Oleh Cecep Zakarias El Bilad*
Jika ditanya, siapa kita? Jawabannya mungkin akan sebanyak pertanyaan itu diucapkan. Tapi jika diperjelas lagi, siapa kita ini dalam hubungannya dengan alam semesta. Agar menghasilkan jawaban yang baik, kita perlu mempertimbangkan dua sisi, persamaan dan perbedaan kita dengan alam semesta.
Pada sisi yang pertama, ada banyak aspek yang menyamakan kita dengan alam semesta. Tubuh kita memiliki unsur-unsur alam semesta. Misalnya, sekitar 75 persen tubuh kita adalah air. Sementara air ialah satu dari sekian unsur utama pembentuk kehidupan di alam ini. Bahkan keseluruhan tubuh kita setelah mati kelak akan melebur menjadi tanah, wujud asalnya. Saking meleburnya dengan alam semesta, tubuh kita pun menjadi “alam” kehidupan bagi organisme-organisme lain seperti kutu rambut, bakteri dan virus. Kita sendiri adalah satu dari sekian organisme yang hidup dalam “tubuh” alam semesta ini.
Maka pertanyaannya menjadi, siapa kita dan siapa alam semesta ini? Ada hubungan apa kita dengan alam semesta? Jawaban sejatinya sudah disediakan para filosof ribuan tahun lalu. Aristoteles, misalnya, menjawab bahwa alam semesta adalah ‘akibat’. Ia ada atau muncul karena adanya ‘sebab’. Akibat tidak akan pernah ada tanpa adanya sebab. Manusia adalah bagian integral dari alam semesta. Jadi, kita manusia dan alam semesta berada dalam satu kelas, yakni kelas ‘akibat’; sebuah sistem kehidupan yang muncul akibat adanya Sebab Pertama (the First Cause), sebab yang ada tanpa adanya sebab yang lain. Ia ada dengan dirinya sendiri.
Ternyata, jawaban kaum filosof ini memperoleh penegasan dalam Islam. Dikatakan dalam al-Quran antara lain
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu (al ‘Alaq:1)
“Allah menciptakan manusia dari air mani…” (an-Nahl:4)
“Segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi…” (al-An’am:1)
Konsep sebab dalam al-Quran dibahasakan dengan ‘penciptaan’. Sangat tegas dalam kutipan-kutipan ayat di atas bahwa manusia adalah wujud yang diciptakan. Siapa yang menciptakan? Dialah Dia, Tuhan yang melalui manusia pilihan-Nya, memperkenalkan diri sebagai Allah, al-Rahmān, al-Rahĭm, al-Awwal, al-Ăkhir, dan lain sebagainya.
Manusia itu diciptakan. Berarti seluruh potensi, baik fisik maupun non-fisiknya pun adalah ciptaan. Berbeda dengan Dia Sang Pencipta, yang sempurna, mutlak, abadi baik wujud maupun esensinya, mahluk atau ciptaan adalah kurang, relatif dan fana baik wujud maupun esensinya, baik sosok maupun kualitasnya. Keterbatasan pada saat yang sama adalah keragaman. Maka mahluk itu beragam, terbagi ke dalam beragam spesies dan jenis. Manusia, misalnya, adalah mahluk, maka manusia adalah terbatas. Ia terbatas baik sosok, fisik dan ruhaninya, maupun kualitas atau kemampuannya. Ini semua adalah fitrah mahluk/ciptaan. Ini pula yang membedakannya dengan Dia yang Sempurna, Mutlak dan Abadi. Dia yang Satu.
Fakta dikotomis antara yang diciptakan (mahlûq) dan yang mencipta (khâliq) ini menjadi pesan, bahwa hakekatnya kita manusia berada pada satu level dengan hewan, tumbuhan, air, dan entitas-entitas lain di alam raya ini: level mahluk. Dari sekian mahluk yang ada, kita manusia memang menempati posisi teratas sebagai ciptaan terbaik Tuhan (at-Tîn:4). Manusia ditunjuk Allah sebagai wakil dengan tugas kepemimpinan di antara para mahluk lain (al-An’am:165). Namun ini tidak menjadi alasan bagi kita untuk bersikap angkuh, berbangga diri dan sombong. Sebab diri kita, seluruh potensi yang dimiliki, seluruh kekuasaan yang diraih, tak lebih sekedar pemberian (pinjaman) Allah. Yang semuanya bisa kapan saja diambil oleh Sang Pemilik. Yang semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban. Maka dalam Islam, semua sikap dan tindakan yang bersumber dari kebanggaan, keangkuhan, kesombongan pribadi dikategorikan sebagai terlaknat/dosa. Allah memperingatkan hal ini dalam sebuah hadits qudsi yang kira-kira artinya, “Arogansi adalah baju kebesaran-Ku, dan kebanggan diri adalah selendang-Ku. Maka siapapun manusia yang menandingiku dengan salah satu dari keduanya, Aku akan melemparnya ke dalam neraka!”.
Pertanyaan ‘siapa kita sebenarnya’ ini mungkin sudah pernah terbesit di benak setiap orang. Dan tentunya sudah pula ditemukan jawabannya . Tapi sudahkah ini terpancar dalam setiap gerak lahir dan batin kita sehari-hari? Sementara kita mengakui posisi sejajar kita dengan hewan, tumbuhan dan benda-benda lain di alam ini, kita masih memposisikan diri sebagai superior sehingga sekehendaknya saja memperlakukan mereka. Pengrusakan alam kian merajalela. Sementara kita memanfaatkan mereka demi kelangsungan hidup, tidak ada upaya sungguh-sungguh kita untuk merawat dan menjaga kelanggengan mereka.
Kesewenang-wenangan manusia atas alam semesta nampak subur di mana-mana. Terlepas siapa pelakunya, yang jelas mereka adalah dari organisme bernama manusia. Bukankah ini adalah sebuah ekspresi dari kesombongan dan keangkuhan? Dengan segala potensi unggul yang dimilikinya, manusia berbuat sekehendaknya terhadap alam semesta yang ‘lemah’.
Tidak berhenti di situ, manusia pun kemudian membidikkan keangkuhan-kesombongannya pada sesamanya. Motif apa selain kesombongan-keangkuhan ketika seseorang dengan keunggulan fisik, harta, ilmu, jabatan dan popularitas berbuat sekehendaknya kepada orang lain yang lebih lemah dalam hal-hal tersebut. Berapa juta manusia Indonesia dililit kemiskinan, kelaparan dan kebodohan akibat ketidakpedulian segelintir manusia Indonesia lainnya yang: menggunakan jawaban politiknya untuk menumpuk kekayaan dan kemewahan sehingga mendisfungsikan lembaga-lembaga negara yang dipimpinnya; mengimpor besar-besaran produk-produk pertanian sehingga kerap merugikan para petani lokal; menjual aset-aset negara kepada swasta domestik maupun asing; membangun area-area perkantoran dan perumahan mewah sehingga mempersempit ruang tinggal dan usaha jutaan rakyat kecil di Jakarta; dan seterusnya.
Motif apa selain kesombongan-keangkuhan ketika seorang beragama merasa diri benar mutlak sehingga meremehkan orang lain yang tidak atau kurang taat beragama; mengklaim sesat, kafir dan klaim-klaim lain yang merendahkan kepada orang lain yang berbeda mazhab; memperlakukan secara tidak manusiawi orang-orang yang berbeda tersebut; dan lain sebagainya.
Masih banyak lagi tindakan-tindakan yang disadari atau tidak, diakui atau tidak, pada hampir semua lini kehidupan, merupakan kamuflase dari kesombongan-keangkuhan sosok manusia. Sebuah sikap yang mengingkari fitrahnya sebagai mahluk yang kurang, relatif dan fana baik wujud maupun esensinya, baik sosok maupun kualitasnya. Atas dasar apa sikap sombong-angkuhnya dibangun?
Islam diturunkan Allah guna mengajarkan prinsip-prinsip moral. Moral bukan hanya dalam kaitannya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam semesta dan organisme-organisme lain di dalamnya, serta dengan Dia Sang Pencipta. Kesombongan-keangkuhan oleh karenanya adalah sikap yang sangat tidak bermoral dalam perspektif bahwa manusia adalah bagian sangat kecil dari alam semesta, dan bahwa manusia adalah mahluk, bukan Tuhan.
* Dewan Pengasuh Pesantren Mahasiswa “Mutiara Bangsa”, Depok; Mahasiwa Pascasarjana The Islamic College (IC) Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jika ada kesulitan,permasalahan prihal tulisan diatas atau kritik serta saran, kami mohon agar komentar di bawah ini. atas nama redaksi mohon maaf atas kekurangannya. pepatah lama mengatakan"tiada gading yang tak retak".