Sabtu, 09 Juli 2011

ASSUNNIYYAH

19 RABIUL TSANI 1432 / 24 MARET 2011                                                                                                                         -EDISI 002 TAHUN I
AHLUSUNNAH WAL JAMA'AH (2)
Oleh: DR. KH. MA. Sahal Machfudh
Ketua Umum MUI
Dalil-Dalil Ahlusunnah Wal Jama'ah
Secara historis, para imam aswaja di bidang aqidah atau Kalarn telah ada sejak zaman Sahabat Nabi sebelum Mu'tazilah ada. Imam aswaja di zaman itu ialah Ali ibn Abi Thalib Karramallahu Wajhah, karena jasanya telah membendung pendapat Khawarij tentang al-wa'd wa al-wa'id dan membendung pendapat Qadariyah tentang kehendak Tuhan (masyiah) dan daya manusia (istitha'ah) serta tentang kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat manusia. Kemudian juga Abdullah ibn Amr lantaran penolakannya terhadap pendapat kebebasan berkehendak manusia dari Ma'bad al-Juhani. Di masa Tabi'in ada beberapa imam dengan misi yang sama seperti di masa Sahabat yang berhasil mengarang beberapa kitab untuk kepentingan misinya itu. Para imam itu ialah Umar ibn Abdul Azis dengan karyanya "Risalah Balighah fi al-Raddi a/a al-Qadariyah", Zaid ibn Ali Zain al-Abidin, Hasan al-Basri, al-Sya'bi dan al-Zuhri. Sesudah generasi ini muncul seorang imam, Ja'far ibn Muhammad al-Shadiq. Dari para fuqaha dan imam mazhab fiqh juga ada para imam Kalam aswaja seperti Abu Hanifah dan al-Syafi'i. Abu Hanifah di bidang ini berhasil menyusun sebuah karya untuk meng-counter al-Qadariyah berjudul "al-Fiqh al-Akbar". Sedangkan al-Syafii berhasil menyusun dua kitab : "Fi Tashhih al-Nubuwwah wa al-Radd ala al-Barahimah" dan "al-Radd ala al-Ahwa". Setelah periode Imam Syafii ada beberapa muridnya yang berhasil menyusun paham akidah aswaja di antaranya ialah Abu al-Abbas ibn Suraidj, populer sebagai ulama pengikut Imam Syafii paling menguasai di hidang ini. Generasi imam dalam Kalam aswaja sesudah itu diwakili oleh Imam Abu Hasan al-Asy'ari yang populer disebut-sebut sebagai salah seorang penyelamat akidah keimanan, lantaran keberhasilannya membendung paham Mu'tazilah.
Dari benang merah mata rantai data dan sekaligus sebagai dalil historis itu dapat dipahami bahwa akidah aswaja secara substantif telah ada sejak zaman Sahabat. Artinya bahwa paham akidah aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam Abu Hasan al-Asy'ari. Tetapi Imam Abu Hasan al-Asy'ari adalah salah satu di antara imam akidah aswaja yang telah berhasil menyusun doktrin paham akidah aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman (mazhab) akidah aswaja yang secara terminologi diakui sebagai paham atau mazhab resmi umat Islam. Secara teks, ada beberapa hadits yang dapat menjadi dalil tentang paham aswaja sebagai paham yang menyelamatkan umat Islam dari neraka, dan juga yang dapat menjadi pedoman pengertian substantif paham aswaja. Di antara teks hadits aswaja ialah:
Rasulullah SAW bersabda : " .......... umatku akan pecah menjadi 73 golongan, hanya salah satu golongan saya yang masuk surga sedangkan 72 golongan yang lain akan masuk neraka” lalu saya bertanya siapa mereka ya Rasulullah? Jawab rasulullah Ahlussunnah Wal Jama'ah. Hadist  at Thabrani. Dari Anas, bahwa Nabi SAW bersabda, "Bani Israil telah pecah menjadi 73 golongan, dan umatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya: "Siapakah golongan itu, wahai Rosulullah?", Jawab Rosulullah: "Ialah golongan yang melaksanakan Islam seperti aku dan sahabatku melakukannya." Rosulullah SAW bersabda, "Umatku akan pecah menjadi 73 aliran, semuanya di neraka kecuali satu aliran", Para sahabat bertanya, "Ya Rosulullah, apakah aliran yang menang (selamat) itu?" Jawab beliau, "Ahlussunnah Wal Jamaah", Rosulullah ditanya lebih jauh: "Apa sunna dan jamaah itu?" Rosulullah menjawab : "Ia adalah aliran yang aku ikuti dan diikuti para sahabat." Teks hadits tentang iftiroq al-ummah ini sanadnya banyak, sehingga ulama pun berbeda pendapat mengenai sahnya hadits tentang iftiroq ini dan karenanya tidak dapar dijadikan dalil. Di antara ulama itu ialah Abu Muhammad ibn Hazam pengarang kirab 'Al-Fasl fi al-Milal wa al-Nihal. Tapi banyak juga ulama yang menerima hadits ifriraq ini karena hadirs ini diriwayarkan o!eh banyak Sahahat Nabi SAW, seperti Anas ibn Malik, Abu Hurairah, Abu Darda, Jahir, Abu Said al-Khudriy dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud iftiraq da!am konreks hadits ini ialah perbedaan dalam pokok-pokok aqidah. Karena hal inilah yang akan menyelamatkan manusia dri neraka apabila hal itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dan Sahabatnya. Jadi inti dan paham aswaja, seperti juga terdapat dalam teks dalil hadits yang nomor tiga ialah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW dan penunjuk Sahabarnya. Karena itu sah-sah saja jika ada upaya ijtihad merumuskan kembali paham aswaja apabila ternyata rumusan paham aswaja oleh para ulama terdahulu memiliki bobot yang kurang relevan dengan makna yang rersirat, dari dalil-dalil aswaja.
Sejarah Lahir Aswaja
Paling rnudah dalam ................. bersambung di edisi ke-3)





Di antara anugerah Allah kepada umat Nabi Muhammad adalah adanya pahala yang tidak putus bagi orang yang meninggal dunia, baik kerena amal sholih yang ia lakukan ketika masih hidup maupun amal sholeh atau shodaqoh orang yang masih hidup yang pahalanya diniatkan untuknya.
Tapi tidak seluruh umat Islam sepakat atas anugerah ini. Ada sebagian di antara mereka yang mengingkarinya. Mereka berpendapat bahwa orang yang meninggal dunia sama sekali tidak memperoleh manfaat dari amal orang yang masih hidup kerena ketika seseorang meninggal ia hanya memperoleh pahala dari amal sholeh yang ia lakukan semasa hidup.
Asy Syaukani (w. 1255 H) – yang pemikirannya banyak dipuja orang yang menolak kirim pahala – mengatakan bahwa orang-orang Mu’tazilah Salah satu sekte dalam Islam yang digolongkan sebagai ahli bid’ah karena menganggap Al-Qur’an sebagai makhluk dan akal sebagai instrumen mutlak untuk menentukan kebenaran. Sekte ini dipelopori oleh Washil bin ‘Atha  berpendapat bahwa ibadah apapun, pahalanya tidak akan sampai ke mayit. Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nail al Authaar, Kairo, Daar al Hadiits, 2005 M/1426 H, jilid II, h. 543
Dr. Ali Jum’ah – salah seorang Mufti Mesir yang produktif – dalam  kitab Al Bayaan li maa Yusyghil Al Adz-haan mengutip pendapat Ibnu Qudaamah Al Maqdisi yang menuliskan bahwa pendapat yang mengatakan amal sholeh bisa bermanfaat untuk orang yang meninggal dunia adalah merupakan ijma’ ulama, selanjutnya ia berkata :
“Ibadah apapun yang dilakukan seseorang kemudian ia menjadikan pahalanya untuk mayit yang beragama Islam maka pahala tersebut bermanfaat bagi mayit insya Allah” Dr. Ali Jum’ah, Al Bayaan lima Yusyghil Al Adz-haan, Kairo, Al Muqaththam, tt, h.  274
Jadi, jika pendapat tersebut merupakan ijma, maka berarti hampir seluruh ulama bersepakat. Arti ijma adalah kesepakatan para ahli ijtihad umat ini (umat Muhammad) terhadap suatu hukum syar’i di suatu zaman. Muhammad Khadhori Bik, Ushuul al Fiqh, Beirut, Daar al Fikr, 1988 M/1409, h. 271 Oleh karenanya jika ada ulama yang berbeda pendapat, jumlahnya, sangat sedikit (naadir) atau bahkan tidak ada sama sekali.
Demikian pula orang yang berpendapat bahwa amal sholeh orang yang hidup pahalanya tidak bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal jumlahnya sangat sedikit.
Dalil-Dalil Bahwa Amal Orang Hidup Bermanfaat Untuk Orang Mati
Orang-orang yang berkeyakinan bahwa amal sholeh orang yang masih hidup pahalanya akan sampai atau bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal dunia mendasari pendapat mereka dengan dalil-dalil di bawah ini :
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Ya Rasulullah! Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Aku mengira jika ia sempat berbicara tentu akan (berwasiat) shadaqoh, apakah ia akan memperoleh pahala jika aku bershodaqoh atas namanya?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya” (Hadits Shohih riwayat Bukhori no : 1388 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori, Shohih Al Bukhori, Kairo : Ad Daar Adzahabiah, tt, h: 287 Muslim no : 1004) Abu al Husain Muslim bin al Hajaj al Qusairi an Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut, Daar al Fikr, 1992), Juz I, h. 444
Dalam hadits ini mengandung pengertian bahwa bershodaqoh atas nama mayyit bermanfaat untuknya dan pahalanya sampai kepadanya. Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawi Ad Dimasyqi, Shohih Muslim bin Syarh Al Nawawi, Beirut : Daar al Fikr, 2000 M/1421 H
Tapi shodaqoh dalam hadits tersebut tidak dikemukakan secara khusus dalam bentuk apa dan bagaimana, jadi bersifat umum dan mutlak.
Jika begitu, ibadah apa yang dianggap termasuk shodaqoh? Hadits di bawah ini menjelaskan jawaban atas pertanyaan ini!
Artinya :
Diriwayatkan dari Hudzaifah r.a. dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, “Tiap-tiap kebaikan adalah shodaqoh” (Hadits riwayat Muslim no. 1005) Abu al Husain Muslim bin al Hajaj al Qusairi an Naisaburi, Shahih Muslim, Juz II, h : 445
Dengan hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa semua perbuatan yang dianggap baik adalah shodaqoh termasuk sholat, membaca Al-Qur’an, dzikir, memberi makanan, puasa dan lain-lainnya.
Pengertian tersebut didukung oleh Hadits di bawah ini :
Diriwayatkan dari Abu Dzar r.a. bahwa sesungguhnya sekelompok orang diantara sahabat-sahabat Nabi SAW berkata kepadanya, “Ya Rasulullah orang-orang kaya pergi dengan berbagai pahala, mereka sholat seperti kami sholat, mereka berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka bisa bershodaqoh dengan kelebihan harta mereka”. Nabi bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang bisa kalian shodaqohkan? Sesungguhnya tiap-tiap tasbiih (membaca subhanallah) adalah shodaqoh, tiap-tiap takbiir (memabaca Allahuakbar) adalah sodaqoh, tiap-tiap tahliil (membaca laa ilaaha illallah) adalah sodaqoh, dan pada kemaluan diantara kamu juga ada sodaqohnya” Mereka berkata, “Ya Rasulullah apakah jika diantara kami memenuhi syahwatnya (melakukan hubungan suami istri) maka dapat pahala?” Nabi menjawab, “Bagaimana menurut pendapat kalian kalau syahwat itu di tujukan pada perbuatan yang haram apakah hal tersebut berdosa? Demikian pula jika syahwat itu ditujukan pada yang halal tentu akan mendatangkan pahala” (Hadits shohih Muslim no. 1000, 1007).  Abu al Husain Muslim bin al Hajaj al Qusairi an Naisaburi, Shahih Muslim, Juz II, ibid.
Semakna dengan hadits diatas adalah hadits dibawah ini :
Dari Aisyah r.a. ia berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya diciptakan pada tiap-tiap manusia keturunan Adam berupa tiga ratus enam puluh persendian. Maka barang siapa bertakbir kepada Allah (mengucapkan Allahu Akbar), memuji Allah (mengucapkan Alhamdulillah), bertahlil kepada Allah (mengucapkan Laaillaha illah), mensucikan Allah (membaca Subhaanallah), memohon ampun kepada Allah, menepikan batu di jalan yang dilalui manusia, atau duri, atau tulang dan memerintahkan kebaikan serta melarang kemungkaran sejumlah tiga ratus enam puluh jumlah persendian maka sesungguhnya dia pada saat tersebut telah menjauhkan dirinya dari neraka” (Hadits shohih riwayat Imam Muslim no : 1007)  Abu al Husain Muslim bin al Hajaj al Qusairi an Naisaburi, Shahih Muslim, Juz II, ibid.
Dua Hadits tersebut menjelaskan bahwa makna shodaqoh sangat luas cakupannya, yaitu antara lain mengucapkan kalimat-kalimat yang mentauhidkan dan mengagungkan Allah. Imam Al Qurthubi berkata, “Bahwa dengan makna yang luas seperti itu maka membaca Al-Qur’an, berdo’a dan beristigfar (memohon ampun) pahalanya akan sampai ke mayyit karena semuanya juga termasuk sodaqoh. Dan sesungguhnya, sodaqoh itu tidak tertentu hanya dengan harta”.  Al Imam Al Qurthubi, Al Tadzkirah fi Ahwaal al Mauta wa Umuur al Aakhirah, (tahkik dan ta’liq oleh : Ishaam al Din Al Shobaabati) Kairo, Daar al Hadits, 2003 M/ 1424 H,  h. 66
Referensi
1.Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nail al Authaar, Kairo, Daar al Hadiits, 2005 M/1426 H, jilid II.
2.Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori, Shahih Al Bukhori, Kairo : Ad Daar Adzahabiah, tt.
3.Abu al Husain Muslim bin al Hajaj al Qusairi an Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut, Daar al Fikr, 1992).
4.Dr. Ali Jum’ah, Al Bayaan lima Yusyghil Al Adz-haan, Kairo, Al Muqaththam, tt.
5.Muhammad Khadhori Bik, Ushuul al Fiqh, Beirut, Daar al Fikr, 1988 M/1409.
6.Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawi Ad Dimasyqi, Shohih Muslim bin Syarh  Al Nawawi, Beirut : Daar al Fikr, 2000 M/1421 H.
7.Al Imam Al Qurthubi, Al Tadzkirah fi Ahwaal al Mauta wa Umuur al Aakhirah, (tahkik dan ta’liq oleh : Ishaam al Din Al Shobaabati) Kairo, Daar al Hadits, 2003 M/ 1424 H.
* M. Buchori Maulana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika ada kesulitan,permasalahan prihal tulisan diatas atau kritik serta saran, kami mohon agar komentar di bawah ini. atas nama redaksi mohon maaf atas kekurangannya. pepatah lama mengatakan"tiada gading yang tak retak".