Sabtu, 16 Juli 2011

ASSUNNIYYAH


AHLUSUNNAH WAL JAMA'AH (3)
Oleh: DR. KH. MA. Sahal Machfudh
Ketua Umum MUI

Sejarah Lahir Aswaja
Paling mudah dalam melacak periode awal kelahiran terminologi aswaja ialah dengan melihat awal mula lahirnya mazhab Kalam al-Asy'ari dan Abu Mansura Maturidi yang populer disebut sebagai para imam aswaja di bidang Kalam. Tetapi kelahiran mazhab aswaja di bidang Kalam oleh kedua imam itu tidak bisa dipisahkan dengan mata rantai sebelumnya, dimulai dari periode Ali ibu Abi Thalib.
Secara faktual, tidak dapat dipungkiri bahwa awal mula terjadinya perpecahan di lingkungan masyarakat Islam dimulai dari periode Khalifah Utsman dan hampir melembaga di periode Ali ibnu Abu Thalib. Perpecahan itu pada awalnya terjadi dalam persoalan politik, tetapi kemudian berlanjut kepada persoalan agama atau aqidah. Faktor penyebab keadaan dalam paham aqidah itu sebenarnya lebih terjadi bukan dalam hal-hal prinsip mendasar dalam Islam tetapi lebih banyak terjadi dalam hal-hal yang bersifat interpretable. Pengaruhnya ada yang bersifat ekstern dan ada yang bersifat intern. Pengaruh ekstern dapat berupa pengaruh paham keagamaan dari luar Islam, karena sulitnya secara naluri seorang yang telah masuk Islam untuk sama sekali menghilangkan paham keagamaan lamanya. Faktor internnya ialah, di samping memang adanya beberapa teks ajaran Islam yang tidak seluruhnya bermakna absolut, juga karena terjadinya perebutan kekuasaan antara intern umat Islam (politik). Yang terakhir ini bahkan yang kemudian dominan mewarnai arus perbedaan itu, dan bahkan selanjutnya terinstitusi dalam bentuk firqoh atau mazhab. Yang selalu menjadi persoalan krusial dan sentral ialah perbedaan penafsiran tentang paham yang berhubungan dengan aqidah, seperti tentang kehendak mutlak Tuhan, tentang kebebasan berkehendak, dan kebebasan berbuat manusia dan lain-lain. Perbedaan seperti itu terus menerus berjalan, kadang volumenya kecil dan kadang besar. Pada masa periode mujahidin umpamanya, perbedaan yang krusial bukan di bidang aqidah, atau kalau pun ada perbedaan volumenya tidak besar sehingga tidak menimbulkan keresahan umat Islam. Tetapi pada periode Abbasiyah berkuasa, sebelumnya periode Al-Mutawakkil, terjadi keresahan di lingkungan umat Islam akibat pemaksaan pendapat paham aqidah Mu'tazilah oleh para penguasa Abbasiyah. Itulah yang kemudian disebut kasus Al-Mihnah (ecquisition). Dalam situasi kacau dan resah itulah imam Abu Hasan al-Asy'ari menawarkan alternatif paham aqidah yang kemudian disepakati oleh ulama pengikutnya sebagai paham aqidah Aswaja. Makin lama pengikut paham aqidah ini makin besar, sementara di daerah lain, yakni di Samarqand dan Mesir, ada dua ulama yang juga berhasil menyusun paham aqidah yang sejalan dengan paham aqidah al-Asy'ari, semuanya mempunyai orientasi yang sama, dan menjawab persoalan-persoalan teologis Islam yang cukup meresahkan pada waktu itu. Secara materiil banyak produk pemikiran teologis Islam paham Mu'tazilah yang karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash dinilai tidak sejalan dengan sunnah atau dengan kata lain terjadi penyimpangan atau bid'ah. Maka secara spontan pengikut imam-imam itu bersepakat menyebutkan dirinya kelompok Aswaja. Meskipun sesungguhnya istilah ini bahkan dengan pahamnya sampai saat itu telah berkembang, tetapi karena hal itu belum terinstitusi apalagi dalam bentuk mazhab, maka secara historis istilah aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini. Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak zaman Ali bin Abi Thalib, tetapi dari segi fisik dalam bentuk mazhab baru sejak zaman al-Asy'ari, al-maturidi dan al-Tahawi. Dalam kajian Islam in toto, diskursus Islam yang berhubungan dengan paham aqidah Aswaja, dapatlah dipastikan berreferensi kepada doktrinal Kalam mazhab terutama al-Asy'ari dan al-Maturidi. Perkembangan istilah ini makin lama makin resmi menjadi disiplin keilmuan Islam, sehingga pada periode berikutnya istilah itu dikembangkan tidak hanya mencakup bidang aswaja tetapi juga mencakup diskursus Islam yang lain, yakni bidang syari'ah atau fiqh dan bidang akhlaq atau tasawwuf. Inilah yang disebut dengan istilah "urf khas" bagi aswaja. Dalam sejarah perkembangan selanjutnya, istilah aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal aqidah pengertiannya adalah mazhab Asy'ari atau Asy'ariyah dan Maturidiyah. Dalam hal fiqh pengertiannya adalah empat mazhab besar Islam seperti tersebut di muka dan dalam hal akhlaq atau tashawwuf pengertiannya ialah doctrinal tashawwuf al-Ghazali dan ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni. Pengertian paham Sunni dalam terminologi tersebut adalah bersifat ma'alim atau simbol. Artinya bahwa yang terpenting dalam paham Sunni secara substantif bukanlah mutlak simbol-simbol itu melainkan produk pemikiran yang dirumuskan oleh para ulama Sunni itu. Jadi secara simbolik Islam adalah paham keagamaan Islam yang dirumuskan oleh ulama Sunni atau ulama aswaja. Karena paham itu bersifat penafsiran maka sudah barang tentu memiliki pola dan corak yang membedakan antara paham keagamaan Islam yang dibangun oleh ulama Sunni dan ulama non-sunni. Perbedaan ini diakibatkan oleh paradigma atau wijhah al nazar yang berbeda.
Paham Ahlussunnah Wal Jama'ah
Sebagaimana disebutkan ................(bersambung  pada edisi ke 4)
PUJI-PUJIAN SHALAWAT SETELAH ADZAN DAN MENGATAKAN “SYAYYIDINA”DALAM SHOLAT
Sesungguhnya membaca shalawat kepada Nabi setelah adzan adalah sunah hukumnya, dan tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim (hadits no. 384), dan Abu Dawud (hadis no. 523).  Yaitu :
Artinya : “Ketika kalian mendengarkan adzan maka jawablah, kemudian setelah itu bacalah shalawat kepadaku.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud)
Pendapat di atas ini juga didukung oleh Imam Jalaludin as-Suyuthi, lbnu Hajar al-Haitsami, Syeikh Zakariya al-Anshari, dan lain lain.
Imam lbnu Abidin mengatakan, bahwa pendapat yang didukung oleh Madzhab Syafi'i dan Hambali adalah pendapat yang mengatakan shalawat setelah adzan adalah sunah bagi orang yang adzan dan orang yang mendengarkannya.
Artinya : Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah­Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (Q.S. an-Nur: 63)
Dalil dari hadits
Artinya : Rasulullah SAW. bersabda : Saya adalah sayid Bani Adam pada hari kiamat, tetapi tidak ada kesombongan di dalamnya. (H.R. Muslim dan Ahmad).
Mengucapkan "Sayidina" di dalam Shalat
Kata-kata “sayidina” atau “tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shatat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan :
Yang lebih utama adalah mengucapkan sayidina (sebelum nama Nabi SAW.), karena hal yang lebih utama bersopan santun (kepada Beliau).2
Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW. : Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Rusulullah s.a.w. bersabda, “Saya adalah sayid (penghulu) anak adam pada hari kiamat, Orang pertama yang bangkit dari kubur orang yang pertama memberikan syafa'at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberkans yafa'at.” (H.R. Muslim, hadits ke:4223).
Hadits ini menyatakan bahwa Nabi s.a.w. menjadi Sayid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad s.a.w. menjadi sayid hanya pada hari kiamat saja. Bahkan beliau s.a.w. menjadi sayid manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani :
Kata 'sayidina' ini tidak hanya tertentu buat Nabi Muhammad s.a.w. di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits; “saya adalah sayidnya anak cucu adam di hari kiamat” Akan tetapi Nabi s.aw. menjadi sayid keturunan “Adam di dunia dan akhirat.” 3
Ini sebagai indikasi bahwa Nabi s.a.w. mem­bolehkan memanggil beliau dengan sayidina. Karena memang kenyataannya begitu. Nabi  Muhammad s.aw. sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa. Lalu bagaimana dengan 'hadits' yang menjelas­kan larangan mengucapkan sayidina di dalam shalat?
Artinya : “Janganlah kalian mengucapakan sayidina kepadaku di dalam shalat. ” 
Ungkapan ini memang diklaim oleh sebagian golongan sebagai hadits Nabi s.a.w. Sehingga mereka mengatakan bahwa menambah kata sayidina di depan nama Nabi Muhammad s.a.w. adalah bid'ah dhalalah, bid'ah yang tidak balk.
Akan tetapi ungkapan ini masih diragukan kebenarannya. Sebab secara gramatika bahasa Arab, susunan kata-katanya ada yang tidak singkron. Dalam bahasa Arab tidak dikatakan akan tetapi Sehingga tidak bisa dikatakan. Oleh karena itu, jika ungkapan itu disebut hadits, maka tergolong hadits maudhu'.  Yakni hadits palsu, bukan sabda Nabi, karena tidak mungkin Nabi s.a.w. keliru dalam menyusun kata-kata Arab. Konsekwensinya, hadits itu tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang mengucapkan sayidina dalam shalat?
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayidina ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad s.aw. boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika membaca tasyahud di dalam shalat.

Referensi
1. Ibnu Abidin “Hasiyah”
2. Ibrahim Al-BAjuri “ Hasyisyah al-Bajuri, juz.1, hal. 156.
3. Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, “Manhaj as-salafi ..”, hal. 169.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika ada kesulitan,permasalahan prihal tulisan diatas atau kritik serta saran, kami mohon agar komentar di bawah ini. atas nama redaksi mohon maaf atas kekurangannya. pepatah lama mengatakan"tiada gading yang tak retak".