Minggu, 20 Oktober 2019

Sabtu, 10 Februari 2018

Jumat, 25 September 2015

Pemahaman yang diplesetkan

Muhammadiyah dan qasidah burdah Sebelumnya banyak pihak yang menyerang bahkan mencaci pernyataan KH Said Aqil Siraj bahwa berjenggot dapat mengurangi kecerdasan. Para ulama terdahulu juga mengingatkan bahwa “barangsiapa yang berlebihan panjang jenggotnya hingga ke pusar maka (hal tersebut) menunjukkan sedikitnya kecerdasan padanya” sebagaimana contoh kajian pada http://www.ngaji.web.id/2015/09/antara-jenggot-sunnah-dan-kecerdasan.html Di dalam kitab Taurat juga dikatakan “barangsiapa yang berlebihan panjang jenggotnya, maka sedikit otaknya, barangsiapa yang sedikit otaknya, sedikit kecerdasannya, dan barangsiapa yang sedikit kecerdasannya, maka orang tersebut adalah orang yang tolol (pandir)”. Jadi tidak ada yang salah dengan pernyataan KH Said Aqil Siradj bahwa “jenggot dapat mengurangi kecerdasan” yakni “semakin panjang semakin goblok” dan beliaupun tidak mengatakan orang berjenggot goblok dan tidak juga mencontohkan atau menuding siapapun yang berlebihan panjang jenggotnya hingga ke pusar. Oleh karenanya para ulama dari empat mazhab telah sepakat untuk tidak membiarkannya melebihi satu genggam. Kalau kita lihat video secara utuh, maka pernyataan KH Said Aqil Siraj bahwa “semakin panjang jenggot semakin goblok” adalah sebuah nasehat bagi mereka yang mengamalkan sunnah Rasulullah memelihara jenggot namun tidak menjadikannya seperti Rasulullah atau tidak menjadikannya cerdas (fathonah) sehingga mereka bersikap radikal karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah Begitupula para Sahabat juga mempertanyakan jenggot orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yang terkenal gigih menjalankan sunnah Rasulullah namun tidak menjadikan mereka seperti Rasulullah atau tidak menjadikan mereka berakhlak baik sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/09/15/jenggot-dan-goblok/ Kali ini yang menjadi polemik adalah KH Said Aqil Siraj mengeluarkan kata “goblok” yang ditujukan kepada ormas Muhammadiyah sebagaimana video yang diunggah (upload) pada http://www.youtube.com/watch?v=KtyTqyxvdzc dan yang mengunggah menggunakan ID “nu garis lurus”. Video yang diunggah pada 14 September 2015 tampaknya ingin memecah belah kaum muslim dan khususnya ormas NU karena video tersebut adalah video yang “dicari-cari” dan diberi judul vol 2 namun tidak ada kaitannya dengan pernyataan “semakin panjang semakin goblok” karena pernyataan “vol 2” tersebut dinyatakan 20 Oktober 2009. Polemik kali ini jika disalahpahami dan tidak menahan diri akan menimbulkan perselisihan di antara kedua ormas. Hal yang harus kita ingat selalu bahwa jika terjadi permusuhan di antara kaum muslim maka perlu kita waspadai hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi karena Allah Azza wa Jalla menciptakan kaum yang mempunyai rasa permusuhan terhadap kaum muslim adalah kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82) Salah satu protokol Zionis yakni yang ketujuhbelas berbunyi, …Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan….. Serangan terhadap ketua umum PBNU KH Said Aqil Siraj adalah termasuk upaya mendiskreditkan ulama karena ormas NU adalah salah satu jama’ah minal muslimin yang istiqomah mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat. Kutipan pernyataan Beliau tersebut terkait dengan pelarangan atau pengharaman Qasidah Burdah yang dimotori oleh firqah Wahabi yakni orang-orang yang mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat. Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut yang tidak pernah bertemu muka yakni mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih Berikut kutipan informasi dari situs resmi mereka seperti pada http://www.saudiembassy.net/about/country-information/Islam/saudi_arabia_Islam_heartland.aspx “In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”. Penamaan firqah Wahabi dinisbatkan kepada nama ayahnya Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sekedar untuk membedakan antara ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah dengan ajaran Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Contoh penisbatan bukan pada nama sendiri lainnya adalah seperti pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, kita sepakati dinamakan sebagai mazhab Hambali karena hal itu adalah hasil ijtihad dan istinbat beliau dalam perkara fiqih berdasarkan sumber ijtihad yang dimilikinya seperti hafalan hadits yang melebihi jumlah hadits yang telah dibukukan pada zaman kini dan kompetensinya dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah yang diakui oleh jumhur ulama sebagai salah satu Imam Mujtahid Mutlak Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi Contoh penghasut pada masa keruntuhan kekhalifahan Turki Ustmani adalah seperti Thomas Edward Lawrence, perwira Yahudi Inggris yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian, selain menghasut untuk membiasakan umat Islam disegi kemajuan dunia seperti kebiasaan barat, termasuk nasionalisme Arab dan Sekulerisme, ia juga menyebarkan hasutan supaya umat Islam tidak terikat dan tidak fanatik kepada aliran mazhabiah. Hasil hasutan Laurens Of Arabian adalah mereka meninggalkan para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat. Sehingga kaum muslim mengajukan permohonan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz sebagaimana yang dikabarkan pada http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,39479-lang,id-c,nasional-t,Komite+Hijaz-.phpx ***** awal kutipan ***** Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh. Saat itu terjadi eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain, mereka pindaha atau pulang ke negara masing-masing, termasuk para santri asal Indonesia. Dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah, berbagai tempat bersejarah, baik rumah Nabi Muhammad dan sahabat termasuk makam Nabi hendak dibongkar. Dalam kondisi seperti itu umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Merembuk Hijaz atau Komite Hijaz. Komite bertugas menyampaikan lima permohonan: Pertama, Memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqoid maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk memperkuat hubungan dan persaudaraan umat Islam yang bermazhab sehingga umat Islam menjadi sebagi tubuh yang satu, sebab umat Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan. ***** akhir kutipan ***** Setelah awal abad ke 20 tidaklah terdengar lagi mufti-mufti mazhab di wilayah kerajaan dinasti Saudi karena mereka termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi Ulama besar Indonesia yang pernah menjadi mufti Mazhab Syafi’i sekaligus menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Beliau memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi guru para ulama Indonesia. Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang awam sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/09/18/bukanlah-hanabila/ Dr Deliar Noer dalam bukunya berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 menyebutkan, Ibnu Sa’ud yang berhasil mengusir penguasa Makah sebelumnya, yakni Syarif Husein pada tahun 1924, mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktik beragama sesuai dengan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab atau ajaran Wahabi. Ketika ada undangan dari Ibnu Sa’ud pada kalangan Islam di Indonesia untuk menghadiri kongres di Makah, langsung mendapat reaksi dengan dibicarakan undangan tersebut di Kongres ke-4 Al-Islam di Yogyakarta (Agustus 1925) serta Kongres Ke-5 di Bandung (Februari 1926). Kedua kongres itu didominasi golongan yang dinamakan pembaru Islam yang arti sebenarnya adalah pemahaman baru yang tidak mengikuti metode pemahaman dan istinbath yang telah dibakukan dan dicontohkan oleh Imam Mazhab yang empat Pada kongres di Bandung, KH Abdul Wahab Chasbullah atas nama ulama kalangan kaum tua mengusulkan mempertahankan beragama istiqomah mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah disampaikan oleh para pengikutnya berikut dengan kebiasan-kebiasaan yang telah dilakukan oleh mereka. Kongres di Bandung itu ternyata tidak menyambut baik usulan tersebut. KH Abdul Wahab Chasbullah selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat di kalangan ulama kaum tua, dimulai dari Surabaya, kemudian Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sepakat mendirikan suatu panitia yang disebut ”Komite Merembuk Hijaz”. Oleh karena untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud. Dalam mengupayakan pertemuan dengan Raja Ibnu Sa’ud, kedua utusan itu juga diminta hadir dengan perantaraan Belanda di Jedah. Tetapi mereka tidak dapat berangkat karena terlambat memesan tempat di kapal. Sebagai gantinya, NU mengirimkan isi keputusan rapat mereka kepada Raja Ibnu Sa’ud dengan tambahan permintaan, agar isi keputusan itu dapat dimasukkan dalam undang-undang Hijaz. Namun tidak ada jawaban atas permintaan itu. Kemudian pada 27 Maret 1928, NU mengumumkan Abdul Wahab dan Ahmad Ghanaim al-Amir pergi ke Makah. Keduanya sampai di Tanah Suci pada 27 April 1928, dan 13 Juni 1928 mereka diterima Raja. Salah satu poin seruan pada Raja Ibnu Sa’ud adalah “tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir yang benar atau wirid membaca Dalail al-Khairat atau Burdah atau mengaji kitab fiqh mazhab Syafi’i, seperti Tuhfah, Nihayah, Bajah.” sebagaimana contoh informasi dari http://chaerolriezal.blogspot.co.id/2013/06/nahdhatul-ulama-nu_12.html Keistiqomahan ormas NU untuk mengikuti Imam Mazhab yang empat terlukis dalam lambang ormas NU, sebagaimana yang dikutip dari situs http://al-islamjenangan.blogspot.com/2013/02/nahdlotul-ulama-rahmatan-lil-alamin.html Dalam penjelasannya tentang makna lambang NU, KH Ridwan menguraikan bahwa tali ini melambangkan agama sesuai dengan firman Allah “Berpeganglah kepada tali Allah, dan jangan bercerai berai.” (Q.s. Ali Imran: 103). Posisi tali yang melingkari bumi melambangkan ukhuwah (persatuan) kaum muslimin seluruh dunia. Untaian tali berjumlah 99 melambangkan asmaul husna. Bintang sembilan melambangkan Wali Sanga. Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Empat bintang kecil di samping kiri dan kanan melambangkan Khulafa’ Ar-Rasyidin. Empat bintang kecil di bagian bawah melambangkan madzahibul arba’ah (madzhab yang empat). Ahlussunnah wal jamaah dalam bidang i’tiqod mengikuti imam Asy’ari. Dalam bidang akhlak mengikuti ulama’-ulama’ tasawuf yang muktabaroh. KH Ridwan menambahkan bahwa ormas NU didirikan untuk mengikuti sunnah Rasulullah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Thabari Ra yang mengatakan; berkata kaum ulama’ bahwa jamaah adalah as-sawadul a’dzom (mayoritas kaum muslimin). Rasulullah telah mengingatkan bahwa ketika masa bermunculan penyeru-penyeru menuju pintu jahannam yakni menyeru untuk menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) maka hendaklah selalu bersama jama’ah muslimin dan imamnya, hindarilah seluruh firqah-firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kita gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggut. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168). Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“ Mayoritas kaum muslim pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in Sedangkan pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat. Memang ada mazhab selain yang empat, namun pada masa sekarang sudah sulit ditemukan ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam mazhab selain yang empat sehingga tidak mudah untuk menjadikannya tempat bertanya. Sebagaimana pepatah mengatakan “malu bertanya sesat di jalan” maka kesesatan dapat timbul dari keengganan untuk bertanya kepada orang-orang yang dianugerahi karunia hikmah oleh Allah Azza wa Jalla. Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43] “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3) Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk. Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43) Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat. Umat Islam maupun sekelompok umat Islam seperti organisasi kemasyarakatan (ormas) yang mengikuti Imam Mazhab yang empat tidaklah dikatakan berfirqah. Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda. Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah. Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak. “Jika ia benar mendapat dua pahala, jika salah hanya mendapat satu pahala” hanyalah berlaku untuk ahli istidlal yang dipunyai para fuqaha, yakni ulama yang faqih dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah. Adapun orang yang bukan ahli istidlal lantas menghukumi, dia tidak dapat pahala. Ia justru berdosa karena bukan ahlinya. Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/13), Para ulama’ berkata : ” Telah menjadi ijma’ bahwa hadits ini adalah untuk hakim yang alim dan ahli hukum, jika keputusannya benar maka dia mendapat 2 (dua) pahala yaitu pahala ijtihadnya dan pahala benarnya, jika salah maka dapat satu pahala yaitu pahala ijtihadnya saja” Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu ta’ala berkata dalam menjelaskan hadits ini: “(Beliau) mengisyaratkan bahwa tidaklah mesti – disaat ditolak hukumnya atau fatwanya lantaran berijtihad lalu keliru – maka dia mendapat dosa dengan (kesalahan) tersebut. Akan tetapi apabila dia telah mengerahkan kemampuannya, maka ia mendapat pahala, jika (hukumnya) benar, maka digandakan pahalanya. Namun apabila dia menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa ilmu maka dia mendapat dosa.” (Fathul Bari: 13/331) Telah berkata Al-Baghawiy rahimahullahu ta’ala : “Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits : ‘Apabila ia berijtihad kemudian keliru, baginya satu pahala’; tidaklah dimaksud dengannya ia diberikan pahala karena kekeliruan (yang ia lakukan). Namun ia diberikan pahala dalam kesungguhannya (ijtihadnya) untuk mencari kebenaran, karena ijtihad merupakan bagian dari ibadah. Dosa dalam kekeliruan itu ada jika ia tidak bersungguh-sungguh dalam ijtihad. Dan ini ada pada diri orang yang berkumpul padanya peralatan/sarana untuk berijtihad. Adapun orang yang tidak berhak untuk berijtihad, maka ia termasuk orang yang telah memperberat-berat/memaksakan diri sehingga tidak diberikan ‘udzur atas kekeliruannya dalam memutuskan hukum. Bahkan, dikhawatirkan padanya tertimpa dosa yang sangat besar. Ibnul-Mundzir rahimahullahu ta’ala berkata : “Seorang hakim yang keliru hanyalah diberi pahala jika ia seorang yang ‘aalim terhadap metodologi ijtihad, lalu melakukan ijtihad. Jika ia bukan seorang yang ‘aalim, tidak diberikan pahala”. Ia berdalil dengan hadits tiga golongan qaadliy dimana padanya disebutkan dua golongan yang masuk neraka: “Qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara bukan berdasarkan kebenaran, maka ia masuk neraka. Dan qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara dalam keadaan ia tidak mengetahui (ilmunya), maka ia pun masuk neraka”. Diriwayatkan dari Buraidah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : ‘Hakim itu ada tiga golongan. Satu masuk surga dan dua masuk neraka. Golongan yang masuk surga adalah orang yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan dengannya. Adapun orang yang mengetahui kebenaran namun ia menyimpang darinya dalam hukum (ia tidak memutuskan dengannya) , maka ia masuk neraka. Dan orang yang memutuskan perkara dengan kebodohan, maka ia juga masuk neraka” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3573, At-Tirmidziy no. 1322, Ibnu Maajah no. 2315, dan dishahihkan oleh Al-Haakim) Begitupula ahli hadits berbeda dengan para fuqaha. Ahli hadits tidak berhak untuk bertindak sebagai fuqaha. Oleh karenannya tidak ditemukan penisbatan nama mazhab kepada nama seorang ahli hadits. Ahli hadits hanyalah menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya kemudian mengumpulkan, meneliti dan menyampaikan dalam kitab-kitab hadits atau menyusunnya berdasarkan nama perawi sehingga menjadi kitab-kitab musnad atau menyusunnya berdasarkan klasifikasi masalah sehingga menjadi kitab-kitab sunan. Pada masa sekarang bermunculan orang-orang yang mengaku-ngaku atau dinisbatkan sebagai ahli hadits namun bukan ahli hadits sebenarnya (yang menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya) melainkan ahli membaca hadits-hadits yang telah terbukukan di balik perpustakaan alias otodidak (shahafi). Ada pula mereka yang terhasut meninggalkan Imam Mazhab yang empat dan lebih memilih mengikuti orang-orang yang mengaku berada di atas manhaj (mazhab) Salaf sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://almanhaj.or.id/content/1474/slash/0/antara-ahlus-sunnah-dan-salafiyah/ ***** awal kutipan ***** Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar [Majmu Fatawa 4/149] ***** akhir kutipan ***** Begitupula dalam jawaban Raja Ibnu Sa’ud berupa surat terhadap seruan Komite merembuk Hijaz mereka mengaku mengikuti mazhab Salafush Sholeh. Istilah mazhab (manhaj) Salaf adalah keliru karena penisbatan nama mazhab kepada nama perorangan bukan pada suatu kelompok atau nama generasi Penisbatan nama mazhab adalah kepada fuqaha (ahli fiqih) atau ahli istidlal yang telah meraih kompetensi sebagai Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil Nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in tercantum pada hadits, pada umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad dan istinbat mereka. Para perawi sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya). Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya. Jadi pendapat atau pemahaman Salafush Sholeh tidak bisa didapatkan dari membaca hadits. Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua. Dari penjelasan Imam Nawawi di atas dapat kita pahami bahwa Imam Mazhab yang empat yang menyusun ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip dasar ( asas) beserta cabangnya (furu) yang akan diikut umat Islam sampai akhir zaman. Mereka yang mengaku berada di atas manhaj (mazhab) Salaf juga mengatakan bahwa mereka mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun pada kenyataannya tentu mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri terhadap hadits yang dibacanya, bukan pendapat atau permahaman Salafush Sholeh. Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh. Selain fitnah terhadap Salafush Sholeh karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah akibat mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafI), mereka dapat terjerumus memfitnah Allah dan RasulNya dengan mereka mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah berfirman seperti ini, seperti ini, Rasulullah telah bersabda seperti ini, seperti ini namun menurut akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/21/janganlah-memfitnah-tuhan/ Jadi pada kenyataannya orang-orang yang mengaku berada di atas manhaj (mazhab) Salaf maupun pencetus istilah manhaj (mazhab) salaf adalah orang-orang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/07/istilah-mazhab-salaf/ Sebagai dimaklumi, bahwa arti “salaf” adalah “orang yang terdahulu”. Orang yang terdahulu itu ada yang baik dan ada yang buruk. Pada zaman Nabi, bukan saja yang ada itu orang Islam, tetapi ada juga orang Yahudi, Nasrani. Singkatnya, di zaman dulu itu ada orang yang shaleh dan ada pula orang yang taleh (bahasa Minang) atau talih (tidak sholeh). Oleh karenanya kita dianjurkan memperbanyak bergaul dengan orang shaleh dan mengurangi bergaul dengan orang talih. Kalau kita dianjurkan mengikuti mazhab atau manhaj Salaf, dengan arti mazhab atau manhaj orang yang terdahulu, maka itu berarti kita dianjurkan bukan saja mengikuti orang-orang yang baik-baik tetapi juga mengikuti orang yang jelek-jelek. Bahkan batas waktu yang tegas antara yang dinamai zaman Salaf dan zaman Khalaf tidak ada keterangan, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits. Apakah yang dinamakan zaman Salaf itu 100 tahun, 200 tahun, 300 tahun, 400 tahun atau 500 tahun sesudah Nabi ? tidak ada keterangannya yang pasti. Pada intinya tidak ada nubuat Rasulullah yang menyebutkan batas atau pembagian waktu Salaf dan Khalaf. Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim juga termasuk salaf karena bertemu dengan Rasulullah namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/05/termasuk-salaf/ Salah dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bukan ahli istidlal akan menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan sehingga timbullah firqah dalam Islam. Perhatikanlah tulisan-tulisan mereka contohnya pada http://tukpencarialhaq.com/ maka akan dapat kita temukan bertebaran nama-nama firqah yang masing-masing merasa paling benar seperti salafi jihadi, salafi haraki, salafi Turotsi, salafi Yamani atau salafi Muqbil, salafi Rodja atau salafi Halabi, salafi Sururi, salafi Quthbi atau salafi Ikhwani dan firqah-firqah yang lain dengan nama pemimpinnya. Contohnya pengikut Ali Hasan Al Halabi dinamakan oleh salafi yang lain sebagai Halabiyun sebagaimana contoh publikasi mereka pada http://tukpencarialhaq.com/2013/11/17/demi-halabiyun-rodja-asatidzah-ahlussunnah-pun-dibidiknya/ berikut kutipannya ***** awal kutipan ***** Kita lanjutkan sedikit pemaparan bukti dari kisah Haris, Jafar Salih dkk. Cileungsi termasuk daerah terpapar virus Halabiyun Rodja pada ring pertama. Tak heran jika kepedulian asatidzah begitu besar terhadap front terdepan (disamping daerah Jakarta tentunya). Daurah-daurah begitu intensif dilaksanakan, jazahumullahu khaira. Kemarahan mereka telah kita saksikan bersama dan faktanya, amarah/ketidaksukaan ini juga mengalir deras pada sebagian dai yang menisbahkan diri dan dakwahnya sebarisan dengan kita. Berdusta (atas nama Asy Syaikh Muqbil rahimahullah-pun) dilakukan, menjuluki sebagai Ashhabul Manhaj sebagaimana yang dilontarkan dengan penuh semangat oleh Muhammad Barmim, berupaya mengebiri pembicaraan terkait kelompok-kelompok menyimpang sampaipun Sofyan Ruray mengumumkan melalui akun facebooknya keputusan seperempat jam saja!! ****** akhir kutipan ****** Asy-Syathibi mengatakan bahwa orang-orang yang berbeda pendapat atau pemahaman sehingga menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan. maka mereka menjadi firqah-firqah dalam Islam sebagaimana yang Beliau sampaikan dalam kitabnya, al-I’tisham yang kami arsip pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/ciri-aliran-sesat/ ****** awal kutipan ***** Salah satu tanda aliran atau firqoh sesat adalah terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105). “Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64). Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya, kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…” Kemudian Asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wasallam, tetapi mereka tidak bercerai berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan nash-nya. Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam. Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan, maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama. Persoalan tersebut berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menafsirkan ayat berikut ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.” ******* akhir kutipan ******* Jadi firqah atau sekte timbul ketika sebuah kelompok kaum muslim (jama’ah minal muslimin) atau sebuah ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah namun mereka tidak berkompetensi sebagai ahli istidlal apalagi sebagai imam mujtahid mutlak Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat. Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan pada http://www.sangpencerah.com/2013/08/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-ini.html bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih, ormas Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah diteladani oleh pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan. Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada http://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-zon-jonggol-aswaja-sarkub/ Jadi dapat kita simpulkan bahwa berdasarkan pemahaman mereka terhadap Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri , mereka menyalahkan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan bahkan menganggap kebiasaan-kebiasaan yang dahulu Beliau lakukan adalah kesesatan atau bid’ah dholalah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad) Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah diambilnya ilmu agama dari al ashaaghir yakni orang-orang yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri. Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”. Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”. Walaupun ulama panutan mereka pada awalnya berguru dengan guru-guru yang memiliki sanad guru (susunan guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah namun menjadi tidak berarti apa-apa jika pada akhirnya mereka lebih banyak mendalami ilmu agama di balik perpustakaan alias secara otodidak (shahafi) sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/18/sanad-tak-berarti/ Janganlah mengambil pendapat atau ilmu agama dari ulama dlaif yakni orang-orang yang kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/31/ulama-dlaif/ Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ? Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10) Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits “Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203 Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri. Jadi pengikut syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme. Begitupula pengikut syaitan dapat diakibatkan karena terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi sehingga memusuhi umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka. Kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason, iluminati, lucifier adalah pengikuti syaitan Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman” (QS Al Baqarah [2]:102) Mereka yang terhasut dan menjadi pengikut syaitan karena aqidah mereka yakni dalam memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir sehingga terjerumus bertasyabuh dengan kaum Yahudi sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/07/tauhid-trinitas/ Mereka yang terhasut dan menjadi pengikut syaitan karena gagal paham tentang bid’ah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang yang tidak dilarangNya atau mengharamkan yang tidak diharamkanNya dan sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkanNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/21/gagal-paham-bidah/ Begitupula mereka yang melarang atau mengharamkan qasidah burdah adalah mereka yang gagal paham tentang bid’ah. Mereka yang melarang atau mengharamkan qasidah burdah karena menganggap sebagai pujian berlebihan bagi Rasulullah adalah karena salah memahami sabda Rasulullah, “Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Ahmad). Hal ini timbul dikarenakan mereka mencoba memahami hadits secara sepotong-potong. Kadang mereka memotong sebatas “Jangan memujiku secara berlebihan ” atau “Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam” Mereka tidak memperhatikan apa fungsi bagian akhir dari sabda Rasulullah tersebut yakni “Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” Hadits tersebut sudah secara jelas meberikan batasan pujian yang berlebihan yakni “seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam” yang mempunyai makna majaz (kiasan) yang maknanya adalah “seperti kaum Nasrani yang menjadikan Nabi Isa a.s sebagai putera Tuhan” Apa yang dilakukan oleh kaum Nasrani diingkari dengan “Isa putera Maryam” dan “Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” Dan sejak larangan Nabi itu disampaikan hingga saat ini, tidak pernah ada seorangpun dari kalangan umat Islam yang memuji Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melebihi batasannya sebagai manusia. Sehingga benarlah apa yang disampaikan Imam Bushiri di dalam syair Burdahnya: “Tinggalkan pengakuan orang Nasrani atas Nabi mereka… Pujilah beliau (shallallahu alaihi wasallam) sesukamu dengan sempurna… Sandarkanlah segala kemuliaan untuk dirinya… Dan nisbahkanlah sesukamu segala keagungan untuk kemuliaannya…” Begitupula mereka menganggap syair dalam qasidah burdah mengandung kemusyrikan serupa pula dengan mereka menganggap kaum muslim yang mengamalkan sholawat Nariyah akan bertempat di Neraka karena pemahaman tauhid mereka adalah tauhid ala firqah Wahabi. Terkait sholawat Nariyah, mereka mengatakan bahwa “Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang diserunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah)” Tampaknya mereka memahami secara dzahir atau dengan makna dzahir terhadap kalimat yang artinya, “yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik” Kalimat tersebut seharusnya dipahami dengan makna majaz (makna metaforis , makna kiasan) bahwa Beliau shallallahu alaihi wasallam pembawa Al Qur’an, pembawa hidayah, pembawa risalah, yang dengan itu semualah terurai segala ikatan dosa dan sihir, hilang segala kesedihan yaitu dengan sakinah, khusyu dan selamat dari siksa neraka, dipenuhi segala kebutuhan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik yaitu husnul khatimah dan sorga, Ini adalah kiasan saja dari sastra balaghah Arab dari cinta, sebagaimana pujian Abbas bin Abdulmuttalib ra kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dihadapan Beliau shallallahu alaihi wasallam : “… dan engkau (wahai Nabi shallallahu aalaihi wasallam) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417), tentunya bumi dan langit tidak bercahaya terang yang terlihat mata, namun kiasan tentang kebangkitan risalah. Sebagaimana ucapan Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah, bila kami dihadapanmu maka jiwa kami khusyu” (shahih Ibn Hibban hadits no.7387), “Wahai Rasulullah, bila kami melihat wajahmu maka jiwa kami khusyu” (Musnad Ahmad hadits no.8030) Semua orang yang mengerti bahasa arab memahami ini, Cuma kalau mereka tak faham bahasa maka langsung memvonis musyrik, tentunya dari dangkalnya pemahaman atas tauhid. Demikianlah penjelasan ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yakni Habib Munzir Al Musawa yang bersumber dari http://www.majelisrasulullah.org/forums/topic/keutamaan-shalawat-nariyyah-fiqhaqidah/ Memang salah satu ciri khas mereka yang mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat adalah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab. Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/ Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi dalam kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf menjelaskan bahwa, “sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)” Kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul contohnya jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya. Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga akan sesat dan menyesatkan Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98). Jadi kesimpulannya orang-orang yang sesat dan menyesatkan dapat dikarenakan kurang mendalami atau bahkan melarang (mengharamkan) mendalami ilmu balaghah. Gagal paham tentang bid’ah dapat pula disebabkan karena kurang mendalami ilmu balaghah sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/27/bidah-dan-balaghah/ Oleh karenanya lebih baik mensyaratkan bagi pondok pesantren, majelis tafsir, ormas-ormas yang mengaku Islam, lembaga kajian Islam maupun lembaga-lembaga Islam lainnya termasuk lembaga Bahtsul Masail untuk dapat memahami dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) dalam implementasi agama dan menghadapi permasalahan kehidupan dunia sampai akhir zaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, wajib menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/30/bacalah-dan-istinbath/ Wassalam Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830 Tulisan selengkapnya dapat dibaca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/09/17/muhammadiyah-dan-qasidah-burdah/
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Rabu, 11 Januari 2012

Wahyu Ilahi terhadap Hamba-HambaNya


Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin bahwa, sahabat Harist bin Hisyam Radhiyallâhu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasul, bagaimana cara datangnya wahyu kepadamu?”
 
Nabi menjawab, “Kadang wahyu tersebut sampai kepadaku seperti bunyi lonceng dan cara turun wahyu sedemikian ini terasa paling berat bagiku, kemudian aku merasa ketakutan, dan sungguh aku dapat menghafal apa yang telah disampaikan malaikat kepadaku. Dan kadangkala malaikat mengubah wujudnya menjadi sosok seorang laki-laki, kemudian berucap kepadaku, sehingga aku hafal apa yang ia katakan.”
 
Wahyu merupakan hal yang sangat sakral, tidak sembarang orang menerimanya, makhluk yang dipilih untuk menerima wahyu berarti makhluk yang luar biasa, diantaranya adalah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
 
Turunnya wahyu kepada sang Baginda Rasulullah melalui bermacam-macam cara. Kadang melalui mimpi, kadang juga datang kepada beliau dalam keadaan terjaga.
 
Nabi kita Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ketika wahyu turun, mengalami semacam kepayahan, keningnya bercucuran meskipun saat itu kondisinya sangatlah dingin. Aisyah berkata, “Sungguh aku melihat wahyu diturunkan kepadanya pada waktu sangat dingin sehingga mengakibatkan Nabi ketakutan dan keningnya bercucuran keringat.” (H. al-Bukhari).
 
Rawi-Rawi Hadis
 
Perawi Hadis yang terlibat dalam periwayatan hadis ini sebanyak enam rawi, yaitu:
1) Abdullah bin Yusuf al-Mishriy at-Tinnisiy1), 2) al-Imam Malik2), 3) Abul Mundzir, Hisyam bin Urwah bin az-Zubair bin al-Awam al-Qurasyi al-Asadi, 4) Abu Abdillah, Urwah yang tak lain adalah Ayah Shahabat Hisyam (urutan kedua perawi Hadis ini), 5) Ummul Mukminin Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq Radhiyallâhu ‘anhu.3), 6) Al-Harist bin Hisam bin al-Mughirah bin Abdillah bin Makhzum4), saudara kandung Abu Jahal.
 
Untuk kapasitas dan kwalitas Hadis di atas, baik yang berkenaan dengan para perawinya atau yang berkenaan dengan matannya tidak perlu dipermasalahkan, sebab Hadis ini sudah diteliti oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dan keduanya mencantumkan Hadis tersebut dalam karyanya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan Ulama sudah sepakat dan mengamini kwalitas dan tingkat akurasi kedua kitab Shahih tersebut.
Wahyu ataukah Ilham?
 
Wahyu adalah sebuah penjelasan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ kepada Nabi-Nya secara samar atau tersembunyi. Wahyu menurut istilah syariat adalah penjelasan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang ditujukan kepada Nabi-nabiNya atas suatu hal, adakalanya berupa Kalam, Risalah via malaikat, dan lain sebagainya, baik ketika tidur atau terjaga. Kadang kala kata “wahyu” ini diartikan sebagai barang (materi) yang diwahyukan. Arti sedemikian ini bila lihat dengan kacamata ilmu Balaghah merupakan bagian dari sastra Arab yang berupa bentuk kata mashdar (pekerjaan/proses). Tapi yang dimaksud adalah maf’ûl (obyek) atau sesuatu yang diwahyukan. Jadi kata “wahyu” berarti sesuatu yang diwahyukan kepada rasul-Nya. Hal ini mencakup al-Qur’an dan Hadis sebagaimana dalam firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya5): “Ucapan (Muhammad) itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS an-Najm [35]: 04) Kata “wahyu” memiliki beberapa pengertian serta bentuk tergantung dengan kalimat apa kata tesebut dikaitkan. Jika kata wahyu dikaitkan atau disandingkan dengan kata “Nabi” atau “Anbiya’” (para nabi), maka mempunyai tiga bentuk6):
 
Pertama, wahyu yang ditransfer kepada nabi-Nya yang berupa kalam qadîm seperti yang pernah dialami oleh Nabi Musa ‘Alaihissalâm di Bukit Tursina (Gunung Sina). Kedua, wahyu yang tersampaikan kepada nabi melalui perantara malaikat, seperti dalam firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya, “…atau mengutus seorang utusan (malaikat)..” (QS asy-Syûrâ [42]: 51). Dan Ketiga, wahyu menghembus ke dalam hati Nabi, sesuai dengan Hadis Nabi : “Innar-Rûh al-Quddûs nafatsa fî rau‘î ay nafsî”. Artinya, “Sesungguhnya malaikat jibril meniupkan pada hatiku.”
 
Dalam Hadis di atas, kata “rau’î” ditafsiri dengan kata “nafsi” yang artinya hatiku. Menurut sebagian pendapat bentuk wahyu yang ketiga ini juga dialami oleh Nabi Daud ‘Alaihissalâm.
 
Lain halnya bilamana kata “wahyu” disandingkan dengan kata selain kata “Anbiya’” maka kata wahyu tersebut mempunyai arti ilham. Seperti wahyu Allah Subhânahu wa ta‘âlâ kepada lebahdalam firman Allah yang artinya, “Dan tuhanmu mewahyukan pada lebah…” (QS an-Nahl [16]: 68)7)
 
Bentuk Turunnya Wahyu
 
Imam as-Suhaili memaparkan dengan jelas bahwa kata “wahyu” mempunyai tujuh bentuk, yaitu:
 
Pertama, mimpi (manâm) seperti yang diriwayatkan Aisyah yang artinya, “Pertama kali turunnya wahyu adalah mimpi indah pada waktu Nabi tertidur…” (HR al-Bukhari)
 
Kedua, kedatangan wahyu seperti bunyi sebuah lonceng, seperti dalam Hadis di atas. Ulama berpendapat bahwa cara turunnya wahyu yang sedemikian mempunyai hikmah yang tersimpan, yaitu menarik dan memfokuskan perhatian Nabi dari hal-hal lain.8)
 
Ketiga, datangnya wahyu merasuk ke dalam hati Nabi. Bentuk ini sejalan dengan pembagian wahyu yang ketiga.
 
Keempat, malaikat menjelma menjadi sesosok manusia. Seperti Hadis di atas. Pernah suatu ketika malaikat menjelma menjadi Sahabat Dihyah bin Khalifah al-Kalbi. Sahabat Dihyah adalah Sahabat yang paling tampan di antara sahabat-sahabat yang lain. Dengan alasan itu pula malaikat yang menjelma sahabat Dihyah memilih untuk menutupi wajahnya dengan sehelai kain supaya terhindar dari ketertarikan kaum Hawa.9)
 
Kelima, Malaikat Jibril memperlihatkan sosok seperti wujud aslinya dengan perlengkapan sayap yang berjumlah 600 dan menyajikan barang yang dianggap sangat berharga di kalangan manusia, yaitu sebuah lu’lu’ (permata) dan Yaqut.
 
Keenam, Allah Subhânahu wa ta‘âlâ memperdengarkan suara dari belakang hijâb. Kejadian ini sama persis yang dialami Nabi Musa ‘Alaihissalâm di sebuah Bukit Tursina (Gunung Sinai). Allah Subhânahu wa ta‘âlâ berfirman yang artinya, “…Dan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ telah bebicara kepada Nabi Musa ‘Alaihissalâm dengan langsung” (QS an-Nisa’ [04]: 164). Dan yang dialami Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika malam Isrâ’, firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya, “…atau dari belakang tabir.” (QS asy-Syûrâ [42]: 51)
 
Wahyu turun kepada Rasulullah baik beliau dalam keadaaan terbangun, seperti dalam Hadis yang diriwayatkan Aisyah yang artinya, “Kemudian malaikat datang kepadaku dan berkata, ‘Bacalah!’”, ataupun pada waktu Nabi sedang dalam keadaan tertidur seperti dalam Hadis yang juga diriwayatkan oleh Aisyah yang artinya, “Pertama kali turunnya wahyu adalah mimpi indah pada waktu Nabi tertidur”.
 
Ketujuh, wahyu yang disampaikan melalui malaikat Israfil. Yang dimaksud wahyu di sini bukanlah al-Qur’an. Karena malaikat Israfil menemani Nabi semenjak diangkat menjadi Nabi selama tiga tahun, sebelum diangkat menjadi Rasul. Sedangkan al-Qur’an sepenuhnya diturunkan melalui perantara Jibril ‘Alaihissalâm.10)
 
Kesimpulan
 
Kedua Hadis di atas menunjukkan kepada kita salah satu bentuk turunnya wahyu yang diterima Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dari kedua Hadis tersebut dapat kita mengerti bahwa menerima wahyu bukanlah hal yang gampang dan terasa ringan. Dengan gamblang Nabi menceritakan bahwa rasanya sangat berat dan sakit.
 
Dan yang perlu diperhatikan dalam redaksi Hadis di atas adalahbahwasanya pertanyaan Sahabat Hisyam Radhiyallâhu ‘anhu yang tertera dalam Hadis di atas murni bertujuan untuk ketenangan hati, serta bukanlah sebuah wujud dari keingkaran sahabat Nabi.11)
 
Catatan akhir:
1.     Dikenal dengan at-Tinnisiy karena mukim di Tinnis, wafat tahun 218 H. Tahdzibul-Kamal X/654. disepakati kredibilitasnya sebaimana komentar Imam al-Kholiliy, Tahdzibut-Tahdzib 6/80
2.     Nama lengkapnya Abu Abdillah bin Malik bin Abi Amir al-Ashbikhiy al- Madaniy. Lahir 95 H. salah satu golongan Muktsirin, meriyaytkan meriwyatkan sebayak 2630 Hadis, wafat 179 H. pada usia 94
3.     Lahir selisih empat atau lima tahun setelah kenabian, salah satu golongan Muktsirin, meriwyatkan sebanyak 2210 Hadis. Wafat malam Selasa tangaal 17 Ramadan pada tahun 58 H
4.     Hadir dalam peperangan Badar sesbagai musuh orang Islam (bersatatus Kafir), kemudian masuk Islam pada hari penaklukan Makah, beliau mempunyai 32 anak
5.     Syaikh Abdullah bin Hijazi as- Syarqawi, Fathul-Mubdiy, Darulfikr,1994, I/9
6.     Badruddin al-Aini, ‘Umdat al-Qariy, Darul kutub ‘ilmiyah ,2001, I/79
7.     Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi , Tafsir al-Baghawi, Dar Thayyibah, 1997, VII/400
8.     Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarhu an-Nawawiy ‘ala al-Muslim, Dar kotob Ilmiyah ,2000, viii/46
9.     Syaikh Abdullah bin Hijazi as- Syarqawi, Fathul-Mubdiy, Darulfikr,1994, I/ 09
10.  Lihat ‘Umdatul-Qârî Syarh Shahîhul-Bukhari, 2001, Dar Kotob Ilmiyah, vol.I hlm.79.
11.  Badruddin al-Aini, ‘Umdat al-Qariy, Darul kutub ilmiyah, I/88
 
Sumber: Pesantren Sidogiri – Pasuruan
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Sistem Pendidikan Pesantren Berbasis Karakter


Oleh Kholil Aziz
 
Pada tahun 1998 rezim orde baru tumbang kemudian diiring lembaran baru dalam dunia pendidikan kita. Capaian ini menjadi angin segar bagi perbaikan generasi bangsa melalui pendidikan nasional. Kemudian diiringi dukungan pemerintah dengan memberi pendidikan gratis, sertifikasi guru dan dosen, bantuan operasional sekolah, pembangunan madrasah bertaraf internasional.

Indonesia telah berbenah diri dalam menciptakan kualitas generasinya, pemerintah mewajibkan pendidikan sembilan tahun. Pendidikan nasional telah kembali ke jalur yang benar menjadi pelopor kebangkitan nasional mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju di dunia. Indonesia terus melaju ke tingkat internasional dengan menjuarai berbagai ajang bergengsi dibidang pendidikan.

Terlepas dari semua itu, sistem pendidikan nasional ternyata masih menyimpan segudang masalah dalam menciptakan sumber daya manusia. Contoh kecilnya adalah penerapan UN tertantang oleh prasarana pendidikan yang belum merata kuantitas dan kualitasnya di seluruh Indonesia. Selain itu pemerintah cendrung masih “otoriter” dengan memandang sebelah mata lembaga pendidikan swasta, apalagi lembaga pendidika pesantren.

Akhirnya terjadi gap antara pendidikan antara sekolah/madrasah negeri, swasta, dan pesantren; keluaran sekolah/madrasah yang belum sepenuhnya nyambung dengan dunia kerja. Alumni pesantren selalu diposisikan sebagai pak Ustadz yang seakan tak berhak untuk terjun ke dunia bisnis dan semacamnya. Kendati pun secara kualitas kemampuan santri bisa bersaing dengan jebolah sekolah negeri.

Pendidikan nasional, khususnya negeri masih jauh sekali dari nilai-nilai luhur dalam membangun mental anak didikanya; integrasi pendidikan agama ke dalam sistem pendidikan nasional yang masih jauh dari harapan. Ketimpangan ini kemudian menciptakan generasi individualis yang tak peka lingkungan.

Padahal tujuan utama diselenggarakannya pendidikan adalah untuk “mendewasakan” manusia melalui proses belajar-mengajar. Baik guru dan khususnya anak didik. Tolak ukur kedewasaan peserta didik di sini dapat dilihat dari kematangan dalam berfikir, bersikap dan bertindak. Jadi sistem penilaian terhadap siswa tidak sebatas pada angka yang cukup dikerjakan lembar-lembar ujian saja.

Dan jika hal ini bisa diterapkan dalam sistem pendidika nasional, maka yakinlah bahwa pendidikan kita sebatas meningkatkan kapasitas intelektual anak didik, tapi juga membentuk manusia seutuhnya sehingga diharapkan output yang dihasilkan dari sebuah proses pendidikan dapat mentransformasikan pengetahuan yang diserapnya untuk memperbaiki masyarakat di sekitarnya.

Semua itu bisa diperoleh di lembaga pendidikan pesantren, yang menyeimbangkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Kiranya tidak berlebihan jika kita menyebut pesantren sebagai lembaga lembaga pengajaran sekaligus lembaga pendidikan yang inten mencetak gerasai multifungsi yang bisa menerapkan sistem pendidikan agama dan pendidikan umum.

Sistem pemondokan di pesantren menjadi cari khas sekaligus keunggulan ketimbang lembaga pendidika lainnya, dan itu sudah terbukti banyak diadopsi oleh banyak sekolah negeri guna memfasilitasi siswa berprestasi. Berbagai sistem yang diterapkan di pesantren dari segi pendidikan menjadi keunggulan komparatif pesantren dibandingkan dengan sekolah atau madrasah di luar pesantren.

Sistem doktrin terhadap santri yang dianut pesantren menjadikan nilai-nilai bukan sekedar untuk diketahui namun diamalkan. Seperti halnya sosok kiai sebagai figur dalam pengamalan ilmunya. Sistem pendidikan di pesantren bertumpu pada sosok kiai, dimana nilai-nilai sudah menginternalisasi secara baik. Sang kiai mengajar dengan keteladanan dan itu adalah keunggulan pendidikan pesantren.

Pada hakikatnya pesantren era sekarang sudah jauh dari kesan kampungan yang selama ini menjadi label banyak pesantren di pinggiran kota. Pesantren pinggiran kota yang tak pernah dilirik pemerintah selama ini sudah lama berbenah diri. Sistem pendidikan pesantren salaf mongkombinasikan kurikulum tradisional dan kurikulum modern yang selama ini menjadi acuan sekolah negeri, yakni, pesantren mengagas suatu rumusan yang berbasis pada kebutuhan kontemporer. Bisa kita lihat sekarang, kebanyakan pesantren sudah memasukan pendidikan SMK dan semacamnya.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, pesantren sekrang tidak hanya mengajari kitab kuning dan bahasa arab saja pada santrinya, melainkan diberikan juga bekal bahasa inggris, ilmu komputer, dan keterampilan pelengkap lainnya. Adapun konsep kurikulum yang ditawarkan pesantren modern ini lebih mengarah pada keterpaduan antara aspek kognitif, normatif dan tetap berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam.

Perpaduan semacam ini ternyata menjawab kebutuhan masyarakat modern. Menurut Hasyim Muzadi bahwa dalam menghadapi realitas kekinian, kita tidak harus skeptis dalam menerapkan metodologi dan tidak usah mengacak-acak modernitas, atas nama keharusan perubahan itu sendiri. Tradisi menjadikan agama bercokol dalam masyarakat harus lebih kreatif dan dinamis sebab mampu bersenyawa dengan aneka ragam unsur kebudayaan. (Hasyim Muzadi: 1999).

Sebenarnya para pengamat pendidikan selama ini tidak menyadari bahwa sebenarnya pesantren telah menjadi penengah anatara sekolah swasta dan sekolah negeri yang telah memberikan dua aspek pokok dalam sekolah swasta dan sekolah negeri.

Akhir kata, penulis mau mengutip pendapat Muhammad Abduh mengenai tujuan pendidikan dalam arti luas yang mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Disini Muhammad Abduh menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan pekembangan akal tetapi juga perkembangan spiritual. Itulah solusi yang ditawarkan lembaga pendidikan pesantren.

* Pustakawan di PP Mambaul Ulum Bata-Bata, Pamekasan Madura
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>

Senin, 09 Januari 2012

Meraih Kebahagiaan Sejati (2)

Oleh. Cecep Zakarias El Bilad*
 
3. Dari mana kita berasal?
 
Jawaban pertanyaan ketiga ini terdapat dalam QS.15:28-29,

“Dan ketika Tuhanmu berkata kepada para Malaikat ‘telah Aku ciptakan sedemikian rupa jasad manusia dari onggokan tanah liat…Maka sesudah jasad itu sempurna dan Aku tiupkan ruh-Ku ke dalamnya, bersujudlah kalian padanya wahai para Malaikat.”

Dua ayat ini menggambarkan bagaimana manusia diciptakan dalam dua tahap, tahap pembuatan jasad, dan tahap pemberian ruh ke dalam jasad tersebut. Ayat ini menjadi landasan suci tesis para filsuf Muslim seperti Ibn Sina dan Al Ghazali bahwa sosok manusia itu terdiri atas dua aspek, jasad dan jiwa/ruh. Dari keduanya, jiwa-lah yang utama. Jasad hanya sebatas wadah/tempat bagi jiwa untuk bekerja. Tanpa jiwa, jasad tak lebih dari seonggok daging yang membungkus tulang-tulang dan yang berbahan dasar tanah liat. Jiwa-lah yang membuat jasad tersebut bergerak.

Malaikat yang tercipta lebih dahulu dalam ayat itu diperintahkan Allah untuk bersujud kepada manusia. Sujud di sini, seperti dikatakan al-Thabariy dan al-Baghawi, bukan penghambaan, tetapi sujud tanda penghormatan dan pemuliaan sosok manusia. Perintah tersebut diberikan setelah jasad manusia itu disempurnakan dengan dimasukkannya ruh Allah (min rûhî). Ruh di sini barang kali bisa berarti seperangkat piranti keunggulan yang dimasukkan Allah ke dalam jasad tersebut. Ruh tidak hanya membuatnya bisa bergerak, tetapi juga menyimpan potensi-potensi yang tidak dimiliki oleh malaikat dan mahluk-mahluk lain termasuk iblis yang pada ayat selanjutnya dijelaskan tidak mau bersujud.

Nyatanya, memang hanya manusia yang “mewarisi” kemampuan-kemampuan, namun dalam kapasitas yang sangat terbatas, yang hanya dimiliki Allah, seperti berkreasi, memerintah, berkasih-sayang, adil, berpikir/mengetahui, dan lain-lain. Potensi-potensi inilah yang memungkinkannya menerima kehormatan dari Allah untuk menjadi khalifah/pemimpin di muka bumi. Meskipun secara fisik manusia terbuat dari tanah, keunggulan-keunggulan ruhani inilah yang barang kali menjadi alasan mengapa malaikat dan iblis diperintahkan sujud hormat kepada manusia. Aspek imateri dari manusia ini tidak dilihat oleh iblis sehingga dia menolak untuk bersujud. Iblis hanya melihat aspek fisikal manusia dari tanah yang menurutnya tidak lebih mulia dari dirinya yang tercipta dari api. Maka bisa dimengerti mengapa para Sufi dan filsuf Muslim memberikan perhatian besar pada persoalan jiwa ini. Bagi mereka, manusia sejatinya adalah dia yang bersemayam di balik wujud fisiknya. Wujud fisik tersebut hanya sebatas media untuk hidup di alam fisik ini. Bahkan bagi Suhrawardi, seorang filsuf Muslim abad ke-12, jasad itu seperti penjara. Manusia tak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati sebelum dia benar-benar keluar dari jasadnya. Baginya, jasad adalah penjara yang pengap.

4. Akan ke mana kita esok hari?

Untuk pertanyaan terakhir ini, banyak sekali ayat yang bisa dirujuk. Beberapa di antaranya adalah:
QS.29:57
“Setiap esensi pasti akan musnah. Semuanya akan kembali pada Kami”

QS. Yunus:56
“Dia lah yang menghidupkan dan mematikan. Kepada-Nya kalian akan kembali (dikembalikan).”
 
QS. Ali Imran:83
“Apakah mereka mencari jalan keimanan lain selain jalan Allah. Padahal, kepada-Nya segala apa yang di langit dan di bumi berserah diri dengan rela maupun terpaksa. Dan kepada-Nya semua itu pasti akan kembali (dikembalikan).”

Lepas dari konteks pembicaraannya masing-masing, ketiga ayat ini memiliki sebuah titik temu bahwa, segala sesuatu di alam raya ini, benda maupun peristiwa, berjalan menuju arah yang sama, yaitu Dia, Allah. Artinya bahwa, keberadaan kita, alam raya dan seluruh isinya, bukan keberadaan yang mutlak dan abadi. Awalnya, kita dan semuanya itu adalah tidak ada, lalu menjadi ada seperti saat ini. Akhirnya akan kembali menjadi tidak ada, mati, musnah.

Tiga ayat tersebut menginformasikan, bahwa proses keberadaan-ketidakberadaan ini tidak berlangsung sendiri. Tetapi ada subjek yang menjalankannya. Bahwa segala sesuatu menjadi ada berarti ada yang mengadakan. Dan bahwa segala sesuatu tersebut akan lenyap berarti ada yang melenyapkan. Ini terlihat pada kalimat “turja’ûn” dan “yurja’ûn” pada ketiga ayat itu. Keduanya adalah kalimat pasif bermakna “kalian dikembalikan” dan “mereka dikembalikan”. Siapa yang mengembalikan? Dia-lah Allah. Sebab dari semua yang ada, semua yang hidup dan semua yang mati. Dia-lah yang ada secara mutlak. Dia ada tanpa sebab, karena Dia-lah sebab itu sendiri. Dia-lah al-Awwal dan al-Âkhir, dan selain Dia adalah hadîts (baru).

Dalam konteks manusia dan mahluk hidup lainnya, akhir dari kehidupan adalah mati. Sementara kehidupan sendiri, seperti dalam uraian pertanyaan ketiga, tak lain adalah kondisi bersatunya jiwa dengan jasad materi. Bersatunya dua wujud tersebut terjadi di tempat yang disebut alam dunia. Maka mati sesungguhnya adalah saat dimana jiwa keluar/dikeluarkan (yurja’u) dari jasadnya. Setelah terpisah dari jiwanya, jasad menjadi tak lebih dari onggokan daging yang akan segera membusuk. Allah kemudian melalui Nabi-Nya mengajarkan untuk menguburkan jasad tersebut, agar segera kembali ke wujudnya semula, tanah.

Sementara jiwa ditempatkan Allah di alam ruh guna menjalani proses ‘kehidupan’ selanjutnya. Ada banyak fase kehidupan, seperti diinformasikan dalam al-Quran dan Hadits. Kiamat menjadi titik akhir seluruh kehidupan alam semesta ini. Sampai di sini para ahli berbeda pendapat apakah saat tersebut adalah akhir dari kehidupan alam jasad/materi maupun ruh, atau hanya jasad; juga mereka berselisih apakah fase kehidupan pasca kiamat itu adalah kehidupan jiwa plus jasad atau jiwa semata. Hanya Dia yang mengetahui dan berkuasa ke mana dan bagaimana ciptaan-Nya akan dikembalikan.

Lautan Jiwa

Dalam karya sufistiknya the Garden of Truth, Seyyed Hussein Nasr mengatakan “life is a journey” hidup ialah sebuah perjalanan. Perjalanan hidup manusia terjadi di ruang bernama alam dunia. Sementara alam dunia sendiri bergerak menuju suatu arah. Dan perjalanan hidup manusia beriringan dengan perjalan hidup alam dunia ini. Semua berjalan dari tidak ada menjadi ada, dan akan kembali menjadi tidak ada. Pada saat ketiadaan alam semesta ini yang ada hanya Dia. Namun Dia tetap ada ketika saat ini alam semesta itu ada. Seperti diurai di atas, Dia adalah sumber dari semua keberadaan (the Source of all existence). Dia ada dengan diri-Nya sendiri, tanpa sebab, tanpa permulaan, tanpa akhir. Dia yang menciptakan, dan dia pula yang menghancurkan. Dia yang tak diciptakan dan tak mengenal hancur.

Kehidupan manusia dan kehidupan alam semesta, kembali menurut Nasr, ialah ibarat perjalanan berputar. Bertolak dari satu titik, berjalan, terus berjalan, dan akan kembali pada titik semula. Artinya, bahwa yang ada mutlak dan pasti itu (Wâjib al-Wujûd/Necessery) hanya satu, Allah. Sementara semua wujud yang lain bertolak dari wujud mutlak tersebut. Wujud-wujud lain tersebut adalah wujud yang tidak pasti (mumkin al-wujûd/possible), imanen, fana, temporal. Wujud-wujud ini pada waktunya akan kembali pada Wujud Satu yang Mutlak itu. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa Allah itu adalah sebuah wujud materi seperti titik. Perumpamaan ini sebatas upaya untuk mempermudah penggambaran tentang hakekat kehidupan, meski bukan perumpamaan yang sempurna sebab Allah memang tidak berpadanan (mukhâlafah li al-hawâdits).

Kembali pada ‘dunia’ manusia. Titik tolak kehidupan manusia tentunya adalah saat kelahiran, dan titik akhirnya adalah kematian. Dan persis pada saat ini, kita tengah berjalan di garis antara dua titik tersebut. Garis yang kita namakan sebagai ‘kehidupan’. Tuhan kemudian menginformasikan tentang tujuan penciptaan kita manusia untuk beribadah, baik dalam arti umum seperti diurai di atas maupun khusus berupa ritual-ritual. Perintah ini sejatinya bermakna zikir. Ini merupakan cara Tuhan memperingatkan manusia agar selalu ingat akan hakekat serta tujuan penciptaan dirinya dan alam semesta. Konteks pembicaraan surat Al-Dzariat: 56 sendiri adalah tentang betapa umat manusia zaman para nabi terdahulu lupa akan hakekat diri dan alam semesta. Mereka tidak lagi mengenal siapa Tuhannya. Diutusnya para rasul mengemban misi mengembalikan kesadaran mereka akan hakekat semua itu. Kisah ini menjadi pengajaran bagi umat Nabi Muhammad SAW agar tersadar dan tidak terjerembab ke dalam perangkap yang sama.

Kesadaran ini akan mengangkat manusia dari jebakan-jebakan perjalanan hidup: kegemerlapan, kesenangan, kemewahan, kenyamanan, dan lain-lain, yang semuanya itu semu belaka. Sebab hidup sebagai perjalanan berarti bahwa, tidak ada yang lebih berharga selain perjalanan itu sendiri. Segala hal yang dialami, dirasakan dan dimiliki selama perjalanan tidak lebih dari sekedar sesuatu yang bisa diceritakan setelah perjalan berakhir. Namun memang, cara kita melewati semuanya itu tidak hanya berbekas sebagai kesan, tetapi juga menjadi penilaian yang menentukan nasib kita kelak di perjalanan hidup di alam selanjutnya.

Secara praktis, memaknakan hidup sebagai perjalanan berarti bahwa seluruh yang kita miliki, dan yang kita nikmati di alam raya ini selayaknya diorientasikan semata kepada penghambaan (ibadah) tulus kepada Allah SWT: uang, kendaraan, jabatan, tanah, rumah, pakaian, alat-alat olahraga, udara, anak, istri, dan lain sebagainya. Ini semua sebagai ‘ongkos’ dan sarana yang disediakan Allah untuk kita semua dalam melaksanakan misi perjalanan dunia ini (QS.16:4-16). Oleh Sang Pemberi misi, semuanya kelak di Hari Pengadilan akan dimintai pertanggungjawaban. Al-Quran dan Sunnah sudah secara lengkap menghimpun berbagai prinsip, hukum dan tips agar selamat dalam perjalanan. Kembali pada masing-masing kita, sejauh mana mau mempelajari, memahami dan berkomitmen merefleksikannya dalam pikiran, sikap dan tindakan.

Akhirnya dapat dirumuskan, bahwa kesadaran hidup sebagai sebuah perjalanan menjadi kunci menggapai kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang lahir dari pengetahuan akan hakekat penciptaan kehidupan, serta kejujuran menerima pengetahuan tersebut sebagai kebenaran sejati. Kesadaran ini menjadi modal filosofis untuk merumuskan pikiran, sikap dan langkah menghadapi setiap jengkal hari. Dari sini kita dapat menyusun cita-cita, target dan skala prioritas dalam hidup dan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di dalamnya: mana yang diperlukan dan mana yang tidak; mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang harus, boleh, tidak boleh; mana yang harus didahulukan dan mana yang harus diakhirkan; dan seterusnya.

Kebahagiaan di sini ialah kerelaan jiwa terhadap setiap potensi dan kekurangan yang dimiliki, kondisi yang dirasakan, peristiwa yang menimpa dan persoalan yang menghadang. Kerelaan ini memancar dari jiwa yang tersinari oleh pengetahuan akan hakekat kehidupan. Dan dari jiwa yang yakin bahwa Allah telah menganugerahkan bumi dan isinya untuk kebutuhan para musafirnya. Bagi jiwa yang rela ini, tak seorang musafir bumi pun yang diutus tanpa perbekalan. Allah mengetahui tingkat kebutuhan dan kemampuan setiap musafir-Nya. Dia menganuerahkan perbekalan tersebut dengan jumlah dan kualitas yang beragam, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Dia tahu persis akan hal itu. Dia-lah yang Adil sejati. Sehingga bagi musafir yang rela itu, banyak sedikit perbekalan yang dianugerahkan tidak menjadi masalah: banyak tidak melenakan; sedikit tidak menyengsarakan. Baginya, tidak ada yang lebih berharga dari perjalanan itu sendiri. Perjalanan dengan tunduk pasrah dan tulus menuju sumber dari segala keberadaan.

Dengan kata lain, jiwa yang rela memandang hidup ini bukan sebagai buku kosong, tetapi sebagai buku yang setiap halamannya dihiasi kisah-kisah. Dengan kerelaan, jiwa akan memfokuskan konsentrasinya pada setiap kisah yang tersaji. Baginya, kesuksesan menangkap makna setiap kisah tersebut menjadi kunci sukses memahami keseluruhan isi buku tersebut. Sebuah buku yang menghadirkan kisah-kisah tentang kemiskinan, penyakit, kecelakaan, kegagalan, musibah, dan juga tentang kekayaan, kesuksesan, kesehatan, kesejahteraaan, kekuasaan, kecantikan, ketampanan, kecerdasaan, popularitas, dan lain sebagainya.

Setiap jiwa memiliki kisahnya masing-masing, dengan tema-tema yang beragam antara satu jiwa dengan lainnya. Jiwa yang rela tak akan terlena dengan satu atau dua kisah saja. Dia akan semangat menyelami setiap kisah hingga halaman akhir hidupnya.

Sebaliknya, jiwa yang tidak rela akan terlena pada satu atau dua kisah saja. Kisah yang melenakan ini biasanya yang bertema jenis kedua di atas, kekayaan, kesehatan, kesejahteraan, popularitas. Dia tidak mampu memahami pesan dalam kisah-kisah lainnya, karena konsentrasinya hilang, tertinggal di satu kisah yang lampau itu. Ketidakmampuan yang berbuah kesengsaraan (hidup). Dia lupa, dan benar-benar lupa bahwa, mau tidak mau, dia harus membaca seluruh isi buku hidupnya. Dia juga lupa, bahwa ada banyak buku kehidupan yang harus (pasti) dia baca. []

* Penulis adalah Anggota LDNU PCNU Kab.Bogor; Mahasiswa Pascasarjana Islamic Philosophy di the Islamic College of Advanced Studies (ICAS) Jakarta.
Silahkan Baca Selanjutnya...!Foswan tetap oke!>>