Rabu, 11 Januari 2012

Wahyu Ilahi terhadap Hamba-HambaNya


Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin bahwa, sahabat Harist bin Hisyam Radhiyallâhu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasul, bagaimana cara datangnya wahyu kepadamu?”
 
Nabi menjawab, “Kadang wahyu tersebut sampai kepadaku seperti bunyi lonceng dan cara turun wahyu sedemikian ini terasa paling berat bagiku, kemudian aku merasa ketakutan, dan sungguh aku dapat menghafal apa yang telah disampaikan malaikat kepadaku. Dan kadangkala malaikat mengubah wujudnya menjadi sosok seorang laki-laki, kemudian berucap kepadaku, sehingga aku hafal apa yang ia katakan.”
 
Wahyu merupakan hal yang sangat sakral, tidak sembarang orang menerimanya, makhluk yang dipilih untuk menerima wahyu berarti makhluk yang luar biasa, diantaranya adalah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
 
Turunnya wahyu kepada sang Baginda Rasulullah melalui bermacam-macam cara. Kadang melalui mimpi, kadang juga datang kepada beliau dalam keadaan terjaga.
 
Nabi kita Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ketika wahyu turun, mengalami semacam kepayahan, keningnya bercucuran meskipun saat itu kondisinya sangatlah dingin. Aisyah berkata, “Sungguh aku melihat wahyu diturunkan kepadanya pada waktu sangat dingin sehingga mengakibatkan Nabi ketakutan dan keningnya bercucuran keringat.” (H. al-Bukhari).
 
Rawi-Rawi Hadis
 
Perawi Hadis yang terlibat dalam periwayatan hadis ini sebanyak enam rawi, yaitu:
1) Abdullah bin Yusuf al-Mishriy at-Tinnisiy1), 2) al-Imam Malik2), 3) Abul Mundzir, Hisyam bin Urwah bin az-Zubair bin al-Awam al-Qurasyi al-Asadi, 4) Abu Abdillah, Urwah yang tak lain adalah Ayah Shahabat Hisyam (urutan kedua perawi Hadis ini), 5) Ummul Mukminin Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq Radhiyallâhu ‘anhu.3), 6) Al-Harist bin Hisam bin al-Mughirah bin Abdillah bin Makhzum4), saudara kandung Abu Jahal.
 
Untuk kapasitas dan kwalitas Hadis di atas, baik yang berkenaan dengan para perawinya atau yang berkenaan dengan matannya tidak perlu dipermasalahkan, sebab Hadis ini sudah diteliti oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dan keduanya mencantumkan Hadis tersebut dalam karyanya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan Ulama sudah sepakat dan mengamini kwalitas dan tingkat akurasi kedua kitab Shahih tersebut.
Wahyu ataukah Ilham?
 
Wahyu adalah sebuah penjelasan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ kepada Nabi-Nya secara samar atau tersembunyi. Wahyu menurut istilah syariat adalah penjelasan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang ditujukan kepada Nabi-nabiNya atas suatu hal, adakalanya berupa Kalam, Risalah via malaikat, dan lain sebagainya, baik ketika tidur atau terjaga. Kadang kala kata “wahyu” ini diartikan sebagai barang (materi) yang diwahyukan. Arti sedemikian ini bila lihat dengan kacamata ilmu Balaghah merupakan bagian dari sastra Arab yang berupa bentuk kata mashdar (pekerjaan/proses). Tapi yang dimaksud adalah maf’ûl (obyek) atau sesuatu yang diwahyukan. Jadi kata “wahyu” berarti sesuatu yang diwahyukan kepada rasul-Nya. Hal ini mencakup al-Qur’an dan Hadis sebagaimana dalam firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya5): “Ucapan (Muhammad) itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS an-Najm [35]: 04) Kata “wahyu” memiliki beberapa pengertian serta bentuk tergantung dengan kalimat apa kata tesebut dikaitkan. Jika kata wahyu dikaitkan atau disandingkan dengan kata “Nabi” atau “Anbiya’” (para nabi), maka mempunyai tiga bentuk6):
 
Pertama, wahyu yang ditransfer kepada nabi-Nya yang berupa kalam qadîm seperti yang pernah dialami oleh Nabi Musa ‘Alaihissalâm di Bukit Tursina (Gunung Sina). Kedua, wahyu yang tersampaikan kepada nabi melalui perantara malaikat, seperti dalam firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya, “…atau mengutus seorang utusan (malaikat)..” (QS asy-Syûrâ [42]: 51). Dan Ketiga, wahyu menghembus ke dalam hati Nabi, sesuai dengan Hadis Nabi : “Innar-Rûh al-Quddûs nafatsa fî rau‘î ay nafsî”. Artinya, “Sesungguhnya malaikat jibril meniupkan pada hatiku.”
 
Dalam Hadis di atas, kata “rau’î” ditafsiri dengan kata “nafsi” yang artinya hatiku. Menurut sebagian pendapat bentuk wahyu yang ketiga ini juga dialami oleh Nabi Daud ‘Alaihissalâm.
 
Lain halnya bilamana kata “wahyu” disandingkan dengan kata selain kata “Anbiya’” maka kata wahyu tersebut mempunyai arti ilham. Seperti wahyu Allah Subhânahu wa ta‘âlâ kepada lebahdalam firman Allah yang artinya, “Dan tuhanmu mewahyukan pada lebah…” (QS an-Nahl [16]: 68)7)
 
Bentuk Turunnya Wahyu
 
Imam as-Suhaili memaparkan dengan jelas bahwa kata “wahyu” mempunyai tujuh bentuk, yaitu:
 
Pertama, mimpi (manâm) seperti yang diriwayatkan Aisyah yang artinya, “Pertama kali turunnya wahyu adalah mimpi indah pada waktu Nabi tertidur…” (HR al-Bukhari)
 
Kedua, kedatangan wahyu seperti bunyi sebuah lonceng, seperti dalam Hadis di atas. Ulama berpendapat bahwa cara turunnya wahyu yang sedemikian mempunyai hikmah yang tersimpan, yaitu menarik dan memfokuskan perhatian Nabi dari hal-hal lain.8)
 
Ketiga, datangnya wahyu merasuk ke dalam hati Nabi. Bentuk ini sejalan dengan pembagian wahyu yang ketiga.
 
Keempat, malaikat menjelma menjadi sesosok manusia. Seperti Hadis di atas. Pernah suatu ketika malaikat menjelma menjadi Sahabat Dihyah bin Khalifah al-Kalbi. Sahabat Dihyah adalah Sahabat yang paling tampan di antara sahabat-sahabat yang lain. Dengan alasan itu pula malaikat yang menjelma sahabat Dihyah memilih untuk menutupi wajahnya dengan sehelai kain supaya terhindar dari ketertarikan kaum Hawa.9)
 
Kelima, Malaikat Jibril memperlihatkan sosok seperti wujud aslinya dengan perlengkapan sayap yang berjumlah 600 dan menyajikan barang yang dianggap sangat berharga di kalangan manusia, yaitu sebuah lu’lu’ (permata) dan Yaqut.
 
Keenam, Allah Subhânahu wa ta‘âlâ memperdengarkan suara dari belakang hijâb. Kejadian ini sama persis yang dialami Nabi Musa ‘Alaihissalâm di sebuah Bukit Tursina (Gunung Sinai). Allah Subhânahu wa ta‘âlâ berfirman yang artinya, “…Dan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ telah bebicara kepada Nabi Musa ‘Alaihissalâm dengan langsung” (QS an-Nisa’ [04]: 164). Dan yang dialami Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika malam Isrâ’, firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya, “…atau dari belakang tabir.” (QS asy-Syûrâ [42]: 51)
 
Wahyu turun kepada Rasulullah baik beliau dalam keadaaan terbangun, seperti dalam Hadis yang diriwayatkan Aisyah yang artinya, “Kemudian malaikat datang kepadaku dan berkata, ‘Bacalah!’”, ataupun pada waktu Nabi sedang dalam keadaan tertidur seperti dalam Hadis yang juga diriwayatkan oleh Aisyah yang artinya, “Pertama kali turunnya wahyu adalah mimpi indah pada waktu Nabi tertidur”.
 
Ketujuh, wahyu yang disampaikan melalui malaikat Israfil. Yang dimaksud wahyu di sini bukanlah al-Qur’an. Karena malaikat Israfil menemani Nabi semenjak diangkat menjadi Nabi selama tiga tahun, sebelum diangkat menjadi Rasul. Sedangkan al-Qur’an sepenuhnya diturunkan melalui perantara Jibril ‘Alaihissalâm.10)
 
Kesimpulan
 
Kedua Hadis di atas menunjukkan kepada kita salah satu bentuk turunnya wahyu yang diterima Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dari kedua Hadis tersebut dapat kita mengerti bahwa menerima wahyu bukanlah hal yang gampang dan terasa ringan. Dengan gamblang Nabi menceritakan bahwa rasanya sangat berat dan sakit.
 
Dan yang perlu diperhatikan dalam redaksi Hadis di atas adalahbahwasanya pertanyaan Sahabat Hisyam Radhiyallâhu ‘anhu yang tertera dalam Hadis di atas murni bertujuan untuk ketenangan hati, serta bukanlah sebuah wujud dari keingkaran sahabat Nabi.11)
 
Catatan akhir:
1.     Dikenal dengan at-Tinnisiy karena mukim di Tinnis, wafat tahun 218 H. Tahdzibul-Kamal X/654. disepakati kredibilitasnya sebaimana komentar Imam al-Kholiliy, Tahdzibut-Tahdzib 6/80
2.     Nama lengkapnya Abu Abdillah bin Malik bin Abi Amir al-Ashbikhiy al- Madaniy. Lahir 95 H. salah satu golongan Muktsirin, meriyaytkan meriwyatkan sebayak 2630 Hadis, wafat 179 H. pada usia 94
3.     Lahir selisih empat atau lima tahun setelah kenabian, salah satu golongan Muktsirin, meriwyatkan sebanyak 2210 Hadis. Wafat malam Selasa tangaal 17 Ramadan pada tahun 58 H
4.     Hadir dalam peperangan Badar sesbagai musuh orang Islam (bersatatus Kafir), kemudian masuk Islam pada hari penaklukan Makah, beliau mempunyai 32 anak
5.     Syaikh Abdullah bin Hijazi as- Syarqawi, Fathul-Mubdiy, Darulfikr,1994, I/9
6.     Badruddin al-Aini, ‘Umdat al-Qariy, Darul kutub ‘ilmiyah ,2001, I/79
7.     Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi , Tafsir al-Baghawi, Dar Thayyibah, 1997, VII/400
8.     Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarhu an-Nawawiy ‘ala al-Muslim, Dar kotob Ilmiyah ,2000, viii/46
9.     Syaikh Abdullah bin Hijazi as- Syarqawi, Fathul-Mubdiy, Darulfikr,1994, I/ 09
10.  Lihat ‘Umdatul-Qârî Syarh Shahîhul-Bukhari, 2001, Dar Kotob Ilmiyah, vol.I hlm.79.
11.  Badruddin al-Aini, ‘Umdat al-Qariy, Darul kutub ilmiyah, I/88
 
Sumber: Pesantren Sidogiri – Pasuruan

1 komentar:

  1. Alhamdulillah, ilmu berharga kita terima dengan gamblang, detail, bersumber akurat, patut juga dipahami kaum muslim yang bukan NU agar mengerti bahwa dalil hukum NU bersanad kuat. Namun bagi yang dengki, kebaikan dan kebenaran sekalipun bersumber dari Allah belum tentu diterima mereka selagi hasut, fitnah, 'ujub dan penyakit hati dipelihara dalam diri mereka.

    BalasHapus

jika ada kesulitan,permasalahan prihal tulisan diatas atau kritik serta saran, kami mohon agar komentar di bawah ini. atas nama redaksi mohon maaf atas kekurangannya. pepatah lama mengatakan"tiada gading yang tak retak".