau! Padahal ternyata Tuhan hanya ngasih jatah kita 55 tahun, dan itu hak Dia sepenuhnya, wong Dia yang bikin kita, Dia yang memiliki license dan copyright atas eksistensi kita seratus persen. Mau apa, lu?</span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Ya, kagak mau ape-ape. Jangankan ame Tuhan, mau melawan petugas saja ampun-ampun. Cuma dongkol doang. Nelangsa. Sampai akhirnya benar-benar mati, mati nelangsa.</span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Padahal orang Madura tidak mati nelangsa. Mereka umumnya mati ketawa. Rela mati, bahkan memang mengharapkan mati. Karena mati bukan tragedi, melainkan pertemuan cinta abadi. Karena itu juga Madura lebih ringan membayangkan indikator apa saja yang bisa membawa ke kematian. Carok tidak keberatan: akibat paling puncak paling-paling kan mati. Dan carok kan peristiwa untuk membela kehormatan, harga diri dan nilai moral. </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memang carok bukan cara yang dewasa dan beradab untuk menyelesaikan masalah. Tapi terus terang saja mereka yang tidak setuju, tak menerima dan tak berani carok itu bukan berarti sudah dewasa dan lebih beradab. Mereka tak mau carok karena memang standar kehormatan, harga diri dan moralitas yang hendak dipertahankan memang sudah tidak ada, atau sekurang-kurang-nya sudah tipis, sudah dikurangi sambil ditutup-tutupi dengan argumentasi-argumentasi yang muluk-muluk cara orang modern mengkosmetiki bibirnya yang kebanyakan nyinyir.</span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Alhasil, arti Mati Ketawa Cara Madura, adalah mati serius yang dijalani gembira dan batin tertawa-tawa. Mati mereka serius, sehingga hidup pun mereka jalani dengan serius, karena kehidupan adalah suku cadang untuk merakit kematian yang sebaik-baiknya. Setetes darah pun mereka hayati dengan penuh keseriusan, dengan penuh prinsip dan pertimbangan nilai yang matang. Ketika seorang pemuda Madura tergeletak dirumah sakit, diinfus dan membutuhkan sumbangan darah untuk dipompakan ke dalam tubuhnya agar bertahan hidup - ia tetap juga serius untuk memoralkan setiap tetes darah yang akan masuk ke dalam dirinya.</span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Tatkala darah yang dibawa kepadanya adalah darah salah seorang pamannya, ia menolak keras: "Saya 'dak sudi dimasuki darah paman saya! Lha wong dia suka maling dan ganggu istri orang. Kalau darah dia mengalir di badan saya, siapa yang kelak akan mempertanggung jawabkan darah itu di depan Tuhan? Darah itulah yang menjadi sumber tenaga dari kekuatan-kekuatan kurang ajar dia, saya 'dak sudi dibebani kekurang ajaran itu. Dan kalau nanti darahnya saya pakai untuk amal, saya 'dak mau dia yang mendapat pahala!"</span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Betapa ketawa kematian mereka.....</span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Emha Ainun Nadjib,</span></div><div class="yiv256471638MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dari buku Demokrasi Tolol Versi Saridin, Zaituna, 1998</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-64983322932525748162012-01-04T16:16:00.000-08:002012-01-04T20:46:49.618-08:00Undangan Foswan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-lmoVNLh3z4c/TwTrs8tbS-I/AAAAAAAAACc/ADgeRHSVMOE/s1600/UndanganTELAGA+MURNI.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-lmoVNLh3z4c/TwTrs8tbS-I/AAAAAAAAACc/ADgeRHSVMOE/s1600/UndanganTELAGA+MURNI.jpg" /></a></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-73093184605669766262012-01-03T18:10:00.001-08:002012-01-03T18:10:28.606-08:00Nahdlatul Islam Indonesia<div id="yui_3_2_0_1_1325642908233164"><div class="yiv1489659368WordSection1" id="yui_3_2_0_1_1325642908233161"><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><b><span style="color: blue; font-family: "sans-serif"; font-size: 12.0pt;"></span></b></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Oleh: Dedy Mardiansyah Harby*</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Aktifitas yang mengitari peristiwa 10 November 1945 tentu saja merupakan sebuah rangkaian. Tidak berdiri sendiri. Baik secara gagasan pemikiran maupun gerakan lapangan. Begitu juga dengan keterlibatan komunitas santri. Kelompok yang kala itu identik dengan pesantren, kiai, pembelajaran referensi agama Islam (yang terdokumentasikan dalam kitab kuning dan juga putih), surau (langgar atau masjid) dan asrama (pemondokan). </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Demikianlah. Kenyataan kembalinya tentara Kerajaan Belanda (NICA) ke Indonesia, dengan membonceng pasukan sekutu pasca kekalahan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, membuat warga bangsa ini menjadi waspada. Apalagi mengingat pendapatan yang melimpah ruah dari hasil bumi dan hasil kerja sumber daya Indonesia yang selama ini telah dinikmati oleh para penjajah (kolonialis). Ditambah gelagat para serdadu Belanda, karena tak rela Indonesia bekas jajahan negaranya lepas begitu saja, yang suka sesumbar dan berbuat semena-mena serta kerap menjarah.</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Jihad Kebangsaan</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Tak hanya dwi tunggal Soekarno-Hatta dan para pimpinan nasional serta elemen bangsa lainnya yang gregetan, waspada dan melakukan gerakan. Kelompok santri yang diimami atau dikomandoi para kiai pun demikian. Tidak hanya memberikan taushiyah (wejangan dan arahan) bagi para pimpinan baik nasional maupun lokal. Tetapi juga melakukan praksis lapangan. Mulai dari memanjatkan dzikir dan do'a perjuangan (istighotsah yang kemudian menjadi bagian ritual dan tradisi dalam komunitas ini) di langgar atau masjid pesantren dan desa yang otomatis menjadikan upaya sosialisasi gerakan perjuangan lebih massif dan efektif, melatih dan menyiapkan kelompok santri sebagai bagian laskar sukarelawan pejuang rakyat serta puncaknya mengeluarkan pernyataan sikap para kiai selaku elit kelompok santri dan pimpinan umat terkait situasi kontemporer. Pernyataan itu dikenal dengan Resolusi Jihad yang dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945. </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Ya, Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, pemimpin besar elit santri kala itu yang tak lain ayah dari KH Abdul Wahid, Menteri Agama RI pertama, dan kakek dari Abdurrahman (Gus Dur), Presiden RI keempat, atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, organisasi afiliasi terbesar komunitas santri Indonesia itu disampaikan dengan bahasa Arab sebagai strategi menghindar dari pengawasan Belanda. </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Itulah yang kemudian memantik semangat perjuangan kaum santri untuk berbuat lebih demi tanah air tercinta. Melakukan gerakan perlawanan nyata, bersama elemen lainnya, hingga membuat Surabaya, yang boleh dibilang pusat aktifitas atau "ibukota republik" santri Indonesia, jadi membara. Pergerakan 10 November 1945 yang diwarnai insiden Hotel Orange dan insiden baku tembak lainnya serta orasi langsung yang berisi pesan moral perjuangan kepada Arek-arek Suroboyo dan pekik nyaring Allaahu Akbar yang digelorakan oleh Bung Tomo melalui corong radio. </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Bentrok fisik yang tak terhindarkan itu menelan korban yang cukup banyak terutama di pihak Indonesia. Catatan yang ada menyebutkan setidaknya 6.000 hingga 16.000 orang korban tewas. Baik dari warga sipil maupun dari tentara Republik Indonesia. Dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Sementara korban tewas dari pasukan sekutu dan Belanda yang dibantu India kira-kira sejumlah 600 orang.</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pertempuran yang telah memakan ribuan korban jiwa itu disebut juga pertempuran fisik terbesar melawan penjajah pasca merdeka dan telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia demi mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada peristiwa ini membuat tanggal kejadiannya dikenal oleh Republik Indonesia hingga sekarang sebagai Hari Pahlawan.</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Ranah Kejuangan Santri</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Peristiwa 10 November 1945 hanyalah satu cuplikan dari etos kejuangan kaum santri. Masih banyak peristiwa dan moment yang menjadi tautan sejarah dimana kaum santri menjadikan bangsa dan negara ini sebagai medan juang. Bahkan kehadiran pesantren di Nusantara, sejak zaman Wali Songo yang kurang lebih lima sampai sepuluh abad lebih, tak ayal adalah untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang berbudi luhur, cerdas dan berkualitas serta khas Indonesia. </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sama atau tidakkah medan juang santri masa lalu dengan masa kini dan nanti? Bagaimana kiat komunitas santri dalam memaknai, menjalani dan mengembangkan kiprah pengabdiannya terhadap bangsa? Apakah sama dengan yang dilakukan oleh generasi Wali Songo atau generasi Bung Tomo?</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Prinsipnya, santri adalah sekelompok orang yang dengan perantaraan bimbingan dan keteladanan tokoh kiai melakukan aktifitas pendalaman dan penguasaan agama dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya (tafaqquh fii al diin). Ini bersumber dari salah satu ayat Qur'an yang mengarahkan agar tersedia sekelompok orang atau komunitas (thaa'ifah) dalam kaum muslimin yang tidak ikut terlibat berjuang melawan musuh-musuh Allah. Akan tetapi mengkonsentrasikan diri mereka dalam aktifitas akademik keilmuan guna menyiapkan tenaga-tenaga inti penjaga stabilitas dan kualitas moral kultural dan intelektual masyarakatnya.</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pada titik ini, perjuangan santri adalah berproses untuk menjadi pribadi suci dan mumpuni yang suatu saat tampil sebagai kiai atau elit agama yang mampu membina, membimbing dan melayani umat agar senantiasa berada dalam koridor kerelaan Allah SWT. Karenanya, medan juang santri pada titik ini adalah medan juang yang sakral dan terbatas yaitu ranah moral intelektual dan akademik keilmuan serta lingkungan almamater yang digeluti dan dinaunginya. </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Realitanya, kiai, sebagai elit santri, tidak berada dalam ruang yang hampa. Yang berarti bahwa sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap penyuluhan moral dan intelektual masyarakat memberikan konsekuensi berupa tuntutan untuk memahami situasi dan kondisi yang tercipta di masyarakatnya secara menyeluruh. Tak jarang, tuntutan itu berubah menjadi tekanan kepada kiai untuk terlibat langsung di lapangan. Dimana untuk itu kiai kerap menunjuk santri atau muridnya guna menjadi badal atau pengganti dirinya apakah untuk meneruskan pengabdiannya di dalam pesantren melalui pembelajaran kitab kuning atau untuk melakukan pengabdiannya di luar pesantren melalui pendampingan masyarakat.</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Di sini, medan juang santri yang diawali oleh persinggungan elitnya, sang kiai, adalah medan yang profan dan luas. Melampaui ranah moral dan intelektual. Yaitu realitas sosial yang terhampar sedemikian luas. Dari sini kemudian sejarah aktivisme komunitas santri dalam pergolakan kebangsaan bermula. Mulai dari mengajarkan tata hidup sehat dan tercerahkan menurut pandangan agama Islam baik aspek kepercayaan, ekonomi, sosial, seni budaya hingga aspek politik. Sejak dari masa Raden Fatah dan Pendirian Negara Kerajaan Demak atau jauh sebelumnya.</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dalam konteks pendirian republik inipun demikian. Siapa yang kira bahwa seorang sekaliber Ibrahim Datuk Tan Malaka yang mengonsep Republik Indonesia dengan bukunya Naar de Republiek Indonesia plus buku opus magnumnya "Madilog" dan telah menjelajahi 2 benua dan 11 negara setara dengan jarak tempuh 2 kali mengelilingi bumi ini adalah seorang santri yang hafal Al Qur'an dan merupakan produk pendidikan model Surau (pesantren di Minangkabau). Tak hanya itu, nilai-nilai Qur'an seperti merdeka dari rasa takut dan merdeka dari hasrat ingin menguasai pihak atau bangsa lain, musyawarah dan kemandirian diejawantahkan olehnya dengan apik. Karena kematangan religiositasnya pula, ia mampu menundukkan ideologi sosialisme bahkan komunisme sebagai alat perjuangan yang membuatnya disebut oleh Soekarno, Presiden RI Pertama, sebagai sosok revolusioner yang paling mahir dalam revolusi lewat teori dan praktek Gerilya-Politik-Ekonomi (Gerpolek)-nya. </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Strategi perjuangan dan peperangan gerilya itu pula yang di tangan seorang Soedirman, Jenderal Besar Bapak Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang juga berlatar belakang santri menjadi berkembang. Dengan kebersahajaan khas wong ndeso (karena tidak mengenyam pendidikan tinggi seperti tokoh-tokoh pemimpin pergerakan nasional kebanyakan), kader dan guru Muhammadiyah ini rela keluar masuk hutan demi menunjukkan kekuatan fisik maha dahsyat revolusi Indonesia. Senafas dengan Tan Malaka, santri yang juga cenderung sosialis dan menolak berunding dengan penjajah ini menginginkan Indonesia Merdeka seratus persen. </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Negara 'ala NU dan Muhammadiyah</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Negara dalam konsep Tan Malaka, Bapak Pendiri Republik ini, adalah negara efisien dan fungsional yang dikelola oleh sebuah organisasi. Di dalamnya terdapat fungsi perencanaan (legislatif), pelaksanaan (eksekutif) dan pengawasan (yudikatif) (Hasan Nasbi dalam Seri Buku Tempo : Tan Malaka, 2010 : 155). </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Tidak seperti negara demokrasi parlementer yang mengharuskan adanya partai politik dan negara dengan trias politikanya. Praktek negara model Montesqiu ini cenderung mewajarkan tindakan hegemoni dan penindasan sekelompok kecil (elit) terhadap kelompok besar (kawula alit). Sekarang, logika demokrasi seperti itu merajalela dan telah menghantam setiap lini kearifan bangsa. Praktek money politic dan memilih kucing dalam karung dalam pentas suksesi lokal maupun nasional telah menjadi bagian paling subur yang menyebabkan salah urus dan situasi carut marut. Sebab, kekuasaan telah menjadi rebutan.</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dalam konteks Negara Mashlahah, yang dikelola dari rakyat adalah kepercayaan (amanat) bukan kekuasaan. Sehingga mereka yang terlibat di dalamnya secara sukarela menjalankan mandat rakyat demi tercapainya nilai-nilai kebaikan (maslahat) secara maksimal dan seluas-luasnya. Sedikit sekali celah atau tindakan yang dekonstruktif dan kontra produktif karena yang berlangsung adalah optimalisasi nilai-nilai luhur.</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Praktek pengelolaan mandat dan kepercayaan model inilah yang telah diterapkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang tak lain merupakan representasi komunitas terbesar di republik ini. Keduanya adalah organisasi masyarakat (ormas) keagamaan mayoritas di nusantara bahkan dunia. Pada kedua ormas santri (satu identik dengan basis desa sementara yang satunya identik dengan basis kota) ini praktek pengelolaan amanat kepercayaan publik yang efisien dan fungsional, sebagaimana diinginkan Bapak Republik ini, berlangsung memadai.</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Lihatlah di NU, tradisi pemilihan kepemimpinan tidak berangkat dari pemilihan langsung yang menggunakan tim sukses demi mendulang suara layaknya partai politik, tetapi melalui ijma' atau kesepakatan para tokoh yang kredibilitasnya dan kualitas ketokohannya di atas rata yang berlandaskan prinsip tawadhu', rendah hati dan kebersahajaan. Dari proses ini lahirlah pemimpin aspiratif (rais syuriyah) yang berikut jajarannya menjalankan fungsi badan kehormatan dan pengawasan plus pengadilan. Sementara untuk pelaksana, Rais Syuriyah menunjuk seseorang yang telah diajukan publik untuk menjadi pemimpin eksekutif (ketua tanfidziyah) yang dengan gerbongnya menjalankan semua program yang telah digariskan dalam pertemuan massal (kongres atau muktamar).</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pun demikian di Muhammadiyah, muktamarnya berlangsung untuk memilih pemimpin aspiratif (tim formatur yang terdiri dari 13 orang dengan kualifikasi terstandar dan memiliki kapabilitas dan kualitas ketokohan di atas rata-rata). Beda sedikit dengan NU, pemimpin eksekutif dipilih oleh dan dari Tim 13 tersebut. Meski demikian, pembagian fungsi dan wewenang berdasarkan prinsip yang sama yaitu musyawarah dan persaudaraan.</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Tak heran jika kemudian pada praktek kenegaraan dan kebangsaan NU dan Muhammadiyah dapat berperan begitu aktif dan produktif. Kader dan warga kedua ormaspun menjadi bagian perhatian. Namun, sayang, porsinya masih minim sekali dan juga relatif singkat, seperti momentum dipilihnya Gus Dur (mantan Ketua Umum Pengurus Besar NU), M. Amin Rais (mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah) dan Akbar Tanjung (mantan Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam) sebagai Presiden, Ketua MPR dan Ketua DPR di awal Orde Reformasi.</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Jika pola tata kelola amanat dan kepercayaan publik model NU dan Muhammadiyah ini yang diterapkan dalam tatakelola Negara Kesatuan Republik Indonesia, kebijakan umum yang mampu mendatangkan kemaslahatan nasional secara maksimal insya Allah akan dapat terpenuhi.</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Agenda Khilafah Mashlahah </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Tempat agama adalah dalam pencarian batas-batas kepantasan hidup bagi sebuah bangsa. Demikian ungkapan terkenal "Wali" Pribumisasi Islam Indonesia, Gus Dur. Sebangun dengan Nurcholis Madjid, A. Syafi'i Ma'arif dan Emha Ainun Nadjib dan bahkan YB. Mangunwijaya, pemikir-pemikir Indonesia kontemporer yang semakin mematangkan rumusan kepribadian bangsa Indonesia secara idelogis dan teologis. </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Teologi Kebangsaan Indonesia yang disarikan lewat Pancasila sebagaimana yang telah diformulasi sejak zaman Sunan Kalijaga, Tan Malaka hingga Indonesia Merdeka lewat tangan mereka telah memungkinkan bangsa Indonesia untuk menatap sebuah masa depan, yang dalam bentuknya yang unik, sangat menjanjikan. Masa depan yang sangat jauh dari mainstream atau arus utama pemerhati kajian rekayasa masa depan (futurolog). </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dengan bekal kekayaan sejarah masa lalu dalam pembentukan sebuah bangsa, penghayatan dinamika lokal, nasional, regional dan global masa kini dan tanggung jawab akan kemaslahatan hidup generasi esok hari, bangsa Indonesia kini mulai menyadari akan pentingnya proses mentransformasi diri menjadi masyarakat santri atau madani. </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Proses kebangkitan nasional kembali yang terjadi di Indonesia itu sangat mungkin melampaui pencapaian Malaysia, India, Jepang, China bahkan Amerika Serikat. Bukan karena keajaiban atau doa leluhur semata, tetapi karena pembelajaran pahit-manis yang telah diberikan oleh negara-negara dan bangsa-bangsa di atas itu kepada Indonesia baik sengaja atau tidak. Dimana letak geografis Indonesia yang sangat strategis telah menyuburkan cara berpikir model Gado-gado pada bangsa ini untuk secara kreatif mengolah hal-hal yang tampaknya telah menjadi sampah dari peradaban dunia yang melintasinya dan merubahnya menjadi kembali berguna. </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Praktek salah urus yang melanda negeri ini tentu pada saatnya akan sampai pada titik kulminasi. Ledakan emosi sekaligus inspirasi yang menginginkan perbaikan di seluruh lini tanpa terkecuali pada saatnya akan melibatkan dan mendudukkan para santri sebagai pengendali. Kenapa, karena pada titik ini perbaikan yang diinginkan bukanlah model anarki tetapi model santri yang manusiawi dan indonesiawi. Jauh dari tindak kekerasan dan pelanggaran nilai kemanusiaan tetapi tetap tegas sesuai batasan yang diperlukan. </span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Khilafah pada saatnya dikembangkan tetapi tentu bukan khilafah untuk mendirikan negara dalam negara (Syariat atau Negara Islam). Bukan pula yang membolehkan aksi pengeboman yang justru kontraproduktif dan jauh dari nilai kemaslahatan dan kemanusiaan. Khilafah dalam konteks generasi muslim yang indonesiawi atau madani ini adalah tata kelola lingkungan yang efisien, fungsional dan produktif dengan orientasi berkah dan maslahah. Di sinilah kita temui pembenaran tesis Cak Nur tentang ledakan santri yang berhasil menjadi profesional, pengusaha, dokter, artis, teknisi, sutradara dan produser film, penulis, pekerja dan pemilik media dan lain-lain. Dengan keteladanan dan kearifan, menjalankan misi para kiai yang tak lain adalah penerus tugas para nabi. Di sinilah Kebangkitan Islam Indonesia atau Nahdlatul Islam Indonesia itu terjadi. Selamat berkembang generasi santri, selamat memperbaiki dan membangkitkan negeri ini!</span></div><div class="yiv1489659368MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_1325642908233158" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_1325642908233155" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
* Mantan jurnalis Bengkulu Ekpress, tengah studi di PPS. IAIN Raden Fatah Palembang dan mengabdi di PP. Nurul Huda Sukaraja serta Sekum MUI OKU Timur, Sumatera Selatan.</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-87020178034572860832012-01-02T20:55:00.001-08:002012-01-02T20:55:41.846-08:00Siapa kita sebenarnya?<div id="yui_3_2_0_1_1325566497899102"><div class="yiv668382892WordSection1" id="yui_3_2_0_1_132556649789999"><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><b><span style="color: blue; font-family: "sans-serif"; font-size: 12.0pt;"></span></b></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Oleh Cecep Zakarias El Bilad</span><span style="font-family: Symbol; font-size: 10.0pt;">*</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"></span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Jika ditanya, siapa kita? Jawabannya mungkin akan sebanyak pertanyaan itu diucapkan. Tapi jika diperjelas lagi, siapa kita ini dalam hubungannya dengan alam semesta. Agar menghasilkan jawaban yang baik, kita perlu mempertimbangkan dua sisi, persamaan dan perbedaan kita dengan alam semesta.</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pada sisi yang pertama, ada banyak aspek yang menyamakan kita dengan alam semesta. Tubuh kita memiliki unsur-unsur alam semesta. Misalnya, sekitar 75 persen tubuh kita adalah air. Sementara air ialah satu dari sekian unsur utama pembentuk kehidupan di alam ini. Bahkan keseluruhan tubuh kita setelah mati kelak akan melebur menjadi tanah, wujud asalnya. Saking meleburnya dengan alam semesta, tubuh kita pun menjadi “alam” kehidupan bagi organisme-organisme lain seperti kutu rambut, bakteri dan virus. Kita sendiri adalah satu dari sekian organisme yang hidup dalam “tubuh” alam semesta ini.</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Maka pertanyaannya menjadi, siapa kita dan siapa alam semesta ini? Ada hubungan apa kita dengan alam semesta? Jawaban sejatinya sudah disediakan para filosof ribuan tahun lalu. Aristoteles, misalnya, menjawab bahwa alam semesta adalah ‘akibat’. Ia ada atau muncul karena adanya ‘sebab’. Akibat tidak akan pernah ada tanpa adanya sebab. Manusia adalah bagian integral dari alam semesta. Jadi, kita manusia dan alam semesta berada dalam satu kelas, yakni kelas ‘akibat’; sebuah sistem kehidupan yang muncul akibat adanya Sebab Pertama (the First Cause), sebab yang ada tanpa adanya sebab yang lain. Ia ada dengan dirinya sendiri.</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Ternyata, jawaban kaum filosof ini memperoleh penegasan dalam Islam. Dikatakan dalam al-Quran antara lain</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu (al ‘Alaq:1)</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
“Allah menciptakan manusia dari air mani…” (an-Nahl:4)</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
“Segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi…” (al-An’am:1)</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Konsep sebab dalam al-Quran dibahasakan dengan ‘penciptaan’. Sangat tegas dalam kutipan-kutipan ayat di atas bahwa manusia adalah wujud yang diciptakan. Siapa yang menciptakan? Dialah Dia, Tuhan yang melalui manusia pilihan-Nya, memperkenalkan diri sebagai Allah, al-Rahmān, al-Rahĭm, al-Awwal, al-Ăkhir, dan lain sebagainya.</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Manusia itu diciptakan. Berarti seluruh potensi, baik fisik maupun non-fisiknya pun adalah ciptaan. Berbeda dengan Dia Sang Pencipta, yang sempurna, mutlak, abadi baik wujud maupun esensinya, mahluk atau ciptaan adalah kurang, relatif dan fana baik wujud maupun esensinya, baik sosok maupun kualitasnya. Keterbatasan pada saat yang sama adalah keragaman. Maka mahluk itu beragam, terbagi ke dalam beragam spesies dan jenis. Manusia, misalnya, adalah mahluk, maka manusia adalah terbatas. Ia terbatas baik sosok, fisik dan ruhaninya, maupun kualitas atau kemampuannya. Ini semua adalah fitrah mahluk/ciptaan. Ini pula yang membedakannya dengan Dia yang Sempurna, Mutlak dan Abadi. Dia yang Satu.</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Fakta dikotomis antara yang diciptakan (mahlûq) dan yang mencipta (khâliq) ini menjadi pesan, bahwa hakekatnya kita manusia berada pada satu level dengan hewan, tumbuhan, air, dan entitas-entitas lain di alam raya ini: level mahluk. Dari sekian mahluk yang ada, kita manusia memang menempati posisi teratas sebagai ciptaan terbaik Tuhan (at-Tîn:4). Manusia ditunjuk Allah sebagai wakil dengan tugas kepemimpinan di antara para mahluk lain (al-An’am:165). Namun ini tidak menjadi alasan bagi kita untuk bersikap angkuh, berbangga diri dan sombong. Sebab diri kita, seluruh potensi yang dimiliki, seluruh kekuasaan yang diraih, tak lebih sekedar pemberian (pinjaman) Allah. Yang semuanya bisa kapan saja diambil oleh Sang Pemilik. Yang semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban. Maka dalam Islam, semua sikap dan tindakan yang bersumber dari kebanggaan, keangkuhan, kesombongan pribadi dikategorikan sebagai terlaknat/dosa. Allah memperingatkan hal ini dalam sebuah hadits qudsi yang kira-kira artinya, “Arogansi adalah baju kebesaran-Ku, dan kebanggan diri adalah selendang-Ku. Maka siapapun manusia yang menandingiku dengan salah satu dari keduanya, Aku akan melemparnya ke dalam neraka!”.</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pertanyaan ‘siapa kita sebenarnya’ ini mungkin sudah pernah terbesit di benak setiap orang. Dan tentunya sudah pula ditemukan jawabannya . Tapi sudahkah ini terpancar dalam setiap gerak lahir dan batin kita sehari-hari? Sementara kita mengakui posisi sejajar kita dengan hewan, tumbuhan dan benda-benda lain di alam ini, kita masih memposisikan diri sebagai superior sehingga sekehendaknya saja memperlakukan mereka. Pengrusakan alam kian merajalela. Sementara kita memanfaatkan mereka demi kelangsungan hidup, tidak ada upaya sungguh-sungguh kita untuk merawat dan menjaga kelanggengan mereka.</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Kesewenang-wenangan manusia atas alam semesta nampak subur di mana-mana. Terlepas siapa pelakunya, yang jelas mereka adalah dari organisme bernama manusia. Bukankah ini adalah sebuah ekspresi dari kesombongan dan keangkuhan? Dengan segala potensi unggul yang dimilikinya, manusia berbuat sekehendaknya terhadap alam semesta yang ‘lemah’.</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Tidak berhenti di situ, manusia pun kemudian membidikkan keangkuhan-kesombongannya pada sesamanya. Motif apa selain kesombongan-keangkuhan ketika seseorang dengan keunggulan fisik, harta, ilmu, jabatan dan popularitas berbuat sekehendaknya kepada orang lain yang lebih lemah dalam hal-hal tersebut. Berapa juta manusia Indonesia dililit kemiskinan, kelaparan dan kebodohan akibat ketidakpedulian segelintir manusia Indonesia lainnya yang: menggunakan jawaban politiknya untuk menumpuk kekayaan dan kemewahan sehingga mendisfungsikan lembaga-lembaga negara yang dipimpinnya; mengimpor besar-besaran produk-produk pertanian sehingga kerap merugikan para petani lokal; menjual aset-aset negara kepada swasta domestik maupun asing; membangun area-area perkantoran dan perumahan mewah sehingga mempersempit ruang tinggal dan usaha jutaan rakyat kecil di Jakarta; dan seterusnya.</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Motif apa selain kesombongan-keangkuhan ketika seorang beragama merasa diri benar mutlak sehingga meremehkan orang lain yang tidak atau kurang taat beragama; mengklaim sesat, kafir dan klaim-klaim lain yang merendahkan kepada orang lain yang berbeda mazhab; memperlakukan secara tidak manusiawi orang-orang yang berbeda tersebut; dan lain sebagainya.</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Masih banyak lagi tindakan-tindakan yang disadari atau tidak, diakui atau tidak, pada hampir semua lini kehidupan, merupakan kamuflase dari kesombongan-keangkuhan sosok manusia. Sebuah sikap yang mengingkari fitrahnya sebagai mahluk yang kurang, relatif dan fana baik wujud maupun esensinya, baik sosok maupun kualitasnya. Atas dasar apa sikap sombong-angkuhnya dibangun?</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Islam diturunkan Allah guna mengajarkan prinsip-prinsip moral. Moral bukan hanya dalam kaitannya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam semesta dan organisme-organisme lain di dalamnya, serta dengan Dia Sang Pencipta. Kesombongan-keangkuhan oleh karenanya adalah sikap yang sangat tidak bermoral dalam perspektif bahwa manusia adalah bagian sangat kecil dari alam semesta, dan bahwa manusia adalah mahluk, bukan Tuhan.</span></div><div class="yiv668382892MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_132556649789996" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_132556649789993" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
* Dewan Pengasuh Pesantren Mahasiswa “Mutiara Bangsa”, Depok; Mahasiwa Pascasarjana The Islamic College (IC) Jakarta</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-67737481459137063922011-12-30T16:22:00.001-08:002011-12-30T16:22:37.978-08:00Tahu-tahu Tahun Baru<div id="yui_3_2_0_1_1325204961628155"><div class="yiv1915077932WordSection1" id="yui_3_2_0_1_1325204961628152"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Oleh: KH. A. Mustofa Bisri</span><div class="yiv1915077932MsoNoSpacing" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Tahu-tahu Ahad. Tahu-tahu Senin. Tahu-tahu Selasa. Tahu-tahu Rabu. Tahu Kamis. Tahu Jumat. Tahu-tahu Sabtu. Tahu-tahu Januari. Tahu-tahu Februari. Tahu-tahu Maret. Tahu-tahu April. Tahu-tahu Mei. Tahu-tahu Juni. Tahu-tahu Juli. Tahu-tahu Agustus. Tahu-tahu September. Tahu-tahu Oktober. Tahu-tahu November. Tahu-tahu Desember. Tahu-tahu Januari lagi. Tak terasa ya?! </span></div><div class="yiv1915077932MsoNoSpacing" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><br />
</div><div class="yiv1915077932MsoNoSpacing" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Tak terasa. Berapa umur Anda sekarang? Berapa tahun lagi Anda ingin hidup? 10, 20, 30, atau 50 tahun lagi. Apalah artinya angka-angka ini bila setiap saat umur kita digerogoti waktu, tidak terasa? Bahkan, sering justru dengan suka ria kita menyambut dan merayakan tahun baru, seakan-akan kita tak paham bahwa setiap tahun baru umur kita bertambah dan bertambah umur berarti sebaliknya: berkurangnya umur.</span></div><div class="yiv1915077932MsoNoSpacing" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Bayi dan anak kecil seperti lebih sadar dari kita yang tua-tua. Pertambahan umur bagi mereka lebih bermakna. Perubahan diri mereka seiring bertambahnya umur mereka, begitu jelas bisa dilihat. Dari tengkurap, merangkak, misalnya, menjadi bisa berjalan; dari tak bisa bicara, ngoceh tanpa makna, hingga lancar bicara; dari kemlucu, kemeplak, hingga jemagar; dari suka bermain-main hingga suka bersolek; dsb, dst. Semuanya dapat jelas terlihat. Bandingkan dengan kita yang tua-tua ini. Apa perubahan yang dapat dilihat dari kita? </span></div><div class="yiv1915077932MsoNoSpacing" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Kesibukan kita -entah apa?- tetap saja yang itu-itu. Berlari ke sana, berlari ke sini. Yang memburu harta, terus memburu harta. Yang berebut kursi, tetap tak berubah berebut meja, misalnya. Yang pamer kepintaran atau kekayaan, terus pamer seperti tak kunjung yakin bahwa kepintaran atau kekayaannya sudah diketahui. Yang bertikai tak pernah berubah menyadari kesia-siaannya. Yang menipu, yang korup, yang merekayasa kejahatan, yang nyogok, yang disogok, yang selingkuh, dst, meski sudah konangan, masih terus tak berhenti. Berapa tahun lagi mereka ini akan istiqamah berlaku demikian? 10, 20, 30, 50 tahun lagi. Ataukah menunggu dikejutkan maut? Bukankah mereka yang tidak pernah menyadari dan memikirkan perubahan waktu -karena sibuk menjalaninya dengan kegiatan rutin tanpa mengevaluasi- berarti menunggu kematian yang mendadak?</span></div><div class="yiv1915077932MsoNoSpacing" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Bacalah berita! Simaklah isu dan opini yang berkembang di tanah air, terutama beberapa tahun terakhir ini! Bukankah yang itu-itu saja yang kita dengar? Reformasi, KKN yang hanya terus dibicarakan. Pemimpin yang terus tidak jelas ke mana kita ini akan dipimpin. Kebijaksanaan yang sering sangat tidak bijaksana terus saja dilakukan. Hukum yang terus dibuat permainan. Pertikaian antarkelompok dan perorangan yang terus terjadi. Penggusuran dan pelecehan hak rakyat yang terus berjalan. Politik praktis yang -seperti Inul- terus menggoyang dan diedani. Para politisi yang terus berebut kekuasaan. Rakyat yang terus dijadikan objek. Penggelapan di departemen-departemen dan lembaga-lembaga penting yang tak kunjung kapok. Pencurian besar-kecil, kasar-halus, yang terus merebak. Pemaksaan kehendak yang terus sok hebat. Dan sebagainya dan seterusnya.</span></div><div class="yiv1915077932MsoNoSpacing" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Kalau kita amati 'perilaku monoton' ini secara cermat, kita bisa telusuri akarnya pada kegandrungan orang kepada dunia yang berlebihan. Kepentingan dunialah yang menjadikan orang arif menjadi bebal, orang pintar menjadi bloon, orang ramah menjadi sangar, orang waras menjadi majnun, orang sopan menjadi kurang ajar, saudara lupa saudaranya, manusia menjadi binatang atau bahkan setan. Geledahlah diri! Mengapa kita tega membiarkan anak kita tak terdidik? Mengapa kita enteng merusak alam? Mengapa orang tak malu menilap harta rakyat? Mengapa kita berkelahi dengan saudara kita sendiri? Mengapa tanda gambar partai kita lebih kita agungkan katimbang bendera Merah Putih dan lambang garuda? Mengapa kita yang beragama Islam lebih asyik membaca koran daripada Quran? Mengapa ayat tidak kita ikuti, tapi kita buat mengikuti kita? Mengapa nurani dan akal sehat kita kalahkan dengan hawa nafsu? Mengapa memenangkan partai lebih kita pentingkan daripada memenangkan persaudaraan bangsa? Mengapa kepentingan sesaat kita menangkan dari kepentingan Indonesia? Bila kita jujur, kita akan menemukan jawaban itu semua pada itu tadi: kegandrungan yang berlebihan kepada dunia. Benar sekali dawuh yang menyatakan Hubbud dunya raasu kulli khathiiatin, gandrung dunia adalah sumber dari setiap kesalahan.</span></div><div class="yiv1915077932MsoNoSpacing" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Namun sebebal-bebal orang bebal, sebloon-bloon orang bloon, sesangar-sangar orang sangar, se-majnun-majnun orang majnun, sekurang ajar-kurang ajar orang yang kurang ajar, selupa-lupa orang lupa, masak suatu saat tidak tersadarkan, misalnya, oleh umur yang kian menipis setiap tahun. Masak sekian banyak pemimpin akan terus lupa semua ke arah mana akan dibawa orang-orang yang mereka pimpin. Masak sekian banyak politisi akan terus mbadut, padahal sudah lama tak lucu. Masak sekian banyak penegak hukum akan terus melecehkan hukum semua. Masak sekian banyak orang yang mengaku membela dan mewakili rakyat akan terus tak mau tahu kepentingan rakyat. Masak sekian banyak penjabat akan terus berpikir jabatan itu langgeng. Masak sekian kali pemilu masih tak kunjung bisa mendewasakan kita dalam berdemokrasi. Masak sekian kemelut yang melanda tak kunjung menyadarkan sekian banyak makhluk berpikir. Masak sekian banyak manusia akan terus lupa menyadari kemanusiaannya yang mulia. Masak Allah Yang Maha Rahman akan terus dilupakan hamba-hamba-Nya. Masak bertabahnya umur terus tak kunjung menambah kearifan?</span></div><div class="yiv1915077932MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_1325204961628149" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_1325204961628146" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Inilah -husnudzdzann atau kepercayaan tentang kemurahan Allah dan keaslian manusia yang dimuliakan-Nya. Inilah yang masih membuat kita sedikit optimistis menyambut tahun baru. Menyambut masa depan kita sendiri.</span></div><div class="yiv1915077932MsoNoSpacing" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Selamat Tahun Baru! Semoga kita dan negeri kita selamat!</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-66964318173811703292011-12-28T20:10:00.001-08:002011-12-28T20:10:59.966-08:00Integrasi Kurikulum Berbasis Karakter dalam Pelaksanaan Pembelajaran<span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Oleh: Aris Adi Leksono, S.Pd.I*</span><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Revitalisasi Pendidikan Karakter di Madrasah</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. </span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk pada jenjang madrasah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (affective and creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Mendesain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Berkarakter</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Kegiatan pembelajaran dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, dipilih dan dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan. Sebagaimana disebutkan di depan, prinsip-prinsip Contextual Teaching and Learning disarankan diaplikasikan pada semua tahapan pembelajaran karena prinsip-prinsip pembelajaran tersebut sekaligus dapat memfasilitasi terinternalisasinya nilai-nilai. Selain itu, perilaku guru sepanjang proses pembelajaran harus merupakan model pelaksanaan nilai-nilai bagi peserta didik. Diagram 1.1 berikut menggambarkan penanaman karakter melalui pelaksanaan pembelajaran.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><img alt="http://www.nu.or.id/oneMODUL/onePHOTO/habituasi2.jpg" height="292" id="yiv1522934838Picture_x0020_1" src="http://id.f1906.mail.yahoo.com/ya/download?mid=1%5f559180%5fANaQCmoAAR4zTvu1iAMADl%2fCGJs&pid=2&fid=Inbox&inline=1" width="595" /></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"></span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
1. Pendahuluan</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Berdasarkan Standar Proses, pada kegiatan pendahulu an, guru:</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>a.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>b.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">mengajukan pertanyaan-pertanyaanyang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>c.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; dan</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>d.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk mengenalkan nilai, membangun kepedulian akan nilai, dan membantu internalisasi nilai atau karakter pada tahap pembelajaran ini. Berikut adalah beberapa contoh. </span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>a.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Guru datang tepat waktu (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>b.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Guru mengucapkan salam dengan ramah kepada siswa ketika memasuki ruang kelas (contoh nilai yang ditanamkan: santun, peduli)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>c.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Berdoa sebelum membuka pelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: religius)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>d.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Mengecek kehadiran siswa (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin, rajin)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>e.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Mendoakan siswa yang tidak hadir karena sakit atau karena halangan lainnya (contoh nilai yang ditanamkan: religius, peduli)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>f.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memastikan bahwa setiap siswa datang tepat waktu (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>g.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Menegur siswa yang terlambat dengan sopan (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin, santun, peduli)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>h.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Mengaitkan materi/kompetensi yang akan dipelajari dengan karakter</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>i.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dengan merujuk pada silabus, RPP, dan bahan ajar, menyampaikan butir karakter yang hendak dikembangkan selain yang terkait dengan SK/KD</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
2. Inti</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007, kegiatan inti pembelajaran terbagi atas tiga tahap, yaitu eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada tahap eksplorasi peserta didik difasilitasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan mengembangkan sikap melalui kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pada tahap elaborasi, peserta didik diberi peluang untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan serta sikap lebih lanjut melalui sumber-sumber dan kegiatan-kegiatan pembelajaran lainnya sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik lebih luas dan dalam. Pada tahap konfirmasi, peserta didik memperoleh umpan balik atas kebenaran, kelayakan, atau keberterimaan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh oleh siswa.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Berikut beberapa ciri proses pembelajaran pada tahap eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi yang potensial dapat membantu siswa menginternalisasi nilai-nilai yang diambil dari Standar Proses.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>a.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Eksplorasi</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .75in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>1)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri, berfikir logis, kreatif, kerjasama)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .75in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>2)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, kerja keras)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .75in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>3)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya (contoh nilai yang ditanamkan: kerjasama, saling menghargai, peduli lingkungan)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .75in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>4)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: rasa percaya diri, mandiri)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .75in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>5)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri, kerjasama, kerja keras)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .75in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>b.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> Elaborasi</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>1)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna (contoh nilai yang ditanamkan: cinta ilmu, kreatif, logis)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>2)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, percaya diri, kritis, saling menghargai, santun)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>3)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memberi kesempatan untuk berpikir,menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, percaya diri, kritis)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>4)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif (contoh nilai yang ditanamkan: kerjasama, saling menghargai, tanggung jawab)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>5)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, disiplin, kerja keras, menghargai)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>6)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, bertanggung jawab, percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>7)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>8)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>9)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>c.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Konfirmasi</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>1)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik (contoh nilai yang ditanamkan: saling menghargai, percaya diri, santun, kritis, logis)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>2)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, logis, kritis)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>3)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan (contoh nilai yang ditanamkan: memahami kelebihan dan kekurangan)</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>4)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memfasilitasi peserta didik untuk lebih jauh/dalam/luas memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap, antara lain dengan guru:</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.25in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>a)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar (contoh nilai yang ditanamkan: peduli, santun);</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.25in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>b)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">membantu menyelesaikan masalah (contoh nilai yang ditanamkan: peduli);</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.25in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>c)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi (contoh nilai yang ditanamkan: kritis);</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.25in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>d)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh (contoh nilai yang ditanamkan: cinta ilmu); dan</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: 1.25in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>e)<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif (contoh nilai yang ditanamkan: peduli, percaya diri).</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
<br />
3. Penutup</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dalam kegiatan penutup, guru:</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>a.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri, kerjasama, kritis, logis);</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>b.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, mengetahui kelebihan dan kekurangan);</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>c.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: saling menghargai, percaya diri, santun, kritis, logis);</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>d.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik; dan</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>e.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar internalisasi nilai-nilai terjadi dengan lebih intensif selama tahap penutup. </span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>a.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Selain simpulan yang terkait dengan aspek pengetahuan, agar peserta didik difasilitasi membuat pelajaran moral yang berharga yang dipetik dari pengetahuan/keterampilan dan/atau proses pembelajaran yang telah dilaluinya untuk memperoleh pengetahuan dan/atau keterampilan pada pelajaran tersebut.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>b.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Penilaian tidak hanya mengukur pencapaian siswa dalam pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pada perkembangan karakter mereka.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>c.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Umpan balik baik yang terkait dengan produk maupun proses, harus menyangkut baik kompetensi maupun karakter, dan dimulai dengan aspek-aspek positif yang ditunjukkan oleh siswa.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>d.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Karya-karya siswa dipajang untuk mengembangkan sikap saling menghargai karya orang lain dan rasa percaya diri.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>e.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok diberikan dalam rangka tidakhanya terkait dengan pengembangan kemampuan intelektual, tetapi juga kepribadian.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>f.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Berdoa pada akhir pelajaran.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Ada beberapa hal lain yang perlu dilakukan oleh guru untuk mendorong dipraktikkannya nilai-nilai. Pertama, guru harus merupakan seorang model dalam karakter. Dari awal hingga akhir pelajaran, tutur kata, sikap, dan perbuatan guru harus merupakan cerminan dari nilai-nilai karakter yang hendak ditanamkannya.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Kedua, pemberian reward kepada siswa yang menunjukkan karakter yang dikehendaki dan pemberian punishment kepada mereka yang berperilaku dengan karakter yang tidak dikehendaki. Reward dan punishment yang dimaksud dapat berupa ungkapan verbal dan non verbal, kartu ucapan selamat (misalnya classroom award) atau catatan peringatan, dan sebagainya. Untuk itu guru harus menjadi pengamat yang baik bagi setiap siswanya selama proses pembelajaran.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Ketiga, harus dihindari olok-olok ketika ada siswa yang datang terlambat atau menjawab pertanyaan dan/atau berpendapat kurang tepat/relevan. Pada sejumlah sekolah ada kebiasaan diucapkan ungkapan Hoo … oleh siswa secara serempak saat ada teman mereka yang terlambat dan/atau menjawab pertanyaan atau bergagasan kurang berterima. Kebiasaan tersebut harus dijauhi untuk menumbuhkembangkan sikap bertanggung jawab, empati, kritis, kreatif, inovatif, rasa percaya diri, dan sebagainya.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Selain itu, setiap kali guru memberi umpan balik dan/atau penilaian kepada siswa, guru harus mulai dari aspek-aspek positif atau sisi-sisi yang telah kuat/baik pada pendapat, karya, dan/atau sikap siswa. Guru memulainya dengan memberi penghargaan pada hal-hal yang telah baik dengan ungkapan verbal dan/atau non-verbal dan baru kemudian menunjukkan kekurangan-kekurangannya dengan ‘hati’. Dengan cara ini sikap-sikap saling menghargai dan menghormati, kritis, kreatif, percaya diri, santun, dan sebagainya akan tumbuh subur.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Evaluasi Pencapaian Belajar Berbasis Karakter</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pada dasarnya authentic assessment diaplikasikan. Teknik dan instrumen penilaian yang dipilih dan dilaksanakan tidak hanya mengukur pencapaian akademik/kognitif siswa, tetapi juga mengukur perkembangan kepribadian siswa. Bahkan perlu diupayakan bahwa teknik penilaian yang diaplikasikan mengembangkan kepribadian siswa sekaligus.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pedoman penilaian untuk lima kelompok mata pelajaran yang diterbitkan oleh BSNP (2007) menyebutkan bahwa sejumlah teknik penilaian dianjurkan untuk dipakai oleh guru menurut kebutuhan. Tabel 1.1 menyajikan teknik-teknik penilaian yang dimaksud dengan bentuk-bentuk instrumen yang dapat dikembangkan oleh guru.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Di antara teknik-teknik penilaian tersebut, beberapa dapat digunakan untuk menilai pencapaian peserta didik baik dalam hal pencapaian akademik maupun kepribadian. Teknik-teknik tersebut terutama observasi (dengan lembar observasi/lembar pengamatan), penilaian diri (dengan lembar penilaian diri/kuesioner), dan penilaian antarteman (lembar penilaian antarteman).</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><img alt="http://www.nu.or.id/oneMODUL/onePHOTO/habituasi.jpg" height="396" id="yiv1522934838Picture_x0020_2" src="http://id.f1906.mail.yahoo.com/ya/download?mid=1%5f559180%5fANaQCmoAAR4zTvu1iAMADl%2fCGJs&pid=3&fid=Inbox&inline=1" width="586" /></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"></span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Berikut adalah contoh instrumen (penilaian diri) yang dapat dipakai, diadaptasi, dan dikembangkan lebih lanjut oleh sekolah dalam melakukan penilaian.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
How much do you improve in the following aspects after learning the materials in this unit? Put a tick (√) in the appropriate box.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><img alt="http://www.nu.or.id/oneMODUL/onePHOTO/habituasi3.jpg" height="183" id="yiv1522934838Picture_x0020_3" src="http://id.f1906.mail.yahoo.com/ya/download?mid=1%5f559180%5fANaQCmoAAR4zTvu1iAMADl%2fCGJs&pid=4&fid=Inbox&inline=1" width="577" /></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"></span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
<br />
Tindak Lanjut Pembelajaran</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Tugas-tugas penguatan (terutama pengayaan) diberikan untuk memfasilitasi peserta didik belajar lebih lanjut tentang kompetensi yang sudah dipelajari dan internalisasi nilai lebih lanjut. Tugas-tugas tersebut antara lain dapat berupa PR yang dikerjakan secara individu dan/atau kelompok baik yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang singkat ataupun panjang (lama) yang berupa proyek. Tugas-tugas tersebut selain dapat meningkatkan penguasaan yang ditargetkan, juga menanamkan nilai-nilai.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_13250457358682575" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_13250457358682574" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pendidikan adalah ujung tombak perubahan bangsa, menuju lebih baik, lebih mensejahterahkan, dan bermartabat di mata bangsa sendiri, terlebih di mata dunia internasional. Pendidikan karakter harus semaksimal mungkin diintegrasikan dalam aktifitas madrasah, baik secara kelembagaan, maupun dalam aktifitas pembelajaran sehari-hari pendidik dan peserta didik. Berlahan, tapi pasti, perubahan yang dirancang hari adalah untuk perbaikan di masa yang akan datang. Maka sumbangsih generasi madrasah sangat diharapkan untuk membangun karakter bangsa untuk “Indonesia Bermartabat dan Mensejahterahkan”.</span></div><div class="yiv1522934838MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
* Ketua Team Pengembang Kurikulum MTsN 34 Jakarta</span></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-92184532198809083712011-12-27T16:25:00.001-08:002011-12-27T16:25:55.848-08:00Bid'ah Dimulai Sejak Zaman Rasulullah SAW<span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"></span><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">ADA beberapa kebiasan yang dilakukan para sahabat berdasarkan ijtihad mereka sendiri, dan kebiasaan itu mendapat sambutan baik dari Rasulullah SAW. Bahkan pelakunya diberi kabar gembira akan masuk surga, mendapatkan rida Allah, diangkat derajatnya oleh Allah, atau dibukakan pintu-pintu langit untuknya.</span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Misalnya, sebagaimana digambarkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, perbuatan sahabat Bilal yang selalu melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci. Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar gembira sebagai orang-orang yang lebih dahulu masuk surga.</span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Contoh lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Kemudian tradisi ini disetujui oleh Rasulullah SAW setahun setelah meninggalnya.</span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Selain itu, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Rifa'ah ibn Rafi' bahwa seorang sahabat berkata: "Rabbana lakal hamdu" (Wahai Tuhanku, untuk-Mu segala puja-puji), setelah bangkit dari ruku' dan berkata "Sami'allahu liman hamidah" (Semoga Allah mendengar siapapun yang memujiNya). Maka sahabat tersebut diberi kabar gembira oleh Rasulullah SAW.</span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Demikian juga, sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Mushannaf Abdur Razaq dan Imam An-Nasa'i dari Ibn Umar bahwa seorang sahabat memasuki masjid di saat ada shalat jamaah. Ketika dia bergabung ke dalam shaf orang yang shalat, sahabat itu berkata: "Allahu Akbar kabira wal hamdulillah katsira wa subhanallahi bukratan wa ashilan" (Allah Mahabesar sebesar-besarnya, dan segala puji hanya bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang). Maka Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada sahabat tersebut bahwa pintupintu langit telah dibukakan untuknya.</span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Hadis lain yang diriwayatkan oleh At- Tirmidzi bahwa Rifa'ah ibn Rafi' bersin saat shalat, kemudian berkata: "Alhamdulillahi katsiran thayyiban mubarakan 'alayhi kama yuhibbu rabbuna wa yardha" (Segala puji bagi Allah, sebagaimana yang disenangi dan diridai-Nya). Mendengar hal itu, Rasulullah SAW bersabda: "Ada lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka yang beruntung ditugaskan untuk mengangkat perkataannya itu ke langit."</span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam An-Nasa'i dari beberapa sahabat yang duduk berzikir kepada Allah. Mereka mengungkapkan puji-pujian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah karena diberi hidayah masuk Islam, sebagaimana mereka dianugerahi nikmat yang sangat besar berupa kebersamaan dengan Rasulullah SAW. Melihat tindakan mereka, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahuku bahwa Allah sekarang sedang berbangga-bangga dengan mereka di hadapan para malaikat."</span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dari tindakan Rasulullah SAW yang menerima perbuatan para sahabat tersebut, kita bisa menarik banyak pelajaran sebagai berikut:</span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
1. Rasulullah SAW tidak akan menolak tindakan yang dibenarkan syariat selama para pelakunya berbuat sesuai dengan pranata so sial yang berlaku dan membawa manfaat umum. Dengan demikian, perbuatan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt yang bisa dilakukan kapan saja, baik di malam maupun siang. Perbuatan ini tidak bisa disebut sebagai perbuatan yang makruh, apalagi bid'ah yang sesat.</span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
2. Orang Islam tidak dipersoalkan karena perbuatan ibadah yang bersifat mutlak, yang tidak ditentukan waktunya dan tempatnya oleh syariat. Terbukti bahwa Rasulu1lah SAW telah membolehkan Bilal untuk melakukan shalat setiap selesai bersuci, sebagaimana menerlma perbuatan Khubaib yang shalat dua rakaat sebelum menjalani hukuman mati di tangan kaum kafir Quraisy.</span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
3. Tindakan Nabi SAW yang membolehkan bacaan doa-doa waktu shalat, dan redaksinya dibuat sendiri oleh para shahabat, atau juga tindakan beliau yang membolehkan dikhususkannya bacaan surat-surat tertentu yang tidak secara rutin dibaca oleh beliau pada waktu shalat, tahajjud, juga doa-doa tambahan lain. Itu menunjukkan bahwa semua perbuatan tersebut bukanlah bid'ah menurut syariat. Juga tidak bisa disebut sebagai bid'ah jika ada yang berdoa pada waktu-waktu yang mustajabah, seperti setelah shalat lima waktu, setelah adzan, setelah merapatkan barisan (dalam perang), saat turunnya hujan, dan waktu-waktu mustajabah lainnya. Begitu juga doa-doa dan puji-pujian yang disusun oleh para ulama dan orang orang shalih tidak. bisa disebut sebagai bid'ah. Begitu juga zikir-zikir yang kemudian dibaca secara rutin selama isinya masih bisa dibenarkan oleh syariat.</span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
4. Dari persetujuan Nabi SAW terhadap tindakan beberapa sahabat yang berkumpul di masjid untuk berzikir dan menyukuri nikmat dan kebaikan Allah Swt serta untuk membaca Al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa tindakan mereka mendapatkan legitimasi syariat, baik yang dilakukan dengan suara pelan ataupun dengan suara keras tanpa ada perubahan makna dan gangguan. Dan selama tindakan tersebut bersesuaian dengan kebutuhan umum dan tidak ada larangan syariat yang ditegaskan terhadapnya, maka perbuatan tersebut termasuk bentuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan termasuk bid'ah menurut syariat.</span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dr. Oemar Abdallah Kemel</span></div><div class="yiv321247947MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah</span></div><span id="yui_3_2_0_1_132503187428093" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">(Dari karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?")</span>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com15tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-82544619731655262792011-12-27T05:30:00.001-08:002011-12-27T05:30:58.541-08:00Tatacara Qunût<div id="yui_3_2_0_1_1324992570351164"><div class="yiv86172203WordSection1" id="yui_3_2_0_1_1324992570351161"><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dalam sehari semalam, seorang mukalaf wajib mengerjakan salat sebanyak lima kali. Dari kelima salat itu, salat subuh mempunyai ciri khas yang dapat membedakannya dari salat-salat yang lain. Selain karena hanya dua rakaat, salat subuh mempunyai qunût yang dapat membuatnya lebih istimewa dari yang lain.</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Secara etimologi, qunût berakar dari kata qanata yang berarti merendahkan diri pada Allah . Bisa juga berarti berdoa, baik berdoa dengan kebaikan atau keburukan. Sedangkan secara terminologi, qunût berarti sebuah zikir tertentu yang dibaca pada waktu tertentu pula.</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Ulama berbeda pendapat tentang bentuk redaksi qunût. Ada yang mengatakan bahwa redaksi qunût itu hanya tertentu dengan bacaan yang ma’tsûr (diriwayatkan) dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, dan ada yang mengatakan sebaliknya. Sedangkan manyoritas ulama fikih berpendapat bahwa qunût tidak tertentu dengan yang ma’tsûr dari Nabi Sallallâhu ‘alaihi wasallam, qunût juga bisa dengan membaca redaksi lain yang mengandung doa seperti qunût-nya Sayidina Umar Radhiyallâhu ‘anhu.</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Redaksi qunût yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih dapat diklasifikasikan menjadi dua macam. Pertama, qunût yang ma’tsûr dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, yaitu</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Redaksi ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dari Sayyidina al-Hasan bin Ali1. </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Kedua, qunût yang pernah dibaca oleh Sayidina Umar Radhiyallâhu ‘anhu, yaitu:</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِيْ</span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"></span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ اِنَّكَ تَقْضِيْ وَلَايُقْضَى عَلَيْكَ وَاِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَا لَيْتَ</span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"></span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Di dalam qunût yang ma’tsûr dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, disunnahkan melanjutkannya dengan membaca tsanâ’ (pujian) terhadap Allah Subhânahu wa ta‘âlâ dan dilanjutkan dengan membaca salawat kepada Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam seperti yang sudah lumrah dilakukan di kalangan masyarakat.</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Di dalam pelaksanaannya, qunût tidak boleh dibaca terlalu panjang seperti halnya pelaksanaan tahiyat pertama dan akan menimbulkan hukum makruh bila dilaksanakan dengan terlalu panjang. Tapi, ketika seseorang membaca qunût, dan dalam qunût tersebut dia menggabungkan antara qunût yang ma’tsûr dari Nabi dengan qunût-nya sayyidina Umar Radhiyallâhu ‘anhu, maka qunût tersebut tidak dihukumi makruh. Qunût tersebut tetap dihukumi sunah bagi orang yang salat sendirian, atau bagi seorang imam yang makmumnya sedikit, sedangkan mereka rela dengan bacaan imamnya yang dipanjangkan.<span dir="RTL" lang="AR-SA"></span></span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sedangkan tata cara membaca qunût itu sendiri, apabila yang membaca adalah orang yang salat sendirian, maka bacaan qunût harus dibaca secara pelan. Dan bagi seorang imam, bacaan qunût boleh dibaca pelan dan boleh dibaca keras. Sedangkan bagi makmum, apabila imamnya membaca dengan keras, maka dia membaca “amin”, dan apabila imamnya membaca dengan pelan, maka dia boleh memilih antara membaca qunût sendiri atau diam. Tapi menurut pendapat yang lebih sahih (qaul ashah), apabila bacaan imam berupa do’a, maka makmum harus memaca “amin”, dan bila berupa tsanâ (pujian), maka makmum boleh memilih antara membaca tsanâ seperti halnya imam atau diam.</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dari sisi lain, qunût juga bisa dibagi menjadi dua, yaitu : qunût râtib dan qunût nâzilah. Qunût râtib adalah qunût yang dilaksanakan pada waktu salat subuh dan di rakaat terakhir salat witir diseparuh kedua bulan Ramadhan.</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Qunût râtib ini termasuk diantara sunnah ab’adh-nya salat, bila lupa tidak dikerjakan maka disunnahkan sujud sahwi. Meninggalkan sebagian dari qunût râtib ini sama halnya dengan meninggalkan kesemuanya qunut. Jadi, orang yang tidak membaca qunût ini dengan sempurna, atau mengganti sebagian kalimat dengan kalimat yang lain, seperti mengganti huruf “ fî “ dengan “ma’a” dalam lafadz “fî man hadaita”, maka orang tersebut sama halnya dengan tidak mengerjakannya sama sekali dan disunnahkan baginya untuk mengganti qunût tersebut dengan sujud sahwi. Sama dengan permasalahan diatas yaitu, bila ada orang yang membaca sebagian qunût, lalu melanjutkannya dengan qunût yang lain yang tidak sama dengan qunût yang pertama, seperti membaca sebagian qunut yang ma’sur dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam lalu melanjutkannya dengan sebagian qunutnya Sayyidina Umar Radhiyallâhu ‘anhu, maka orang tersebut juga disunnahkan menggantinya dengan sujud sahwi, karna orang tersebut tidak membaca satu qûnut-pun dengan sempurna.</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sedangkan yang dinamakan qunût nâzilah adalah qunût yang dilaksanakan karna ada bencana yang menyusahkan umat islam, seperti terjadi badai, kebakaran, murtadnya mayoritas umat islam atau negara islam sedang diserang musuh. Maka, apabila ada kejadian seperti itu, disunnahkan bagi umat islam yang lain untuk qunût setelah ruku’ di rakaat yang terakhir dalam semua salat maktûbah (salat fardlu) untuk mendo’akan orang muslim yang lain yang tertimpa musibah.</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Qunût nâzilah ini pernah dilakukan oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam selama satu bulan untuk mendo’akan para sahabat yang terbunuh dalam peristiwa sumur mu’nah. Jadi, hukum mengerjakan qunût ini adalah sunnah ketika ada musibah yang menimpa umat islam dengan dasar mengikuti langkah perbuatan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam. </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dalam kesunnahan qunût nâzilah ini, apabila lupa tidak dikerjakan atau satu kalimat diganti dengan kalimat yang lain, maka tidak disunnahkan untuk menggantinya dengan sujud sahwi, karna kesunnahan qunût nâzilah ini adalah dzâtiyah dari qunût itu sendiri, tanpa ada sangkut pautnya dengan salat yang dikerjakan.</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Untuk lafal-lafal yang digunakan dalam qunût nâzilah ini, sama dengan lafadz-lafadz yang digunakan didalam qunût râtib. Tapi, ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa lafadz-lafadz qunût nâzilah lebih baik disesuaikan dengan peristiwa yang menimpa kaum muslimin dan ini lebib baik dari pada membaca qunut yang biasa dibaca dalam qunût râtib. Jadi, apabila kejadian yang menimpa kaum muslimin berupa bencana gempa bumi, maka, sebaiknya para korban dido’akan dengan doa-doa yang dapat meringankan penderitaan mereka.[]</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Catatan akhir</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Lihat: Sunan Abi Daud, vol 4 hal. 210 no. Hadis 1214, Sunan at-Tirmidzi, vol.2 hal.274 no. Hadis 426, Sunan an-Nasa’i, vol. 6 hal. 258 no.Hadis 1725.</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Hâsyiah al-Baijuri li Syaikh Ibrahim al-Baijuri, vol. 1 hal.312-314</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>3.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">*Raudlah at-Thâlibîn, vol.1 hal.253-254</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>4.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Nihâyah al-Muhtâj, vol.2 hal. 67</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>5.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Mughni al-Muhtâj, vol.1 hal. 168</span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv86172203MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_1324992570351158" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_1324992570351155" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-4269939623268415032011-12-25T18:46:00.001-08:002011-12-25T18:46:10.370-08:00Menggunakan Tasbih untuk Berdzikir<div id="yui_3_2_0_1_1324867490833102"><div class="yiv1722485956WordSection1" id="yui_3_2_0_1_132486749083399"><br />
<div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dari dulu salah satu hal yang terus bergulir di sekitar wacana Islam Nusantara adalah perdebatan mengenai yang sunnah dan yang bid’ah. Dulu perdebatan semacam ini bertujuan untuk mendudukkan porsi masalah tersebut pada posisi ubudiyah yang ‘benar’. Hal ini cukup menggembirakan, karena menunjukkan masih adanya semangat keber-agama-an. Justru ketika tidak ada perdebatan itu, malah menjadi sesuatu yang menggelisahkan. Karena itu membuktikan melemahnya semangat keberagamaan di Indonesia, baik dikarenakan serangan globalisasi maupun firus liberalisasi. Akan tetapi, munculnya kembali perdebatan ‘yang sunnah’ dan ‘yang bid’ah’ akhir-akhir ini merupakan fenomena lain. Karena perdebatan ini bermuara pada kepentingan politik, bukan berniat mendudukkan sunnah bid’ah pada porsi ubudiyah.</span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Untuk menjaga stabilitas isu keagamaan, kali ini tim redaksi menurunkan tulisan Gus Mus mengenai hukum menggunakan tasbih. Selanjutnya beliau menulis bahwa:</span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Tasbih dalam bahasa Arab disebut sebagai subhah atau misbahah, dalam bentuknya yang sekarang (untaian manik-manik), memang merupakan produk ‘baru’. Sesuai namanya tasbih digunakan untuk menghitung bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (la ilaha illallah), dan sebagainya. Untuk zaman Rasulullah saw. untuk menghitung bacaan dalam berdzikir digunakan jari-jari, kerikil-kerikil, biji-biji kurma atau tali-tali yang disimpul.</span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يعقد التسبيح بيمينه (رواه أبو داود)</span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"></span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Pernah kulihat Nabi saw menghitung bacaan tasbih dengan tangan kanannya.</span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Rasulullah saw. juga pernah menganjurkan para wanita untuk bertasbih dan bertahlil serta menghitungnya dengan jari-jemari, sebagaimana hadis dikeluarkan oleh Ibnu Syaiban, Abu Dawud, At-Turmudzi, dan Al-Hakim sebagai berikut:<span dir="RTL" lang="AR-SA"></span></span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">عليكن بالتسبيح والتهليل والتقديس واعقدن بالأنامل فإنهن مسؤلات مستنطقات ولاتغفلن فتنسين الرحمة</span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"></span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Wajib atas kalian untuk membaca tasbih, tahlil, dan taqdis. Dan ikatlah (hitungan bacaan-bacaan itu) dengan jari-jemari. Karena sesunggunya jari-jari itu akan ditanya untuk diperiksa. Janganlah kalian lalai (jikalau kalian lalai) pasti dilupakan dari rahmat (Allah)</span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sahabat Abu Hurairah r.a bila bertasbih menggunakan tali yang disimpul-simpul konon sampai seribu simpul. Sahabat Sa’ad bin Abi Waqash r.a diriwayatkan kalau bertasbih dengan menggunakan kerikil-kerikil atau biji-biji kurma. Demikian pula sahabat Abu Dzar dan beberapa sahabat lainnya.<span dir="RTL" lang="AR-SA"></span></span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Memang ada sementara ulama bahwa menggunakan jari-jemari lebih utama daripada menggunakan tasbih. Pendapat ini didasarkan atas hadits Ibnu Umar yang sudah disebutkan di atas. Namun dari segi maknanya(untuk sarana menghitung), saya pikir kedua cara itu tidak berbeda.</span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_132486749083396" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_132486749083393" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dari sisi lain, untuk menghitung tasbih dan tahlil, sebenarnya tasbih mempunyai manfaat utamanya bagi kita yang hidup di zaman sibuk ini. Dengan membawa tasbih, seperti kebiasaan orang-orang Timur Tengah (di sana tasbih merupakan assesori macam cincin dan kacamata saja), sebenarnya kita bisa selalu atau sewaktu-waktu diingatkan untuk berdziki mengingat Allah. Artinya, setiap kali kita diingatkan bahwa yang ada di tangan kita adalah alat untuk berdzikir, maka besar kemungkinan kita pun lalu berdzikir. ***</span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1722485956MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sumber: NU Online</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-89318666762525609512011-12-24T22:32:00.001-08:002011-12-24T22:32:33.007-08:00Hukum Perempuan Mengenakan Celana Ketat<div id="yui_3_2_0_1_1324794621334314"><div class="yiv1694600029WordSection1" id="yui_3_2_0_1_1324794621334311"><br />
<div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Busana menunjukkan budaya. Salah satu cara mengenal orang adalah dari busana yang dikenakannya. Kita bisa tahu dari mana seseorang berasal ketika kita melihat gaya busananya. Ada adat Jawa, adat Batak dan lain sebagainya. Busana juga menunjukkan jati diri seseorang. Karena busana merupakan tanda. Tanda selalu menunjukkan sesuatu yang ditandainya. Lampu Merah merupakan tanda untuk berhenti, hijau tandanya berjalan. Begitu juga dengan busana kerudung seharusnya menunjukkan kesalehan, begitu juga dengan peci.</span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Akan tetapi bersama berjalannya waktu dan derasnya arus teknologi informasi, seolah-olah penandaan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Ini dikarenakan kejamnya penjajahan industri busana dan mode terhadap busana tradisional. Maka muncullah berbagai macam model busana yang bertentangan dengan kaedah Islam. Misalnya celana ketat, atau juga rok pendek. Lantas bagaimanakah hukumnya bagi muslimah yang tidak bisa menghindari model busana seperti tersebut, entah karena tuntutan profesi (dalam bekerja) atau memang sebagai pilihan tersendiri?</span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sebenarnya Islam telah menegaskan bahwa batasan aurat dalam sholat maupun di luar sholat adalah sama. Jika aurat laki-laki adalah pusar hingga dengkul, sedangkan aurat untuk perempuan semua anggota badan selain mata dan telapak tangan. Lalu bagaimanakah jika perempuan memakai celana ketat, bukankah itu telah menutup aurat?</span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Mengenai hal ini fiqih mempunyai dua pendapat; pertama tidak diperbolehkan bagi wanita memakai celana ketat sehingga menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya apalagi sampai kelihatan warna kulitnya. Seperti yang terdapat dalam Mauhibah Dzil Fadlal juz II hal.326-327, dan dalam Minhajul Qawim juz I hal 234</span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div align="right" class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: right;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">وشرط الساتر فى الصلاة وخارجها ان يشمل المستور لبسا ونحوه مع ستر اللون فيكفى مايمنع ادراك لون البشرة</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"></span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Hukum kedua adalah makruh seperti ditunjukkan dalam I’anatut Thalibin juz I, hal 134:</span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" dir="RTL" id="yui_3_2_0_1_1324794621334308" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span id="yui_3_2_0_1_1324794621334305" lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">ويكفى مايحكى لحجم الاعضاء (اي ويكفي جرم يدرك الناس منه قدرالاعضاء كسراويل ضيقة) لكنه خلاف الأولى (اي للرجل واماالمرأة والخنثى فيكره لهما) (حاشية اعانة الطالبين ج 1 ص 134)</span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"></span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1694600029MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sumber: NU Online</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-63249009424152834622011-12-23T20:05:00.000-08:002011-12-23T20:05:38.981-08:00Mari Kita Bertawadhu' Lagi<div id="yui_3_2_0_1_1324699102762373"><div class="yiv1149084380WordSection1" id="yui_3_2_0_1_1324699102762370"><br />
<div align="right" class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: right;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16pt;">الحمد لله الذى من اعتصم بحبل رجاءه وفقه وهداه ومن لجأ اليه حفظه ووقاه, ومن تواضع له رفعه وحماه</span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16pt;"><span dir="LTR"></span>. <span dir="RTL" lang="AR-SA">أحمده سبحانه على ما اعطى من الإنعام وأولاه. واشكره على ماحوله بفضله واسداه</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span>. <span dir="RTL" lang="AR-SA">وأشهد أن لااله الاالله وحده لاشريك له شهادة من عرف الله بصفاته ولم يعامل أحدا سواه. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله المبعوث الى خلقه بتوحيده وأوصاهم بتقواه. اللهم صل وسلم وبارك على عبدك ورسولك النبي الأمي سيدنا محمد وعلى اله وصحبه الذين تمسكون بهداه_ أما بعد </span></span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Para hadirin jama’ah jum’ah Rahimakumullah</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt. Semakin sering kita mengevaluasi diri kita semakin baik. Karena dengan demikian kita akan merasa selalu bersalah dan selalu berusaha memperbaikinya. amin </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Alhamdulillah di hari yang bahagia ini kita masih diberikan kesempatan oleh Allah yang maha kuasa untuk berkumpul bersama saling bertaushiyah sesama. Semoga pertemuan kita diberkati oleh Allah seperti majlis jum’ah yang berkah ini.</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Ayyuhal Hadirun Rahimakumullah </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Diantara beberapa hal yang sering kita abaikan adalah pemahaman kita seputar etika bermasyarakat. Seringkali kita lupa akan ke-diri-an kita, warna dan identitas sebagai muslim Indonesia yang hidup di tengah berbagai ragam suku, ras, agama dan bahasa kedaerahan. Meskipun ada perbedaan epistimologis dalam kata etika, moral, budi-pekerti dan akhlaq, namun dalam kesempatan ini semua kata itu dimaknai oleh khatib sebagai suatu nilai luhur yang terkandung dalam berperilaku dan berinteraksi dengan sesama. Ada banyak macam perilaku yang dapat dikategorikan dalam nilai-nili ini seperti gotong royong, saling menghormati, empati (teposeliro), dan juga tawadhu’.</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Sudah jarang sekali telinga kita mendengarsemua kata-kata indah itu. Kata gotong-royong, saling menghormati dan teposeliro juga tawadhu’, seolah lenyap dari perbendaharaan bahasa Indonesia. </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Malahan kata-kata itu tergantikan dengan istilah dikordinasikan, dikomunisikan dan lain sebagainya. Ini berarti telah terjadi pergeseran nilai di tengah masyarakat kita. Nilai-nilai luhur yang lahir dan dibesarkan oleh tradisi Nusantara telah kalah saing dengan nilai-nilai kesementaraan yang mengabdi pada modernism dan individualism. Hal seperti inilah yang sedikit demi sedikit merubah rona wajah bangsa kita. Hal ini diperparah dengan sistem teknologi pertelevisian yang menuruti keterbukaan dalam menggunjing sesame dan membicarakan kesalahan sesame dengan alasan membudayakan kritik. Lihatlah beberapa tolk show baik yang sekedar intertaintment ataupun yang berwawasan politk seolah semuanya tidak lagi mengindahkan kaedah-kaedah etika. Naudzubillah min dzalik.</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Jama’ah Jum’ah yang berbahagia</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Cobalah kita bersama-sama membuka hati dan melapangkan dada. Apa sesungguhnya yang melatar belakangi perubahan rona wajah bangsa kita. Yang dulu sangat pemalu dan penghormat. Kini menjadi penipu dan penghujat. Nampaknya percaya diri dan menganggap benar sendiri dengan menuduh orang lain tak becus dan salah dalam melangkah, menjadi penyakit akut yang terus menyandera bangsa kita. <br />
Oleh karena itu pada kesempatan kali ini saya selaku khotib tidak berhak mengajari, tapi sekedar mengingatkan kembali bahwa kemungkinan penyebab ini semua adalah kelalaian kita terhadap ajaran tawadhu’ dari rasulullah saw. Tawadhu’ biasa diartikan dengan rendah diri dan tidak somobong. Tawadhu’ adalah konsep etika yang sangat sederhana. Rasulullah saw sendiri mengajarkan cara bertawadhu’ dengan memulai salam bila berjumpa sesama teman, dalam sebuah hadist disebutkan</span></div><div align="right" class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: right;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16pt;">ويبدأ من لقيه بالسلام</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16pt;"></span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Rasulullah saw selalu menyambut orang yang menemui beliau dengan salam.</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Di sini mengucap salam menjadi kata kunci untuk melatih diri melakukan tawadhu. Bukan sekedar doa yang terkandung dalam ucapan salam, akan tetapi bagaimana seseorang memulai berkomunikasi dengan yang lain dan saling bertegur sapa, itulah yang terpenting. Apalagi kehidupan di kota seperti Jakarta. Saling bersapa menjadi barang yang sangat mahal. Apalagi berbincang.</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Kalau boleh bercerita, Teman saya yang baru datang di Jakarta merasa bingung. Bagaimana orang bisa duduk berjejer ataupun berdiri saling hadapan dalam satu angkutan kota tanpa bertegur sapa? Ini adalah hal yang mustahil di daerah dan didesa-desa. Jangankan dengan sesama teman, dengan orang yang belum dikenalpun akan disapa dengan berbagai ragam pertanyaan, mau kemana pak? Turun di mana? Cari rumah siapa? Dan lain sebagainya.</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Para Jama’ah yang dirohmati Allah</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Ternyata bertegur sapa, baik dengan mengucap salam maupun berbasa-basi sekedarnya seperti ajaran Rasulullah saw dapat melatih orang bersikap tawadhu’. Karena mereka yang bertegur sapa biasanya bukan tipe manusia sombong. Sebuah hadits menerangkan</span></div><div align="right" class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: right;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16pt;">البادئ بالسلام بارئ من الكبار</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16pt;"></span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Siapa yang memulai menegur dengan salam, bebas dari sifat sombong atau takabbur.</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Bahkan begitu tawadhu’nya Rasulullah saw higga pernah suatu ketika beliau menolak bantuan orang yang hendak membawakan bungkusan beliau. Dengan alasan pemilik barang lebih berhak membawa barang masing-masing.</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Penolakan tersebut bukanlah cerminan kesombongan, tetapi merupakan kerendahan hati beliau saw. meskipun beliau seorang Nabi, tetapi lebih senang membawa diri sendiri. Apakah demikian dengan pemimpin-pemipin bangsa kita? Pastilah tidak karena mereka sudah tidak lagi mengenal tawadhu’. Janganka membawa bungkusan kepalapun kalau bisa dibawakan oleh ajudan.</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Oleh karena itu, nabi membuat kriteria sendiri sebagai cirri-ciri tawadhu diantaranya duduk bersama fakir miskin. Seperti sebuah hadits yang berbunyi:</span></div><div align="right" class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: right;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16pt;">الجلوس مع الفقراء من التواضع</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16pt;"></span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Duduk bersama orang fakir miskin, termasuk ciri khas orang yang rendah hati (tawadhu) (HR. Ad-Dailami).</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Senada dengan hadits Nabi adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ja’far:</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">“Sesungguhnya puncak keteguhan adalah tawadhu’.” Kemudian Salah seorang bertanya kepada nya, “Apakah tanda-tanda tawadhu’ itu?” Beliau menjawab, “Hendaknya kau senang pada majlis yang tidak memuliakanmu, memberi salam kepada orang yang kau jumpai, dan meninggalkan perdebatan sekalipun engkau di atas kebenaran.”</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Tidak hanya menghindar dari penghormatan orang, tetapi juga menghindar dari perdebatan walaupun kita dalam posisi yang benar. </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Bagaimanakah dengan tolkshow yang ada di televisi?. Dengan bangganya di bawah siraman cahaya kamera para aktifis dan intelektual itu berbicara bertakik-takik seolah membicarakan hal yang dianggapnya benar sambil sesekali menghina dan menyalahkan orang lain. Berdebat kusir menjadi keahlian tersendiri. Mereka yang menguasai retorika dan aksentuasi yang enak menjadi pemenangnya. Bahkan sering kali setelah acara usai mereka bertanya pada kroni-sejawat dan teman-temannya? Bagaimana tadi penampilanku? Bagus gak? Dan berbagai pertanyaan lain yang menunjukkan kesombongannya. Inilah potret bangsa kita. Bagaimana bisa Indonesia berjalan maju ke depan bila yang terjadi saling menyalahkan. Berebut di depan bukan dalam perang, tetapi dalam pamer segala kemampuan, biar dilihat sebagai orang yang mempunyai kemampuan dan kwalitas. Bukan seperti pendiam yang tak faham.</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Marilah kita sadari bersama bahwa sesungguhnya tawadhu dan kerendah-hatian itu tidak akan membuat seseorang menjadi hina. Bahkan sebaliknya. Kekhawatiran itu hanya muncul bagi mereka yang sebenarnya berkwalitas rendah tetapi ingin dianggap seorang yang berharga. Dalam sebuah hadits diterangkan:</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16pt;">التواضع لا يزيد العبد الارفعة فتواضعوا يرفعكم الله تعالى...</span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16pt;"></span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Tawadhu’ itu tidak akan menambah seseuatu bagi seseorang kecuali nilai tinggi, maka bertawadhulah kalian semua maka Allah akan meninggikanmu…</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Jama’ah Jum’ah yang Rahimakumullah<span dir="RTL" lang="AR-SA"></span></span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Akhirnya, khutbah ini menyimpulkan bahwa tawadhu itu tidak hanya diejawantahkan dalam perkataan tetapi juga dalam tingkah laku keseharian. Dalam bergaul, dalam berinteraksi social dan dalam menanggapi persoalan yang muncul.</span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16pt;">جعلنا الله واياكم من الفائزين الامنين, وأدخلناواياكم فى عباده الصالحين. أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. وإذ أخذنا ميثاق بني إسرائيل لا تعبدون إلا الله وبالوالدين إحسانا وذي القربى واليتامى والمساكين وقولوا للناس حسنا وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة ثم توليتم إلا قليلا منكم وأنتم معرضون.<br />
بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم </span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16pt;"></span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1149084380MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Sumber: NU Online</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-25788058398283668432011-12-21T20:29:00.000-08:002011-12-21T20:29:03.997-08:00Amal yang Membuka Pintu Surga<div id="yui_3_2_0_1_132452806423099"><div class="yiv742041545WordSection1" id="yui_3_2_0_1_132452806423096"><div class="yiv742041545MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><b><span style="color: blue; font-family: "sans-serif"; font-size: 12pt;"></span></b></div><div class="yiv742041545MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Oleh: Hayat Fakhrurrozi</span></div><div class="yiv742041545MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv742041545MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Tidak seperti biasanya, hari itu sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu pulang lebih awal menjelang ashar. Sayyidatina Fatimah Radhiallahu Anha putri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyambut kedatangan suaminya yang sehari suntuk mencari rezeki dengan sukacita. Siapa tahu sayyidina Ali Radhiallahu Anhu membawa uang lebih banyak karena keperluan di rumah makin besar. Sesudah melepas lelah, sayyidina Ali Radhiallahu Anhu berkata kepada sayyidatina Fatimah Radhiallahu Anha. "Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang sepeserpun." </span></div><div class="yiv742041545MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv742041545MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Sayyidatina Fatimah Radhiallahu Anha menyahut sambil tersenyum, "Memang yang mengatur rezeki tidak duduk di pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Subhanahu Wata'ala." Sayyidina Ali Radhiallahu Anhu pun menjawab, "Terima kasih." Dan sepertinya mata beliau memberat lantaran isterinya begitu tawakal. Padahal keperluan dapur sudah habis sama sekali. Walau demikian sayyidatina Fatimah Radhiallahu Anha, tidak menunjukan sikap kecewa atau sedih. </span></div><div class="yiv742041545MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv742041545MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Sayyidina Ali Radhiallahu Anhu, lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan shalat berjamaah. Sepulang dari shalat, di jalan beliau dihentikan oleh seorang lelaki tua. "Maaf anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abu Thalib?" sayyidina Ali Radhiallahu Anhu pun menjawab dengan heran. "Ya betul. Ada apa, Tuan?" Orang tua itu mencari kedalam kantongnya sesuatu seraya berkata: "Dahulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar upahnya, tapi ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya." Dengan gembira sayyidina Ali Radhiallahu Anhu mengambil haknya dari orang itu sebanyak 30 dinar. </span></div><div class="yiv742041545MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv742041545MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Kabar ini tentu saja membuat sayyidatina Fatimah Radhiallahu Anha sangat gembira ketika mendengar cerita kejadian ini. Lantas beliau pun menyuruh membelanjakannya semua agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari. Tak lama kemudian, sayyidina Ali Radhiallahu Anhu pun bergegas berangkat ke pasar. Sebelum masuk ke dalam pasar, beliau melihat seorang fakir menadahkan tangan, sambil berucap, "Siapakah yang mau menghutangkan hartanya karena Allah Subhanahu Wata'ala, bersedekahlah kepada saya, seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan." Tanpa berfikir panjang, sayyidina Ali Radhiallahu Anhu pun memberikan seluruh uangnya kepada orang itu.</span></div><div class="yiv742041545MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv742041545MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_132452806423093" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_132452806423090" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Pada waktu beliau pulang, tentu saja, sayyidatina Fatimah Radhiallahu Anha keheranan melihat suaminya tidak membawa apa-apa. Lalu sayyidina Ali Radhiallahu Anhu menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Sayyidatina Fatimah Radhiallahu Anha, masih dalam senyum dan berkata, "Keputusan kanda adalah yang juga akan saya lakukan seandainya saya yang mengalaminya. Lebih baik kita menghutangkan harta karena Allah Subhanahu Wata'ala daripada bersifat bakhil yang di murkai-Nya, dan yang menutup pintu syurga untuk kita." Pertanyaannya, mampukah kita meniru hal demikian?? *****</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-69522708016429733412011-12-20T18:50:00.001-08:002011-12-20T18:50:30.340-08:00Massifikasi Ideologi Keaswwajaan<div id="yui_3_2_0_1_132443576963499"><div class="yiv1608931966WordSection1" id="yui_3_2_0_1_132443576963496"><div class="yiv1608931966MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><b><span style="color: blue; font-family: "sans-serif"; font-size: 12pt;"></span></b></div><div class="yiv1608931966MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Oleh: Rangga Sa’adillah, SAP*</span></div><div class="yiv1608931966MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv1608931966MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">“NU akan habis tahun 2020 mendatang”, Lontar KH Abdurrahman Navis, Lc., MHI (Direktur Aswaja NU Center Jatim) saat memberikan pengarahan pada peserta training of trainer Aswaja NU Center Jawa Timur tanggal 7 Oktober 2011 di Aula Salsabila PWNU Jawa Timur.</span></div><div class="yiv1608931966MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Sungguh pernyataan tersebut selalu terngiang dan selalu menjadi angan-angan yang tak hilang. Mengapa Hadratil Kiram KH Abdurrahman Navis selaku Direktur Aswaja NU Center Jatim melontarkan pernyataan yang demikian mengejutkan, bukankah NU sekarang sudah besar secara organisasi? Lihat saja jam’iyyahnya mulai dari kaum qori’ sampai pada kaum korak, bahkan bagi orang Madura yang begitu fanatiknya dengan NU ketika ditanya perihal agamanya, jawab mereka NU. </span></div><div class="yiv1608931966MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Memang secara de facto, NU merupakan organisasi yang besar dan memiliki jam’iyyah terbanyak di Indonesia, namun di dalam tubuh NU sekarang sudah tergerogoti dan NU sedang diserang dari kiri dan kanan. Dari kiri misalnya NU sedang digerogoti oleh ideologi liberal yang berusaha untuk me-desakralisasi teks agama (Qur’an dan Hadits). Berbagai pemikiran nyeleneh juga diusung oleh kelompok ini sehingga memberikan kesan ra’yu diatas dari nash. Meskipun demikian kelompok kiri (liberal) ini disambut hangat oleh kaum muda NU terutama mahasiswa. Mereka menganggap kelompok kiri ini memberikan pembaharuan dalam metodologi kajian keislaman. Bagi mereka yang jebolan dari pesantren salaf belakangan juga menyambut hangat, mereka menganggap kelompok ini membawa pembaharuan dalam istinbat hukum. Dari garis kanan NU diserang oleh ideologi fundamental-radikalis mereka sukses menyerang NU dikarenakan yang mereka serang adalah kaum NU yang awam terhadap NU sendiri. Perlahan mereka mendekati sasaran (kaum NU yang awam) kemudian mereka meyakinkan bahwa ajaran-ajaran dan tradisi yang dibawa oleh NU adalah ajaran-ajaran yang tidak diajarkan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya. </span></div><div class="yiv1608931966MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Sebenarnya serangan dari kiri (liberalis) dampaknya tidak begitu mudharat bagi warga NU, dikarena apabila ada warga NU yang terkena serangan itu mereka tinggal berkonsultasi pada Kiai sepuh demikian masalah akan bisa teratasi. Sedangkan kalau serangan dari kanan (fundamental-radikalis) sangat beresiko bagi warga NU, karena ideologi “kanan” yang mereka usung berasal dari geneologi ideologi Wahabi yang suka mentakfirkan, bahkan menukil pendapat dari Ust. Idrus Ramli Wahabi menghalalkan darah orang yang bukan pengikutnya dangan kata lain Wahabi merupakan representasi dari kelompok Neo-Khawarij.</span></div><div class="yiv1608931966MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Yang menjadi gerakan Kaum Kanan saat ini untuk menggerogoti NU adalah pentakfiran terhadap Tradisi amaliah-amaliah Nahdliyah seperti Tahlilan, Ratibul Haddad, Shalawat Nariyah, Istighotsah. Menukil pendapat dari H. Mahrus Ali (Wahabiyin) mengatakan bahwa Tahlil, Shalawat Nariyah, Istighotsah adalah Syirik sehingga dia berani mengeluarkan buku Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik. Prof Ahmad Zahro Guru Besar IAIN Sunan Ampel yang pernah mengundang H. Mahrus Ali namun pada akhirnya dia tidak datang karena berbagai alasan mengungkapkan bahwa masalah-masalah seperti ini seharusnya tidak perlu diangkat lagi karena sesungguhnya permasalahan seperti ini sudah terselesaikan di abad pertengahan dulu, dan ulama mayoritas menyepakati tidak ada hal yang berbau syirik. Dari hal demikian karena kategori ini termasuk tawassul yang merupakan amalan para sahabat masa Nabi Muhammad. Memang sebenarnya bagi cendikiawan sekelas Beliau masalah ini bisa dikonter dengan mudah, yang menjadi permasalahan bagaimana kaum awam bila menghadapi hal yang demikian? Tentu saja mereka orang-orang NU yang awam setidaknya tergoyahkan aqidahnya atau bahkan ikut menganggap amaliah yang mereka kerjakan adalah Syirik.</span></div><div class="yiv1608931966MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Tidak cukup demikian, kelompok kanan juga menggerogoti kader-kader muda NU terutama yang sedang menimba ilmu di Universitas-universitas Umum. Sebut saja dengan tegas Kelompok ini adalah HTI atau kalau di Kampus mereka beralih nama menjadi Gerakan Mahasiswa (GEMA) Pembebasan. Kelompok yang menggembor-gemborkan Khilafah selalu mencari simpatisan dari warga NU karena “kampanye” yang mereka usung adalah penerapan syariah. Memang misi tersebut mulia namun sarat akan makna politik. Ini yang jarang diketahui, karena misi politis mereka tertutupi oleh Penerapan Syariah. Beberapa cara yang sering digunakan untuk menarik simpatisan dari warga NU adalah mereka sering “mencatut” tokoh-tokoh NU seperti KH Abdul Wahid Hasyim. Mereka mengatakan KH Wahid Hasyim merupakan Ulama NU yang setuju dengan Khilafah. Buktinya Beliau adalah orang yang sangat memperjuangkan Ideologi Negara Indonesia berbentuk Teokrasi, Beliau merupakan penggagas Piagam Jakarta yang didalamnya termuat kata-kata Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bila statement ini terlontar langsung pada Anda, lalu apa yang akan Anda jawab? Mungkin bagi mereka yang ke-NU-annya masih dhoif akan ikut pada kelompok HTI.</span></div><div class="yiv1608931966MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_132443576963493" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_132443576963490" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Sekilas memang benar pernyataan yang sampaikan oleh KH. Abdurrahman Navis. Selaku kader muda Nahdliyin kita tidak bisa tinggal diam gerakan masifisasi Ideologi keaswajaan sangat perlu dilakukan. Jangan hanya gerakan demonstrasi menentang radikalisasi, karena bagaimanapun bila kita melawan radikalisasi dengan demonstrasi mereka berusaha sepenuhnya untuk menggerogoti orang-orang kita. </span></div><div class="yiv1608931966MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
*Aktivis IPNU Surabaya dan Jatim, Pengurus Aswaja NU Center Jawa Timur PWNU Jatim.</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-47552296222196591562011-12-20T00:57:00.001-08:002011-12-20T00:57:23.154-08:00Pandangan Mujtahid terhadap Hadis<div id="yui_3_2_0_1_1324371375256144"><div class="yiv1371303318WordSection1" id="yui_3_2_0_1_1324371375256141"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Semua hukum-hukum Islam yang lima (wâjib, sunnah, makrûh, harâm, mubâh) bersumber dari al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, atau apa yang diistilahkan oleh ulama dengan Mashâdirut-Tasyrî‘ al-Islâmî (sumber-sumber hukum Islam).</span><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Sebenarnya, rujukan hukum Islam tidak hanya terbatas pada empat sumber di atas. Masih terdapat sumber lain yang dijadikan landasan dalam perumusan hukum oleh para mujtahid, seperti Qaulush-Shahabah (pendapat Shahabat), Ijmâ’u Ahli Madînah (Ijma’ penduduk Madinah), Istihsân, dan Ishtishhâb. Akan tetapi, yang disepakati sebagai Mashâdirut-Tasyrî’ al-Islami oleh segenap mujtahid –Maliki, Hanafi, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbali, hanyalah empat: al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Sedangkan sisanya masih diperselisihkan, semisal Ijma’ ahli Madinah yang hanya dibuat acuan hukum oleh mazhab Maliki, Ishtihshab oleh mazhab asy-Syafi’i, dan Istihsân oleh mazhab Hanafi.</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Ringkasnya, segenap hukum Islam itu bermuara pada Mashâdirut-Tasyrî’ al-Islami yang disebutkan di atas. Hanya saja, yang menjadi dasar utama dari hukum Islam adalah al-Qur’an dan Hadis, sebab keberadaan yang lainnya (Ijma’, Qiyas, dan seterusnya) sebagai Mashâdirut-Tasyrî’ al-Islami karena adanya legimitasi dari al-Qur’an. Maka dari itu, al-Qur’an dan Hadis merupkan acuan utama di dalam memutuskan hukum-hukum syar’i, baru selanjutnya beralih kepada Ijma’ dan Qiyas. Namun, Ijma’nya para mujtahid tetap harus berlandaskan kepada al-Qur’an atau Hadis, begitu pula dengan Qiyas. </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Al-Qur’an</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Al-Qur’an –sebagaimana yang telah maklum– adalah firman Allah Subhânahu wata‘âlaâ yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Sallallâhu ‘alaihi wasallam melalui perantara Malaikat Jibril ‘Alaihissalâm. Sebagian dari kandungan ayat al-Qur’an, kurang lebih sekitar 150 ayat, berisikan tatanan hukum taklîfi yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Di samping itu, terdapat pula beberapa ayat yang secara praktis menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan acuan utama di dalam menetapkan hukum Islam, di antaranya adalah firman Allah Subhânahu wata‘âlaâ (artinya) “Dan berpegang teguhlah kalian semua pada tali Allah (al-Qur’an) secara keseluruhan dan janganlah kalian terpecah belah) (QS Ali ‘Imran [03]: 103)</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Hadis</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sebagaimana penjelasan di atas, di antara Mashâdirut-Tasyrî’ al-Islami adalah Hadis Nabawi. Sedangkan definisi Hadis itu sendiri ialah sabda, perilaku, serta legalisasi Nabi Muhammad Sallallâhu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, ada sebagian kelompok yang mengingkari Hadis sebagai hujjah (Mashâdirut-Tasyrî’ al-Islami). Namun, pendapat ini telah lama terbantahkan melalui berbagai ayat al-Qur’an yang dengan tegas memberikan justifikasi posisi Hadis, di antaranya adalah ayat (artinya) “Dan adapun perkara yang di bawah oleh Rasul terhadap kalian maka ikutilah dan sesuatu yang dia larang maka hindarilah.” (QS al-Hasyr [59]: 7)</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Oleh karenanya, segenap ulama telah memposisikan Hadis sebagai acuan dasar setelah al-Qur’an. Hanya saja, tidak semua Hadis dapat dijadikan pijakan dalam memutuskan hukum. Seleksi Hadis –sebelum kemudian digunakan– terbilang sangat ketat. Sehingga, Hadis-hadis yang bernilai dha‘îf (Gharîb, Munqathi’, Mu’adhdhal, Mubham, Munkar, Syâdz, Mu’allal, Muththarrib, Matrûk, Mudallas) tidak dipakai oleh mujtahid dalam upaya penggalian hukum mereka. Para mujtahid hanya menggunakan Hadis shahîh dalam berijtihad.</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Namun, ada juga beberapa bentuk Hadis yang masih diperselisihkan untuk dapat dijadikan hujjah dalam upaya penggalian hukum Islam, yaitu Hadis Mursal dan Âhâd.</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Hadis-Hadis yang Diperselisihkan</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="margin-left: .25in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>A.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Hadis Mursal</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Ulama Ushul Fikih mendefinisikan Hadis Mursal sebagai Hadis yang perawinya tidak pernah berjumpa langsung dengan Nabi Sallallâhu ‘alaihi wasallam, namun ia meriwayatkan dengan berkata, “Nabi Sallallâhu ‘alaihi wasallam Bersabda”. Melalui definisi ini dapat dipahami bahwa dalam Hadis Mursal terdapat sahabat Nabi Sallallâhu ‘alaihi wasallam yang tidak disebut oleh rawi. Dengan kata lain, sanad Hadis tersebut terputus dengan mengugurkan sahabat atau tabi’in .</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Oleh karenanya, ulama berbeda pandangan mengenai Hadis Mursal ini. Menurut Imam Hanafi dan Imam Malik serta beberapa muhadditsîn, Hadis Mursalbisa dibuat hujjah secara mutlak. Bahkan menurut Imam Hanafi lebih kuat dari Hadis Musnad.1 Pendapat mereka ini berlandaskan Ijma’ sahabat yang telah banyak menerima Hadis dari Abdullah bin Abbas Radhiyallâhu ‘anhu, padahal Beliau sendiri jarang mendengar langsung dari Rasulullah Sallallâhu ‘alaihi wasallam. Dan juga berlandaskan pada Ijma’ tabi’in, sebab sudah menjadi tradisi di kalangan mereka me-mursal-kan sebuah Hadis.2</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sedangkan dalam pandangan Imam asy-Syafi’i, Hadis Mursal dapat dibuat hujjah asalkan memenuhi beberapa syarat berikut: </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">1. Diperkuat oleh Hadis lain, baik Mursal atau Musnad.</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">2. Diperkuat oleh perkataan sahabat dan ulama. </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">3. Râwi yang me-mursal-kan Hadis tersebut adalah pembesar tabi’in seperti Sa’îd bin Musayyib. </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Namun, menurut mayoritas ulama Hadis, semisal Imam Muslim3 mengklaim Hadis Mursal sebagai Hadis Dha’îf, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Perbedaan ulama dalam memandang Hadis Mursal ini sangat berpengaruh pada hasil rumusan hukum yang mereka gali, semisal fatwa Imam Hanafi mengenai tidak batalnya wudhû’ bila bersentuhan dengan lawan jenis melaui sebuah Hadis yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah, “Bahwasanya suatu ketika Rasul mencium sebagian istrinya lalu beliau shalat tanpa berwudu’ “ (HR Abu Daud). Tapi menurut Imam asy-Syafi’i, menyentuh perempuan tetap membatalkan wudhu’ karena Hadis Mursal tidak mencukupi syarat untuk dibuat hujjah.</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="margin-left: .25in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><span>B.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Hadis Âhâd</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Definisi Hadis Âhâd dalam istilah Ushuliyyin ialah, suatu Hadis yang diriwayatkan oleh beberapa râwi yang jumlahnya tidak sampai mencapai jumlah tawâtur, sehingga Hadis tersebut tidak memberikan dampak begitu kuat untuk sekedar diamalkan. Oleh karenanya para Mujtahid –Malik, asy-Syafi’i, Hanafi, dan Ahmad– masih berselisih pandangan mengenai Hadis Âhâd ini.</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Menurut Imam asy-Syafi’i dan Ahmad, Hadis Âhâd bisa dibuat hujjah secara mutlak, baik bertentangan dengan Qiyas atau tidak. Pandangan asy-Syafi’i dan Imam Ahmad berlandaskan Hadis Mu’adz bin Jabal ketika ditanya oleh Nabi, beliau menjawab akan mendahulukan Hadis daripada Qiyas, tanpa mentafshil apa itu Hadis Âhâdatau Mutawatir.</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Beda halnya dalam pandangan Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah, menurut mereka, Hadis Âhâd bisa dibuat hujjah dengan catatan Hadis Âhâd tersebut tidak bertentangan dengan Qiyas dengan berargumen bahwasanya Qiyas menjadi hujjah dengan Ijmâ’-nya para Shahabat dan Tabi’in, sedangkan Hadis Âhâd tidak bisa dijustifikasi keshahihannya.</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dari pebedaan para mujtahid dalam memandang Hadis Âhâd ini maka juga terjadi perbedaan di kalangan mereka di dalam mencetuskan hukum-hukum Furû‘.</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Semisal menurut Imam asy-Syafi’i, dalam akad jual beli diperbolehkan khiyâr di antara kedua belak pihak pembeli dan penjual dengan berlandaskan Hadis, “Ketika dua laki-laki mengadakan transaksi jual beli, maka mereka boleh khiyar selagi tidak berpisah.” (HR al-Bukhari) Namun menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, tidak ada khiyar dalam akad jual-beli, sebab mereka menganalogikan akad jual-beli dengan akadnikah, kitâbah serta akad-akad yang lain. sedangkan Hadis di atas menurut mereka tidak bisa dibuat hujjah karena merupakan Hadis Âhâd yang menyalahi pada Qiyas.** </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Ust. Achmad Zahrie Ms /LPSI </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Catatan akhir:</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">1. Syarh ‘Abd al-‘Aziz al-Bukhari ‘ala al-Bazdawi, Jilid 2, hal. 5</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_1324371375256138" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_1324371375256135" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">2. Muktashar Ibn Hajib Jilid 27, hal. 72</span></div><div class="yiv1371303318MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">3. Shahih Muslim, Jilid 6hal. 24</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-14766186401163099372011-12-18T03:54:00.000-08:002011-12-18T03:54:32.155-08:00Bubur Suro: Membaca Kembali Sejarah Islam<div id="yui_3_2_0_1_13241852324906340"><div class="yiv1514200961WordSection1" id="yui_3_2_0_1_13241852324906339"><br />
<div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Bagi sebagian masyarakat Islam di Nusantara bulan Muharram adalah bulan istimewa. Sebagai bulan pertama tahun hijriyah, Muharram menjadi ruang ruang muhasabah (intropeksi diri) akan amal masa lalu guna menjadi pedoman langkah masa depan. Muharram menjadi serambi sebuah rumah yang berisikan sebelas bulan lainnya. Oleh karena itu Muharram dipercaya memantulkan nuansa peribadatan seseorang dalam satu tahun ke depan. Seperti halnya serambi yang bagus biasaya dimiliki sebuah rumah yang mewah. Begitu pula bulan Muharram, amal yang shalih di bulan ini mencitrakan sebelas bulan lainnya. </span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Dengan demikian Muharram mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan bulan lainnya. Wajar saja jika umat muslim berbondong-bondong melakukan kebaikan dan sedekah pada bulan ini.Secara historis, bulan Muharram juga memiliki keistimewaan. Pada bulan inilah Nabi Muhammad saw. memutuskan berpindah dari Makkah menuju Madinah demi kesuksesan dakwah Islam. Bulan ini merupakan waktu yang berharga yang di dalamnya Rasulullah saw menemukan kunci keberhasilan dakwah Islam yaitu hijrah. Hijrah yang berarti ‘pindah’ tidak semata-mata mencari ruang yang sesuai untuk berdakwah, ruang yang lebih minim bahaya, ruang yang lebih kondusif. Tidak. Karena Rasulullah saw sendiri tidak pernah takut dengan berbagai ancaman kafir Makkah. Namun hijrah memiliki makna lain yaitu berpindah, merubah dan me-upgrade- semangat pada tataran yang lebih tinggi. Secara psikologis, suasana yang baru, kawan baru, tantangan baru akan menjadikan semangat diri dan jiwa seseorang lebih dinamis. Mengenai semangat hijrah ini Rasulullah saw sendiri dalam sebuah haditsnya pernah bersabda.</span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
</span><span lang="AR-SA" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;">عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كان هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَن كان هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ . </span><span dir="LTR" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 16.0pt;"></span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah ε bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan (amal) tergantun niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.</span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dalam asbabul wurud diceritakan ada seorang sahabat yang melaksanakan hijrah dari Makkah ke Madinah dengan niatan mengawini seorang perempuan bernama Ummu Qais. Karena niatnya itulah maka ia tidak mendapatkan keutamaan hijrah. Bahkan proses hijrah sahabat tersebut dijuluki dengan Hijratu Ummu Qais. Ini menunjukkan bahwa niat seseorang sangatlah penting. Niat bukanlah sekedar motifasi belaka, karena di dalam niat itu Allah titipkan sebuah pahala yang secara otomatis akan me-cover segala yang kita lakukan dalam sisi-Nya. Inilah yang membedakan bulan Muharram dengan lainnya. Muharram menjadi berbeda karena di dalamnya ada kejadian yang sangat berharga bagi Agama Islam yaitu Hijrah Rasulullah saw. </span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Selain itu Muharram menjadi berbeda karena hari ke-sepuluh dalam bulan ini dipadati dengan nilai yang sarat dengan sejarah, yang lebih dikenal dengan hari ‘asyura’ atau hari kesepuluh pada bulan Muharram. Karena pada hari ‘asyura’ itulah (seperti yang termaktub dalam I’anatut Thalibin) Allah untuk pertama kali menciptakan dunia, dan pada hari yang sama pula Allah akan mengakhiri kehidupan di dunia (qiyamat). </span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Pada hari ‘asyura’ pula Allah mencipta Lauh Mahfudh dan Qalam, menurunkan hujan untuk pertama kalinya, menurunkan rahmat di atas bumi. Dan pada hari ‘asyura’ itu Allah mengangkat Nabi Isa as. ke atas langit. Dan pada hari ‘asyura’ itulah Nabi Nuh as. turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang. Sesampainya di daratan Nabi Nuh as. bertanya kepada pada umatnya “masihkah ada bekal pelayaran yang tersisa untuk dimakan?” kemudian mereka menjawab “masih ya Nabi” Kemudian Nabi Nuh memerintahkan untuk mengaduk sisa-sisa makanan itu menjadi adonan bubur, dan disedekahkan ke semua orang. Karena itulah kita mengenal bubur suro. Yaitu bubur yang dibikin untuk menghormati hari ‘asyuro’ yang diterjemahkan dalam bahasa kita menjadi bubur untuk selametan.</span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Bubur suro merupakan pengejawentahan rasa syukur manusia atas keselamatan yang Selma ini diberikan oleh Allah swt. Namun dibalik itu bubur suro (jawa) selain simbol dari keselamatan juga pengabadian atas kemenangan Nabi Musa as, dan hancurnya bala Fir’aun yang terjadi pada hari ’asyuro juga. Oleh karena itu barang siapa berpuasa dihari ‘asyura’ seperti berpuasa selama satu tahun penuh, karena puasa di hari ‘asyura’ seperti puasanya para Nabi. Intinya hari ‘syura’ adalah hari istimewa. Banyak keistimewaan yang diberikan oleh Allah pada hari ini diantaranya adalah pelipat gandaan pahala bagi yang melaksanakan ibadah pada hari itu. Hari ini adalah hari kasih sayang, dianjurkan oleh semua muslim untuk melaksanakan kebaikan, menambah pundi-pundi pahala dengan bersilaturrahim, beribadah, dan banyak sedekah terutama bersedekah kepada anak yatim-piatu.<span dir="RTL" lang="AR-SA"></span></span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Bagi kelompok syi’ah hari kesepuluh bulan Muharram sangatlah penting. Karena pada hari inilah tepatnya tahun 61 H Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib sang Cucu Rasulullah saw terbunuh oleh Yazid bin Muawiyah. Pembunuhan ini lebih tepat bila disebut dengan pembantaian karena tidak seimbangnya dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Pembantaian ini terjadi di padang Karbala ketika dalam perjalanan menuju Irak.</span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Tentunya berbagai kejadian sejarah tersebut mulai dari sejarah transcendental yang berhubungan langsung proses penciptaan hujan oleh Allah swt hingga hijrah Rasulullah saw dan terbunuhnya Husain cucu Rasulullah saw. tidak boleh terhapus dari memori kolektif maupun individu generasi Muslim. Kejadian-kejadian dalam sejarah ini harus selalu dipupuk dengan subur sebagai salah satu media pendidikan kepahlawanan dalam Islam. </span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Berbagai metode peawatan sejarah ini terejawantahkan dalam berbagai tradisi kolaitas. Di Jawa misalnya kita mengenal bubur abang dan bubur putih yang dibagikan dan disajikan pada hari ‘asyura tidak lain untuk merawat ingatan sejarah tersebut secara perlambang. Bubur putih bermakna rasa syukur akan panjngnya umur hingga mendapatkan tahun baru kembali, semoga kehidupan tambah makmur. Seperti rasa syukunya Nabi Nuh setelah berlayar dari banjir bandang, seperti syukurnya Nabi Musa setelah mengalahkan Fir’aun. Disamping itu Bubur Putih merupakan lambing kebenaran dan kesucian hati yang selalu menang dalam catatan sejarah yang panjang. Meskipun kemenangan itu tidak selamanya identik dengan kekuasaan, seperti Sayyidina Husain sebagai kelompok putihan yang ditumpas oleh Yazid bin Muawiyyah sang penguasa laknat. </span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_13241852324906338" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_13241852324906337" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Sedangkan Bubur Abang (bubur merah) adalah pembanding yang selalu hadir dalam kehidupan di dunia berpasang-pasangan. Ada indah ada buruk, ada kebaikan ada kejahatan. Semoga semua hal-hal buruk itu senantiasa dijauhkan oleh Allah dari kita amien. Jadi bubur suro ini yang berwarna merah dan putih merupakan representasi dari rasa syukur yang mendalam. Atas segala karunia Allah swt. Dan yang lebih penting dari itu semua, Bubur Suro merupakan wahana untuk merawat ingatan akan adanya sejarah besar dalam Islam. []</span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv1514200961MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Sumber: NU Online</span></div></div></div>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-66537452128614903822011-12-17T03:54:00.001-08:002011-12-17T03:54:45.112-08:00Di Bawah Bendera Islam Indonesia; Mengabdi untuk Peradaban Dunia<div id="yui_3_2_0_1_13240954878318353"><div class="yiv114018593WordSection1" id="yui_3_2_0_1_13240954878318352"><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><b><span style="color: blue; font-family: "sans-serif"; font-size: 12.0pt;"></span></b></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Oleh: Dinno Munfaidzin Imamah*</span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"> </span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;">Gerakan radikalisme agama yang menyulut api militansi, sihir sektarianisme, aksi kekerasan dan terorisme bukan sekedar masalah ideologis, tetapi merupakan gejala modern yang memiliki kompleksitas. Berhubungan dengan sejarah, dinamika politik, pergeseran geostrategis, serta problem sosial-ekonomi dan politik akibat modernisasi. Sebagai gerakan politik yang dibangun di atas pandangan agama, tidak saja berkaitan dengan cita-cita ideologi, tapi juga dengan masalah utama yaitu tindakan rezim yang berkuasa, gagal mengelola pusaran arus globalisasi. Rasa kacau mendorong individu yang tidak beruntung dalam percaturan ekonomi politik bergerak ke titik radikal ekstrim yaitu krisis identitas, berperang atas nama Tuhan. Bahkan mengaku-aku sebagai Sang Tuhan. </span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Mainstream masyarakat Barat menganggap bahwa Islam garis radikal identik dengan aksi teror, yaitu penggunaan kekerasan untuk melawan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politik dan power struggle. Gejala itu dipicu oleh sosio-historis umat Islam dan juga konstelasi internasional, dimana isu terorisme mencuat di saat pasca Perang Dingin. Aksi teroris telah memberikan sinyal bahwa selama ini agama masih dijadikan alat kekuasaan dan politisasi, faktor disintegrasi, alat provokasi kerusuhan, dan pemicu konflik horizontal. Bagi bangsa Indonesia, munculnya radikalisme dan terorisme telah menjadi ancaman nyata, bahkan menjadi ancaman bagi demokrasi dan masyarakat sipil (civil society). </span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dari Islamisme ke Radikalisme: Sosio-Historis dan Politik Global</span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Islam is solution adalah slogan yang bergema lantang dari kaum radikal agama di Republik ini. Semakin berkibar dan berkembang saat jatuhnya Pemerintahan Soeharto terutama pasca tragedi 11 September. Gerakan Islam radikal kemudian mendapatkan image sebagai teroris. Kaum radikal Islam atau mereka yang menolak negara selain berdasarkan Islam, dalam dasawarsa ini tumbuh seperti jamur. Sebagaian memasuki kancah politik melalui jalur parlemen, sebagaian lain melalui jalur sosial keagamaan sedangkan lainnya melalui aksi-aksi kekerasan dan aksi-aksi semi kekerasan. Berbeda dengan periode 90-an ke bawah, kelompok radikal Islam ini telah mendapatkan dukungan dari gerakan Islamisme yang berjaring internasional. Tentu saja hal itu mengundang kelompok-kelompok radikal agama lainnya untuk melakukan tindakan yang bersifat radikal pula sehingga menganggu iklim toleransi sosial yang diperlukan masyarakat demokratis. Situasi seperti ini dapat menjadikan kelompok mayoritas yang berpandangan moderat di dalam Islam maupun non Islam menjadi sandera kaum radikal.</span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Ekspansi globalisasi memang telah membawa pengaruh yang sangat kompleks terhadap pembangunan demokrasi yakni mendunianya kekuatan-kekuatan politik radikal yang melandaskan diri pada ideologi politik yang anti nation-state, dengan jaringan yang bersifat global pula. Kaum radikal agama ini telah berkembang luas di Indonesia dan dalam perjuangannya justru memanfaatkan momen demokratisasi yang sedang berlangsung. Kelompok-kelompok ini jelas berpotensi menikam demokrasi dari belakang, bahkan terhadap negara kebangsaan Indonesia.</span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dalam membaca gerakan radikal pasca reformasi memang cukup bervariasi, perlu dikenali masing-masing. Pertama, gerakan radikal yang dimotori oleh kelompok yang memiliki ikatan historis dengan DI/NII. DI/NII tetap eksis setelah tertangkapnya Kartosoewiryo dan kemudian bergerak di bawah tanah (clandesteine) yang terpecah-pecah dalam berbagai faksi; struktural dan non-struktural. Kedua, gerakan Islam radikal yang muncul akibat perilaku political pressure atau tertindas dari rezim Soeharto. Umumnya mereka membangun basis di pesantren-pesantren baru tertentu yang berafiliasi dengan kelompok fundamentalisme Timur Tengah atau pernah mengenyam pendidikan di sana dan memiliki temperamen keras Arab, yaitu ofensif, dan juga terinspirasi oleh gerakan Islam garis keras Timur Tengah seperti Ikhwanul Muslimun di Mesir (1906-1949), Jama’at Al Islami di Pakistan (1903-1978), Hizbut Tahrir di Yordania. Ikhwanul Muslimun di bawah pimpinan Hasan al-Banna, dilanjutkan Sayyid Qutb dengan Magnum opus-nya, Ma’alim fi’l Tharig telah mengilhami sepak terjang kelompok-kelompok Islamis lainnya, Hamas di Palestina, Hizbullah di Lebanon, FIS (Front Islamique du Salut) di Al-Jazair dan gerakan Islam fundamentalis lainnya yang terinspirasikan oleh gerakan Wahhabi garis keras di akhir abad ke-19 antara lain Jihad Islam, Salafi Jihadi dan Jama’ah al Takfir yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan Presiden Anwar Sadat. Ketiga, gerakan Islam radikal yang muncul di kampus-kampus. Seperti yang terjadi pada tahun 90-an Al Jamaah Al Islamiyah di Mesir, yang semula hanya kelompok-kelompok mahasiswa aktifis kampus yang sangat peka pada persoalan politik, berubah menjadi front yang menghimpun para ekstrimis bawah tanah. </span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Doktrin Jihad menjadi simbol dan metode perlawanan dalam memperjuangkan Islam yang kaffah (totalistik) dan menegakkan syari’at Islam sebagai hukum negara dan Islam sebagai dasar hubungan integralistik, sehingga cita-citanya adalah membangun negara Islam dan Khilafah Islamiyah. Jihad merupakan pilihan paling jitu untuk menghadapi tembok McWorld yang terus menerus memamerkan dominasi, tanpa peduli pada persoalan yang membayangi persoalan mereka. Simbol Jihad adalah identitas dan konser martabat mereka di ruang publik. Praktek keagamaannya cenderung puritan dan menentang liberalisasi Islam, sehingga mereka sangat memusuhi apa pun yang bersifat sekuler dari Barat, khususnya AS. Bagi kaum radikal, kemewahan Barat seperti hotel-hotel pencakar langit, tempat dansa-dansi, café, restoran, klub malam, dunia gemerlapan perjudian dan pelacuran bukan hanya simbol kapital, tapi simbol setan, yang harus dihancurkan. Kemunculannya sebagai ekspresi amarah, frustasi dan respon terhadap tatanan arus deras modernitas. Inilah ‘pilihan rasional’ bagi nasib mereka di muka bumi yang tanpa harapan, tanpa masa depan, dan penuh ketidakpastian. </span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pola radikalisme teroris dan kekerasan yang menjalar-jalar dalam gerakan Islam radikal di Republik ini merupakan pergumulan dengan kelompok garis keras dan militan muslim di Pakistan dan Afganistan. Gesekan-gesekan strategis dan taktis telah teramu dan teruji dengan baik. Yang awalnya hanya bersifat ideologis, telah memiliki kemampuan militer dan logistik berkat pelatihan di Pakistan, Afganistan, dan di Moro Philipina. Kemudian dikembangkan konspirasi adanya jaringan kelompok Islam garis keras di Indonesia dengan kelompok Islam radikal Internasional yang melakukan berbagai aksi teroris. Pertengahan 1990-an, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir yang terlibat dalam mobilisasi jihadis untuk berperang di Afganistan dan menjalin kontak dengan Osama bin Ladin mendirikan Al Jamaah Al Islamiyah (JI), dan Al-Qaeda disampingnya, yang menjadi tulang punggung Front Jihad Dunia Islam (World Islamic Front for Jihad). Bahkan sejumlah unsurnya dipercayai bertanggung jawab terhadap serangkaian aksi pengeboman di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir. Mengancam dan berpotensi membuat keragaman dan pluralisme negara bangsa menjadi sempal. Atas dasar ini, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) memutuskan menambah daftar organisasi-organisasi yang dinyatakan sebagai organisasi teroris dengan mencantumkan Al Jamaah Al Islamiyyah di dalamnya.</span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Respon Islam Indonesia; Memutus mata rantai radikalisme </span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Saat ini Dunia Barat merasa perlu memahami Islam di Indonesia atau juga di sebut Islam Indonesia. Di tegaskan bahwa kelompok-kelompok radikal Islam di Indonesia merupakan minoritas yang sangat kecil. Sesungguhnya Indonesia sebagai model dari negara yang terorismenya tak bisa tumbuh subur. Sebab, Indonesia merupakan negara yang mayoritas berpenduduk muslim, mempraktekkan toleransi beragama, berbasis multikultur dan demokrasi. Indonesia sebagai sebuah negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di muka bumi, terbanyak di Dunia Islam, karena sekitar 88,2 persen dari total 235 juta penduduk Indonesia beragama Islam. Realita bahwa Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir merupakan negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan AS juga kian memperkuat dorongan berbagai kalangan untuk lebih memahami Islam di negara ini. Secara geografis, Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau sehingga suatu aksi terror atau konflik di satu wilayah tidak bisa digeneralisir dan bahkan tidak berpengaruh bagi wilayah lainnya. Indonesia adalah model untuk dunia, seharusnya Islam dipraktekkan. Islam Indonesia tetap merupakan Islam yang toleran dan damai. Berperan besar dalam penguatan demokrasi secara global dan peradaban dunia yang damai. </span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Lima puluh satu tahun yang silam, tepatnya pada tanggal 17 April 1960, para kaum muda Nahdlatul Ulama (NU) berkumpul di Surabaya memperbincangkan arah gerakan kader-kader NU di tingkatan kaum muda mahasiswa. Hari itu pula didirikanlah suatu wadah gerakan kaum muda NU yang hari ini kita kenal dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ada 4 prinsip Aswaja yang menjadi landasan gerak PMII yaitu tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan ta’addul (adil). Selama setengah abad PMII telah banyak memberi kontribusi besar terhadap bangsa, negara, dan agama. PMII sudah melahirkan banyak pemimpin, cendekiawan, akademisi, peneliti, dan sebagainya. Mereka menyebar di seantero jagad Indonesia. Keberadaan PMII menjadi tonggak penting dalam menentukan sinar peradaban Islam Indonesia. Kehadiran PMII yang lahir dari rahim NU memiliki perspektif yang berbeda mengenai keislaman, kebangsaan, dan persatuan.</span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) termasuk dalam kelompok besar umat Islam yang disebut sebagai ummatun washatan. Seringkali di identikkan dengan Islam washatiyah, yakni umat Islam yang berada di tengah, seimbang, tidak berdiri pada dua kutub ekstrem, baik dalam pemahaman dan praktek Islam. Harus diakui dalam arus globalisasi saat ini, positioning PMII dengan gagasan ummatun washatan atau washatiyah kembali menemukan momentumnya setelah peristiwa 9/11, ketika kaum muslimin dan Islam menjadi “terdakwa” dalam aksi-aksi kekerasan dan terorisme yang dilakukan individu dan kelompok muslim tertentu. Padahal dengan jelas, Islam mengecam kekerasan, apalagi terorisme, dan jika pelaku kekerasan dan terorisme itu adalah muslim, maka itu tidak bisa diidentikkan dengan Islam dan muslim secara keseluruhan. Inilah urgensi mendesak untuk memberi penjelasan kepada publik internasional tentang Islam dan kaum muslimin sebagai entitas washatiyyah yang menjalankan Islam washatiyyah.</span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Dalam pandangan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), aktualisasi ummatan washatan di Indonesia bermula sejak awal penyebaran Islam, yang di lakukan oleh Wali Songo. Dakwah penyebaran agama Islam paling tersukses di bumi Nusantara. Bahkan pada akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13 dalam karya klasiknya Thomas Walker Arnold, The Preaching of Islam, di sebut sebagai penetration pacifique. Dalam penyebaran Islam berlangsung secara damai, dan memang sulit dielakkan terjadinya percampuran antara Islam dengan kepercayaan kapitayan dan praktek keagamaan serta budaya lokal. Akan tetapi, gelombang pemurnian dan pembaruan Islam terus berlangsung sejak abad ke-17 yang pada satu segi mengorientasikan Islam di kawasan ini ke arah skripturalisme, tetapi pada saat yang sama juga berlangsung proses pribumisasi Islam dengan realitas lokal di Indonesia. Inilah fakta sejarah keagamaan Nusantara berada pada suatu kontinum persilangan budaya. Wajah keagamaan di Indonesia menemui kematangannya justru karena telah bersalin rupa dalam paras Nusantara</span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Perjalanan Islam Indonesia adalah wujud kematangan dan kedewasaan Islam universal. Secara empiris, ia terbukti bisa bertahan dalam sekian banyak kebudayaan non-Arab. Ia bahkan ikut menciptakan ruang-ruang kebudayaan yang sampai hari ini ikut dihuni oleh mereka yang non-Muslim sekalipun. Kematangan Islam Indonesia memungkinkannya menyumbang begitu banyak khazanah budaya justru karena dilandasi keyakinan keagamaan yang utuh. PMII menyebutnya sebagai semangat keragaman (ruh al-ta’addudiyyah), semangat keagamaan (ruh al-tadayyun), semangat nasionalisme (ruh al-wathaniyyah), dan semangat kemanusiaan (ruh al-insaniyyah). Inilah yang dalam sejarah panjang Nahdlatul Ulama menjadi garis kesadaran sejarah yang bisa dengan jelas dilihat dalam kiprah NU dan PMII mengawal sejarah panjang NKRI. Garis perjuangan NU dan PMII ini terus tersambung hingga hari ini. </span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pergerakan penting kalangan Islam Indonesia terlihat dalam watak negara Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Para pendiri (founding fathers) dari kalangan nasionalis dan Islam akhirnya bersepakat menjadikan Indonesia bukan sebagai negara sekuler, dan bukan sebagai negara agama berdasarkan Islam. Washatiyyah ini terpatri dalam Pancasila sebagai kalimatun sawa, prinsip-prinsip yang sama atau common platform di antara anak bangsa yang plural, majemuk dalam berbagai aspek kehidupan, Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.</span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Pada ranah kemasyarakatan, Islam washatiyyah terwujud dalam berbagai organsisasi besar Islam yang umumnya berdiri jauh sebelum kemerdekaan RI. Mulai dari NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, Al Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar, PUI, Persis, Nahdlatul Wathan, dan banyak lagi. Dalam konteks ini posisi kalangan pemuda PMII sebagai anak kandung organisasi terbesar Islam se-dunia yaitu NU, mengambil ‘jalan tengah’ bukan hanya dalam hal pemahaman dan praksis keagamaan, tetapi juga dalam sikap budaya, sosial dan politik, dimanapun dan kapan pun.</span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Sekali lagi, sejak periode pasca-Soeharto, Indonesia semakin dikenal dunia internasional tidak sekedar negara muslim terbesar, tetapi juga sebagai negara demokrasi ketiga setelah India dan AS. Dengan posisi dan status ini, tidak heran banyak kalangan di Dunia Barat dan Dunia Islam berharap Indonesia dapat memainkan peran lebih besar di tingkat internasional. Peran yang diharapkan itu antara lain menyebarkan Islam washatiyyah, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, yang diidentikkan dengan Islam moderat dan sekaligus memberdayakan demokrasi di Dunia Muslim. Konsolidasi dan pemberdayaan Islam washatiyyah di Indonesia menyangkut penguatan sikap inklusif, dan rekonsiliatif dalam menghadapi gejala keagamaan yang muncul di kalangan umat Islam sendiri, yang tidak selalu menguntungkan. Hal ini terutama benar ketika terlihat kecenderungan menguatnya pemahaman ke-Islaman yang ‘hitam-putih’, literal, bahkan keras. </span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Islam Indonesia memahami makna pemahaman interpretatif aksi-aksi kekerasan atas nama Jihad, memungkinkan menyusun langkah strategis, terpadu, dan komprehensif untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme yang mengancam benteng utama NKRI. Di samping menggunakan pendekatan ideologis dan menggulirkan program-program deradikalisme masyarakat sipil di level kampus-kampus, pesantren dan pemuda-pemuda sebagai tulang punggung. Memperkuat pengkaderan kembali tentang semangat Repubik di kalangan pemuda dan mahasiswa yang berarti memperkuat ikatan emosi dengan pemikiran-pemikiran dan atribut-atribut pada saat terbentuknya NKRI seperti cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Konsensus Nasional Sumpah Pemuda dan Pembukaan UUD 1945. </span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Ikhtiar mengikis habis pengaruh radikalisme dan terorisme juga harus dilakukan melalui pendekatan ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Program-program pemberdayaan dan pendampingan sosial-ekonomi berskala luas perlu dikembangkan terhadap mereka yang pernah terlibat dalam aksi-aksi teror dan yang bersentuhan dengan ideologi radikal serta berpotensi terkena pengaruhnya, terutama kaum muda. Program-program tersebut bermuara pada peningkatan keterampilan kerja, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, khususnya mereka yang terkena dampak radikalisme. Keberhasilan ‘memanusiakan’ mereka yang frustasi dengan keadaan sosial ekonomi politik dan ikhtiar menyalurkan rasa kacau itu melalui aksi-aksi radikal dan terror di ruang publik Indonesia menjadi salah satu prasyarat bagi keberhasilan kampanye antiradikalisme dan terorisme. Pendekatan-pendekatan ini berada pada matra protect dan prevent, sebagai bagian terpadu dari counter terrorism strategy yang juga melibatkan taktik respond and pursue.</span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Posisi Islam Indonesia juga perlu menguatkan jaringan (networks) baik pada level nasional, regional maupun internasional menjadi kebutuhan prioritas. Penguatan jaringan tersebut berarti memfasilitasi proses yang memungkinkan Islam ‘jalan tengah’ Indonesia dapat memiliki jaringan terpadu secara internal, dan pada saat yang sama mempunyai hubungan dengan organisasi kelompok-kelompok civil society dan lembaga swadaya masyarakat di Dunia Muslim maupun lingkungan yang lebih luas. Dengan demikian Islam washatiyyah di Republik ini dapat menjadi sebuah gerakan yang memiliki dimensi internasional. Peluang Islam Indonesia untuk memainkan peran lebih besar pada kancah internasional tampak kian terbuka, sekaligus memberi kontribusi bagi peradaban dunia yang damai. Di tengah konflik bersenjata yang melibatkan kaum muslimin, yang telah menewaskan jutaan manusia, Islam Indonesia dapat menjadi kekuatan “penengah dan pendamai” (mediating dan bridging) di antara berbagai pihak yang terlibat konflik. Menjadi “jembatan” ketegangan di antara Barat dan Dunia Islam. Dalam batas tertentu, ketegangan itu kian meruncing dengan menguatnya sikap anti-imigran Muslim dan anti Islam di kalangan sayap kanan di Eropa dan Amerika Utara. </span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
Eksistensi Islam Indonesia memiliki jejak tradisi mulia, warisan luhur, dan potensi untuk memberi kontribusi lebih besar kepada penguatan demokrasi secara global, khususnya di Dunia Muslim, dan sekaligus juga pada peradaban global menghadang arus dahsyat radikalisme, terorisme dan fundamentalisme religius ekstrim. Islam Indonesia tidak terbebani ironi sejarah seperti yang dialami masyarakat muslim di Timur Tengah. Karena itu, Islam Indonesia bisa lebih fokus dalam membangun Islam Indonesia yang dapat dijadikan model masyarakat muslim lain dalam mewujudkan kehidupan lokal, regional dan internasional yang lebih baik pada hari ini dan masa depan. </span></div><div class="yiv114018593MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_13240954878318351" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span id="yui_3_2_0_1_13240954878318350" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"><br />
* Ketua Jaringan Alumni PB PMII – Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia & Mahasiswa Studi Ilmu Politik FISIP-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10.0pt;"></span></div></div></div><span class="btn left right"></span><span class="btn left"></span><span class="btn right menu" data-action="menu" id="btn-reply"></span><span class="btn left"></span>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8916261276395838258.post-90710358464793965192011-12-15T01:20:00.000-08:002011-12-15T01:20:28.181-08:00Pergulatan Intelektual Al Ghozali<div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><b><span lang="IN" style="color: blue; font-family: "sans-serif"; font-size: 12pt;"></span></b></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" id="yui_3_2_0_1_1323940632804138" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Oleh: </span><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Jamaluddin Mohammad</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Jika kita mau menengok kembali perjalanan sejarah umat manusia, kita akan mendapati banyak sekali pergolakan, pertentangan, dan perebutan (atas nama) “kebenaran”. Kebenaran seolah-olah tidak cukup hanya untuk dipeluk dan diyakini, melainkan harus dipertaruhkan, dikukuhkan, dikontestasikan, dan selanjutnya dijadikan alat kekuasaan.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Sehingga seringkali “atas nama” kebenaran segalanya harus dibayar dengan darah, nyawa, bahkan tidak jarang berakhir dengan perang terbuka. Al-Hallaj, seorang sufi dari Persia, harus rela mati di tiang gantungan hanya untuk mempertahankan doktrin hulul (bersemayamnya <i>lahut</i> di dalam <i>nasut</i>). Syekh Siti Jenar diadili dan dieksekusi mati Wali Songo gara-gara mengajarkan doktrin wihdat al-wujud (manunggaling kaula ing gusti) yang dianggap “sesat” dan “menyesatkan”.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Ini adalah fakta sejarah betapa “kebenaran” bisa tampil dalam berbagai warna dan bentuk. Bergantung pada siapa dan demi kepentingan apa ia (di)hadir(kan). Pada kenyataannya, kebenaran tidaklah bebas dari kepentingan dan kekuasaan. Ia akan selamanya dipertaruhkan dan diperebutkan umat manusia. Pertaruhan dan perebutan itu tidak selamanya terjadi dalam medan terbuka. Terkadang ia muncul dan bergolak dalam ruang batin atau psikologi seseorang.</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Salah satunya pernah dialami Imam al-Ghazali. Beliau pernah menderita semacam“gejolak kejiwaan” pada saat beliau mencoba menelusuri “hakikat kebenaran” (hakikah al-umur) dan “kebenaran sejati” (al-ilm al-yaqin). Dalam pencariannya itu al-Ghazali mempelajari, mengkaji dan memverifikasi segenap ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu, seperti ilmu kalam (teologi), fiqh, filsafat, dan tasawuf, berikut cabang-cabangnya.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Pengalaman eksistensial al-Ghazali dalam mencari dan mnyusuri “kebenaran” terekam jelas di dalam kitabnya“al-Munqidz min al-Dhalal”. Dari awal-awal tulisannya itu, kita sudah bisa mencium aroma kegelisahan al-Ghazali. Yang pasti, kata al-Ghazali, kebenaran harus dicari, dan terus dicari sampai dalam waktu yang tak berbatas. Kebenaran sejati tidak tersaji dalam tulisan, ucapan atau pendapat orang. Kebenaran bersifat pribadi (subjektif), sehingga harus didekati secara pribadi pula.</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Sekilas tentang al-Ghazali</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali lahir di Thus, salah satu daerah di Khurosan, Iran pada 450 H/1058 M. Sejak kecil ia belajar ilmu fiqh pada Imam Ahmad bin Muhammad al-Radzikani, kemudian pindah ke Jurjan untuk nyantri pada Imam Abi Nasr al-Isma’ily.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Setelah itu, al-Ghazali pindah ke Naisabur, belajar pada Imam Haramain al-Juwaini. Di sini ia mulai mengenal tasawuf dan filsafat. Setelah Juwaini tutup usia pada 477, tujuh tahun berikutnya al-Ghazali pergi ke Irak, mengajar di Madrasah Nidzamiyyah. Di madrasah milik Wazir Nidzam al-Mulk (1018-1018 M) inilah popularitas dan kapasitas keilmuan al-Ghazali mulai diperhitungkan banyak orang. (Ihya, juz 1/3)</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Karir intelektual al-Ghazali semakin menunjukkan kematangannya setelah ia banyak menulis tentang fiqh, teologi, filsafat dan tasawuf. Ia tergolong ulama yang sangat produktif. Menurut Ibnu Qadli Syuhbah al-Dimsyiqi, pengarang kitab “Thabaqat al-syafiiyyah”, ada sekitar 60 kitab yang ditulis al-Ghazali. Sementara Imam Zubaidi menyebut ada sekitar 80 kitab dan risalah yang dikarang al-Ghazali.</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Ketika usianya mulai beranjak senja, Al-Ghazali pulang ke tanah kelahirannya, sampai beliau wafat pada 505 H/1111 M.</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Pintu kegelisahan al-Ghazali</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Kitab al-Munqiz min al-Dhalal merekam jelas kegelisahan al-Ghazali selama pengembaraan intelektualnya. Dalam kitab ini, al-Ghazali menceritakan dengan jujur bahwa proses pencarian “kebenaran” tidaklah semudah apa yang dibayangkan orang. Ia butuh pengorbanan, keberanian, kejujuran serta kesungguhan.</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Sedari kecil al-Ghazali selalu gelisah dan sering mempertanyakan segala sesuatu. Sampai-sampai ia harus melepaskan segenap belenggu taklid (budaya mem-bebek) dan meremukkan benteng keyakinan (aqidah) yang ia terima sejak kecil. (hal. 25)</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Kesadaran seperti ini timbul setelah ia sama sekali tidak melihat perubahan apa-apa pada anak-anak orang Nasrani maupun Yahudi. Mereka akan selamanya tumbuh menjadi Nasrani maupun Yahudi, dan seterusnya. Sebagaimana yang disetir oleh hadits Nabi SAW: “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah (Bapak) yang telah menjadikan ia Yahudi, Nasrani dan Majusi”.</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Oleh karena itu, tergerak dalam hati al-Ghazali untuk melakukan lompatan-lompatan dan pilihan-pilihan sendiri; berdasarkan pencarian dan upaya pribadi. Al-Ghazali pernah menceburkan diri menjadi pengikut batiniyyah (salah satu sekte syiah paling ektrem dan radikal), menjadi seorang teolog (mutakallimun), mempelajari segenap ilmu-ilmu filsafat, dan pada akhirnya kepincut dengan tasawuf. (hal. 25)</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Epistemologi al-Ghazali</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Sebelum kita menelisik lebih jauh isi kitab al-Munqidz min al-Dhalal, alangkah baiknya kita paparkan terlebih dahulu epistemologi al-Ghazali. Ini penting, sebab epistemologi ibarat pintu masuk untuk mengetahui paradigma berpikir (gugusan pemikiran) seseorang. Dengan menyusuri epistemologi seseorang, kita akan lebih mudah membaca alur pikir atau sistematika pemikiran orang dari awal sampai akhir.</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Epistemologi berasal dari kata episteme (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos (informasi). Secara sederhana epistemologi berarti “teori pengetahuan”atau “pengetahuan tentang pengetahuan”. (Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal.. 212)</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Epistemologi melahirkan beragam metode dan pendekatan. Yang paling masyhur adalah empirisme dan rasionalisme. Selain kedua pendekatan itu, dalam filsafat Islam ditambahkan lagi dengan pendekatan intuitif (irfani). Yang terakhir inilah yang digunakan oleh al-Ghazali.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Seperti yang dituturkan sendiri oleh al-Ghazali, pada awalnya ia mendasarkan pengetahuannya pada empirisme (hissiyyat). Ia sebetulnya ragu dengan metode ini: apakah dengan bersandarkan pada empirisme ia akan memperoleh keyakinan? Dari sini al-Ghazali mulai melakukan pengujian. (hal. 27)</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Pertama-tama ia menguji validitas data-data indrawai (data-data empirikal). Semisal, data yang diterima mata. Mata kita seringkali melihat bintang-bintang di atas langit. Menurut penglihatan kita, bintang-bintang itu terlihat kecil, sekecil uang logam. Tetapi, berdasarkan ilmu geometri, ternyata bintang-bintang itu jauh lebih besar dibanding bumi.</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Ternyata, pada faktanya, data-data yang diterima oleh indera sering kali menipu, bertolak belakang dengan fakta sesungguhnya, sebagaimana pada contoh di atas. Dari sini al-Ghazali berpindah pada pendekatan rasionalisme. Menurut penganut rasionalisme, satu-satunya pengetahuan yang absah dan dapat dipercaya adalah pengetahuan yang dihasilkan akal (rasional).</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Contohnya, bilangan 10 pasti lebih besar dari bilangan 3. Ada dan tiada tidak mungkin bertemu dalam satu waktu, begitu juga qadim (lampau/kekal) dan hadits (baru) tidak mungkin dilekatkan pada sesuatu dalam waktu bersamaan, dan seterusnya. Ini adalah contoh-contoh pengetahuan yang didapatkan oleh akal. Bukankan pengetahuan rasional lebih diterima daripada pengetahuan empiris?</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Namun, penganut empirisme pasti akan menyangkal lagi dan mencoba memberikan keyakinan: berdasarkan alasan apa sehingga kita merasa yakin bahwa akal lebih valid dibanding pengalaman? Bukankan apa-apa yang kita cerap dari indera jauh lebih riil dan nyata dibanding pengetahuan akal yang masih bersifat abstrak?</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Empirisme dan rasionalisme selamanya akan berperang dan saling menyalahkan. Keduanya tidak dapat bertemu dan dipertemukan. Nah, pada saat terjadi kebuntuan antara pilihan rasional dan empirikal, al-Ghazali justeru berpaling dari keduanya dan menaruh kepercayaan pada pengetahuan intuitif (mukasyafah). Menurut al-Ghazali, dengan pengetahuan intuitif seseorang akan sampai kepada “kebenaran sejati”.</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Untuk meyakinkan bahwa pengetahuan intuitif benar-benar ada al-Ghazali mengilustrasikan dengan pengalaman mimpi. Ketika kita bermimpi, kata al-Ghazali, kita betul-betul merasakan, meyakini, dan mengimajinasikan sebuah kenyataan (kejadian) diluar kenyataan indrawi.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Namun, begitu kita terjaga, pengalaman mimpi itu lenyap begitu saja, tanpa kita jumpai lagi dalam alam sadar. Dengan kata lain, pengalaman-pengalaman bawah sadar /ketidaksadaran itu tidak berkorespondensi (berkesesuaian) dengan akal maupun pengalaman indrawi. Kendatipun demikian, mimpi itu riil dan keberadaannya sulit dibantah.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Ini juga sebetulnya sering dialami oleh kita, baik dalam keadaan sadar sekalipun. Coba bayangkan, apakah Anda yakin bahwa apapun yang Anda lakukan saat ini memiliki landasan rasional maupun empirikal? Semisal, ketika Anda duduk dan membaca, apakah Anda betul-betul sedang duduk dan membaca? Bisa jadi Anda sebetulnya sedang bermimpi, menggigau, atau dalam keadaan terjaga tetapi pikiran Anda melayang kemana-mana sehingga Anda sendiri tidak tahu apa sebetulnya yang Anda kerjakan saat ini?</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Berangkat dari pendekatan intuitif inilah al-Ghazali membangun segenap gagasan dan pemikirannya. Sehingga, tak pelak lagi, al-Ghazali membombardir teologi, penganut aliran Batiniyyah, filsafat. Karena kesemuanya bersendikan pada rasionalisme atau empirisme. Nah, di dalam kitabnya ini (al-Munqidz min al-Dhalal) al-Ghazali mengkritik habis-habisan Teologi, Madzhab Ta’limy (aliran Batiniyyah), dan Filsafat.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Teologi (ilmu Tauhid)</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Al-Ghazali sebetulnya tertarik dengan disiplin ilmu ini. Bahkan ia sendiri sempat menulis buku tentang Teologi. Namun, sebagaimana pengakuan al-Ghazali sendiri, bahwa ia tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari Teologi, kecuali manfaat itu kembali pada teologi itu sendiri. (hal. 35)</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Sebab, pada perkembangan selanjutnya, disiplin ilmu Teologi sudah tidak lagi terfokus pada wilayah kajiannya; pembahasannya terlalu melebar kemana-mana; dan mulai melenceng dari tujuan.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Padahal, kata al-Ghazali, tujuan ilmu Teologi adalah menjaga dan membentengi akidah ahlussunah wal jama’ah dari pengaruh ahli bid’ah (hifdzu aqidah ahlussunah wa hirasatuha an tasywisi ahli al-bid’ah). Sebab, Allah SWT melalui lisan rasul sudah menyampaikan akidah yang benar demi kemaslahatan dunia maupun akhirat (agama). Hanya saja, akidah itu kemudian tercemari oleh kehadiran ahli bid’ah. Dalam konteks ini, Teologi muncul untuk memurnikan kembali akidah yang sudah tercemar itu, mengembalikan pada asalnya.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Tetapi, yang terjadi justeru tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan. Wacana yang dikembangkan dalam teologi malah bertitik-tolak dari dasar pikiran/asumsi/hipotesis (muqaddimat) lawan. Disamping itu, para Teolog (mutakallimun) lebih banyak berapologi menanggapi tuduhan-tuduhan lawan, ketimbang membicarakan esensi Teologi itu sendiri.</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Pada akhirnya para Teolog tidak lagi membela sunnah, malah tenggelam pada pembahasan tentang dzat/substansi (al-jauhar), sifat/aksiden (‘arad), dan sebagainya. Hal ini, kata al-Ghazali, yang menyebabkan teologi melenceng jauh dari tujuan mulianya (ghayah al-quswa). Dengan sangat kecewa al-Ghazali akhirnya tidak begitu suka dengan ilmu ini. “falam yakun al-kalam fi haqqy kaafiyan. Wala lidaai alladzi kuntu asykuuhu syafiyan” (bagiku, ilmu kalam tidak mencukupi. Ia tidak dapat menyembuhkan penyakit keragu-raguanku), kata al-Ghazali.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Filasafat</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Al-Ghazali belajar dan mendalami filsafat kurang lebih selama dua tahun. Ia banyak membaca kitab-kitab filsafat yang dikarang filsuf muslim pada waktu itu. Dari hasil bacaannya itu, al-Ghazali menyimpulkan ada tiga madzhab besar dalam filsafat: (1) al-dahriyyun, (2) thabiiyyun, dan (3) ilahiyyun. (hal 37)</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Pertama, al-dahriyyun (atheisme). Ia merujuk pada aliran filsafat kuno yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Menurut aliran ini, kehidupan dunia ada dengan sendirinya melalui proses alam. Manusia tercipta dari sperma, begitu juga sebaliknya. Proses alam akan terus berjalan sesuai dengan hukumnya. Dan terus berjalan tanpa mengenal akhir.</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Kedua, thabiiyyun (naturalisme). Aliran filsafat yang lebih banyak membahas gejala dan perubahan materi; fenomena alam berikut makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan. Objek penelitiannya lebih banyak dicurahkan untuk memahami struktur tubuh mahkluk hidup. Aliran ini masih percaya terhadap adanya Tuhan.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Mereka berpendapat bahwa kekuatan yang dimiliki manusia dihasilkan oleh struktur tubuhnya, bukan disebabkan sesuatu yang lain yang berada diluar tubuh. Mereka juga menolak adanya dualisme jiwa dan badan. Jiwa tidak lain dari materi (badan) itu sendiri. sehingga, ketika seseorang mati, maka jiwanya juga ikut mati. Mereka tidak mempercayai adanya dunia adikodrati, seperti surga, neraka, kiamat, hisab, dll.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Dan ketiga, ilahiyyun (metafisika). Socrates, Plato, dan Aristoteles adalah sederetaan filsuf yang masuk dalam kelompok ini. Plato adalah Murid Socrates, sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Aristoteles dikenal sebagai pencetus ilmu mantiq (logika), banyak memberikan ulasan, komentar, dan penyempurnaan terhadap pelbagai disiplin ilmu. Aristoteles juga banyak mengkritik madzhab-madzhab filsafat sebelumnya, seperti dahriyyun dan thabiyyun.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Secara garis besar, kajian filsafat meliputi: matematika (riyadliyyah), logika (mantiqiyyah), ilmu alam (thabiiyyah), metafisika (ilahiyyah), politik (siyasiyyah), dan etika (khalqiyyah).</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Pada prinsipnya, al-Ghazali tidak begitu antipati terhadap filsafat. Sebab, menurutnya, filsafat sama sekali tidak memiliki relasi dengan agama. Al-Ghazali termasuk pendukung sekularisasi ilmu. Hanya saja, kata al-Ghazali, tidak sedikit paham/ajaran filsafat yang dapat menimbulkan efek membahayakan (afat al-adzimah) bagi keimanan, dan bahkan bertentangan dengan ajaran agama.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Sebagaimana madzhab dahriyyun yang mengingkari adanya Tuhan dan thabiiyyun yang tidak mempercayai keberadaan “dunia lain”. Begitu juga ajaran ilahiyyun yang di transferdari Ibnu Sina dan al-Farabi yang mengatakan bahwa jasad tidak akan menerima nikmat maupun siksaan. Yang mendapatkan balasan di akherat kelak hanyalah ruh. Mereka juga mengatakan bahwa alam bersifat qadim dan abadi.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Madzhab al-ta’limiy</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Pada masa al-Ghazali hidup, madzhab ta’limiyyah atau aliran batiniyyah (underground) sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ta’limiyyah adalah salah satu aliran/sekte syiah ismailiyyah. Aliran ini berpendapat bahwa “setiap orang butuh pengajaran (al-ta’lim) dan bimbingan mu’allim (guru) yang ma’shum, suci; terlindungi dari dosa”(al-hajat ila al-ta’lim wa al-mua’allim. La yashluhu kullu mu’allim bal la budda min mu’allim al-ma’shum)”. (hal. 59)</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Menurut sekte ini, keberadaan mu’allim ma’shum mutlak diperlukan. Sebab, tanpa melalui kehadiran mereka, seseorang tidak mungkin akan sampai pada “kebenaran”.Muallim ma’shum yang dimaksudkan mereka adalah para imam (pemimpin) mereka.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Ajaran seperti ini mendapat kritik keras dari al-Ghazali. Menurutnya, tidak seorang pun di dunia ini yang patut dikatakan ma’shum kecuali Nabi Muhammad SAW. Setiap orang bebas melakukan ijtihad dalam mengambil keputusan hukum (istinbath al-ahkam), tidak harus menunggu wangsit dari imam ma’shum, tegas al-Ghazali.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Kita bisa belajar dari Mu’adz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman. Mu’adz melakukan ijtihad sendiri ketika menemukan persoalan-persoalan yang hukumnya tidak ditemukan di dalam nash (hadits maupun al-Qur’an). Lebih lanjut, al-Ghazali mengatakan: “keterbatasan nash tidak akan bisa mengikuti realitas yang terus mengalami perubahan (fainna al-nushus al-mutanahiyah la tastau’ibu al-waqai’ al-ghaira al-mutanahiyyah)”.</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Akhir pendakian al-Ghazali</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Setelah al-Ghazali merasa kecewa dengan ilmu-ilmu di atas, kemudian beliau berpaling pada tasawuf (mistisisme). Untuk mengetahui hakikat tasawuf yang sesungguhnya, al-Ghazali belajar dan membaca kitab-kitab yang dikarang ulama-ulama tasawuf terkemuka pada waktu itu. Beliau membaca“Kut al-Qulub” milik Abi Thalib al-Makki, “Mutafarrikat al-Ma’tsurah”karya al-Junaidi, kitab-kitab karya al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami, Harits al-Muhasibi dan masih banyak lagi. (hal. 68)</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Lagi-lagi al-Ghazali harus menelan kekecewaan. Ternyata kitab-kitab yang ia baca hanya menyuguhkan wacana tentang tasawuf. Menurut al-Ghazali, inti tasawuf bukan pada teorinya (ilmu/wacana) melainkan pada aplikasinya (amaliyyah). Substansi tasawuf terletak pada pengamalan (al-ahwal) dan rasa (al-dzauq).</span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Dari sini al-Ghazali terangsang untuk mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf, mengasingkan diri (uzlah) dari satu tempat ke tempat lain, menyepi (khalwah) dan mengunci diri selama sehari penuh di menara masjid Dimsyik, tafakkur (kontempelasi) di puncak Bait al-Muqaddas, melakukan ibadah Haji, dan ziarah ke makam Rasulullah SAW. Sampai akhirnya beliau merasa bahwa dahaga intlektualnya betul-betul hilang berkat mukasyafah dan dzauq. Sungguh, sebuah pergulatan intelektual yang sangat menakjubkan! </span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Wallahu a’lam bi sawab.</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"><br />
Jamaluddin Mohammad</span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><div class="yiv763844697MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Tinggal di Ciputat; </span><span style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;"></span></div><span lang="IN" style="font-family: "sans-serif"; font-size: 10pt;">Nyantri di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.</span>FOSWAN(Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)http://www.blogger.com/profile/06156903945463558854noreply@blogger.com0