Menghidupkan Mozaik Islam Nusantara
Oleh: R u m a d i
Kementerian Agama, melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Islam menyelenggarakan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-11 telah digelar di Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011. ACIS merupakan agenda tahunan yang diadakan Kemenag yang diikuti peminat kajian Islam, baik berasal dari Perguruan Tinggi Agama Islam, lembaga-lembaga keagamaan maupun aktifis LSM.
Forum tersebut diharapkan bisa menjadi tolok ukur perkembangan kajian Islam di tanah air, karena di sini akan dipresentasikan riset mengenai berbagai persoalan keislaman yang diharapkan akan member insight baru bagi kehidupan bangsa.
Tahun ini, ACIS mengambil tema “Merangkai Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa”. Dalam tema ini terdapat beberapa kata kunci yang penting, yaitu “mozaik Islam”, “ruang publik” dan “karakter bangsa”.
Pertanyaannya, bagaimana menjelaskan kata-kata kunci tersebut dalam konteks kehidupan bangsa mutakhir? Pertanyaan inilah yang berusaha dijawab tulisan pendek ini.
Mozaik Islam (Nusantara)
Kata “mozaik Islam” sebenarnya merupakan bentuk pengakuan bahwa Islam itu tidak berwajah tunggal. Keanekaragaman Islam itu bisa dilihat dalam beberapa level. Pertama, level pemahaman atas doktrin dan ajaran. Memang, acuan utama ajaran Islam bagi umat Islam adalah sama, yaitu al-Quran dan Hadis, namun cara umat Islam memahami ajaran agamanya bisa berbeda-beda satu dengan yang lain. Hal inilah yang menyebabkan mengapa hampir dalam semua aspek ilmu ke-Islaman, seperti teologi, fiqih, tafsir, tasawuf dan sebagainya senantiasa terdapat madzhab dan aliran-aliran pemikiran.
Namun hal ini tidak berarti tidak ada yang “pasti” dalam ajaran Islam, seperti soal adanya Tuhan, kerasulan Nabi Muhammad, kewahyuan al-Quran dan sebagainya. Untuk persoalan yang sudah diketahui keniscayaanya (ma’lûmun min al-dîn bi al-dharûrah) seperti ini tugas umat Islam tinggal meyakini, meskipun tidak berarti tidak ada ruang diskusi.
Sebagai contoh, memang Allah itu esa, tapi bagaimana keesaan Tuhan itu? Nabi Muhammad memang Rasulullah, tapi bagaimana kerasulan itu dijelaskan? Al-Quran memang wahyu Allah, tapi bagaimana proses pewahyuan itu berlangsung? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membentuk aliran-aliran pemikiran di dalam Islam yang akhirnya membentuk mozaik ilmu-ilmu ke-Islaman.
Kedua, keanekaragaman Islam dalam level ekspresi sosial, politik dan kebudayaan. Pada level ini, keanekaragaman Islam luar biasa. Umat Islam di nusantara, dan juga di berbagai belahan dunia yang lain, mempunyai kekayaan dan khazanah yang sangat kaya terkait dengan persoalan sosial politik dan kebudayaan yang masing-masing otonom.
Islam Indonesia misalnya mempunyai gambaran yang sangat khas, yakni Islam berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tanpa bermaksud menundukkan dan menggantikannya menjadi varian Islam negara dan masyarakat manapun. Islam Indonesia adalah Islam berbaju kebudayaan Indonesia, Islam bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya.
Islam Indonesia bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa. Islam Indonesia adalah Islam yang mengendap dan tersaring ke dalam keindonesiaan.
Ruang Publik
Ruang publik (public sphare) merupakan istilah yang muncul sebagai bagian dari abad pencerahan. Ruang publik adalah ruang dimana setiap orang tanpa melihat agama, suku, ras maupun golongan dapat melakukan kontestasi secara bebas dan terbuka. Kata kunci dari ruang publik adalah kesamaan dan kesetaraan pola relasi masing-masing pihak yang terlibat dalam kontestasi tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks politis, ruang publik dapat dipahami sebagai ruang untuk warga negara, yakni individu bukan sebagai anggota ras, agama atau etnis, tetapi sebagai anggota politis atau rakyat.
Ruang publik bukanlah institusi atau organisasi, tetapi –seperti dikatakan Habermas—lebih sebagai jaringan yang amat kompleks untuk mengkomunikasi gagasan, opini dan aspirasi.
Tiap komunitas dimana di dalamnya dibahas norma-norma publik, maka akan menghasilkan ruang publik. Karena itu, dalam negara demokratis akan banyak terdapat ruang publik. Dalam konteks ini, makna ruang publik bisa kabur, penuh kompetisi,bahkan anarkhis, meskipun hal itu tidak berarti tanpa aturan. Kepublikan akan menseleksi sendiri tema-tema dan alasan-alasan yang rasional dalam masyarakat.
Kebalikan dari ruang publik adalah ruang privat. Ruang privat adalah ruang dimana seseorang bisa hidup dalam dirinya sendiri tanpa campur tangan pihak lain. Inilah wilayah independen dimana orang bisa secara bebas melakukan pilihan-pilihan (atau juga tidak memilih) atas segala sesuatu. Dalam ruang tersebut memungkinkan individu untuk mengembangkan dan menyempurnakan dirinya di luar campur tangan institusi luar.
Meski secara teoritik bisa dijelaskan, namun dalam prakteknya dua wilayah tersebut kadang tumpang tindih. Sesuatu yang secara teoritik dikategorikan sebagai bagian dari ruang privat, namun prakteknya bisa berdimensi publik, begitu juga sebaliknya.
Karakter Bangsa
Karakter bangsa bisa dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi kekuatan sebagai cirri khas sebuah bangsa. Meski kata karakter itu netral, bisa mengandung arti baik dan buruk, namun makna yang dikehendaki dalam kaitan ini adalah sifat positif yang menjadi ciri pembeda sebuah bangsa.
Karakter sebuah bangsa bukanlah sesuatu yang muncul dengan sendirinya, tapi melalui proses panjang yang terkait dengan berbagai aspek, seperti sejarah, budaya, politik dan kemampuan untuk merfleksikannya.
Apa karakter bangsa Indonesia? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Apakah bangsa Indonesia ini bangsa yang peramah atau pemarah? Apakah kita ini bangsa yang ulet atau bangsa yang mudah menyerah? Apakah kita ini bangsa pejuang atau pecundang? Apakah kita ini bangsa pendendam atau bangsa pemaaf? Apakah kita ini bangsa yang jujur atau culas?
Pertanyaan-pertanyaan di atas masih bisa terus diperpanjang sebagai indikator untuk melihat karakter sebuah bangsa.
Merumuskan Tantangan
Dari penjelasan singkat tersebut kita bisa memahami bahwa sebagai agama yang mayoritas dianut bangsa ini, umat Islam mempunyai tanggung jawab besar untuk menggunakan spirit ke-Islaman untuk merawat ruang publik. Hal ini penting agar kebhinekaan masyarakat Indonesia bisa terjaga. Bila ruang publik sudah tidak sehat, bahkan ada upaya privatisasi ruang publik, hal demikian jelas membahayakan perjalanan bangsa ini. Karena itu, ada beberapa tantangan yang perlu segera dijawab.
Pertama, keanekaragaman Islam harus menjadi kekuatan bangsa dan tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk mendiskriminasi dan saling menindas. Hal ini penting untuk direfleksikan bersama di tengah situasi dimana akhir-akhir ini kekerasan berbasis agama semakin menanjak beberapa tahun terakhir ini. Ada kecenderungan bangsa kita semakin tidak bisa menerima perbedaan.
Kedua, radikalisme agama belakangan ini semakin marak. Salah satu sebabnya adalah karena masyarakat Indonesia yang dikenal moderat tidak cukup memberi perlawanan terhadap kelompok yang menyebarkan kebencian dan permusuhan terhadap orang yang berbeda dengan dirinya. Hal demikian tidak boleh terus dibiarkan, karena karakter fundamentalisme Islam sebenarnya bukan tipikal genuine umat Islam Indonesia.
Ketiga, meski pemerintah terus mendengungkan mengenai pembangunan karakter bangsa, namun harus diakui dengan jujur bahwa karakter sebuah bangsa itu tidak muncul secara instan. Karena itu, kita masih harus berjuang melawan pembusukan bangsa melalui terorisme, radikalisme, dan juga korupsi.
Bangsa ini, terutama umat Islam, masih harus bekerja keras untuk member jawaban terhadap tiga persoalan tersebut. Tentu saja Kementerian Agama yang pertama-tama harus menjawab secara riil dari problem tersebut.[]
Penulis adalah dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti Senior the Wahid Institute Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jika ada kesulitan,permasalahan prihal tulisan diatas atau kritik serta saran, kami mohon agar komentar di bawah ini. atas nama redaksi mohon maaf atas kekurangannya. pepatah lama mengatakan"tiada gading yang tak retak".