Jumat, 11 November 2011

Beribadah dengan Menghargai Air

Esensinya lembut, namun kekuatannya luar biasa. Air mampu menghidupkan tumbuh-tumbuhan di Bumi dengan sekali siram. Dengan air, Bumi menjadi hidup dan makhluk di atasnya dapat terus berlangsung. Namun jangan lupa, air bisa meruntuhkan gedung sekali terjang. Bisa meratakan apapun yang bercokol di muka Bumi sekali hempas. Bukti kekuasaan Allah Subhânahu wata‘âla, mengingatkan tragedi Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh. Juga banjir yang melumat kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam yang durhaka.
 
Begitu pentingnya air, hingga al-Qur’an menuliskannya sebanyak 63 kali. Salah satu yang sangat mengesankan ada pada QS Al-Anbiya [21]: 30, di mana Allah Subhânahu wata‘âla telah mengungkapkan rahasia penciptaan-Nya atas segala makhluk hidup yang bermaterikan air, “…Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”.
 
Artinya, air merupakan faktor kunci kehidupan makhluk di muka bumi. Ayat di atas menegaskan jika air memiliki keterkaitan erat dengan kehidupan alam. Dalam hal ini, tidak heran jika air adalah unsur alam pertama dibahas oleh filsuf Yunani kuno. Thales, yang dikenal sebagai filusuf pertama, mengatakan bahwa arkhe (asas atau prinsip) alam semesta adalah air. Aristoteles menduga bahwa Thales berpikir begitu karena bahan makanan semua makhluk memuat zat lembab, dan demikian halnya dengan benih pada semua makhluk hidup (Bertens, 1999).
 
Penelitian tentang air di dunia kedokteran semakin membuktikan eratnya hubungan antara air dengan manusia dan kehidupannya. Kebutuhan manusia terhadap air menjadi penentu terpenting lancar atau tidaknya seluruh proses metabolisme tubuh manusia. Sulit membayangkan kita bisa hidup tanpa air.
 
Karena itu, 75% bumi kita dipenuhi air. Uniknya, kadar air di Bumi ini sama persis dengan entitas manusia yang unsur pembentuk terbesarnya adalah air. Sekitar 70-75 % manusia dewasa unsur pembentuk terbesarnya terdiri atas air. Otak 74,5%. Darah 83%. Tulang keras 22%. Gigi 2%. Pada konsep terbentuknya, telur yang dibuahi 96%-nya adalah air. Setelah lahir, 80% tubuh bayi adalah air. Semakin manusia berkembang dewasa, persentase air berkurang dan menetap sampai batas 70% ketika manusia mencapai dewasa.
 
Jadi, airmerupakan anugrah terbesar dari Allah Subhânahu wata‘âla, karena air adalah bagian terpenting dari kehidupan mahluk hidup. Air dibutuhkan di segala bidang kehidupan: pertanian, industri, lingkungan, transportasi, dll. Bahkan saat ini air menjadi komuditi perdagangan yang menjanjikan, dalam bentuk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).
 
Dalam perkembangannya, air juga digunakan untuk terapi penyembuhan. Dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “Hukum Baruch dan Hidro-terapi”. Hukum Baruch, adalah teori ciptaan Simon Baruch (1840-1921). Ia mengemukakan bahwa air memiliki daya penenang, jika suhu air sama dengan suhu kulit. Jika suhu kulit lebih tinggi atau lebih rendah, maka akan memberikan efek merangsang. Sedangkan Hidroterapi yang berasal dari bahasa Yunani (hydro = air, dan therapiea = pengobatan), merupakan pengobatan yang efeknya berhasiat menghilangkan lelah dan ketegangan, merangsang sistem kardiovaskuler, menjinakkan syaraf kulit dan syaraf organ-organ intern.
 
Masalah yang kita hadapi sekarang adalah, air yang ada kini telah banyak tercemari, akibat ulah manusia. Pencemaran air oleh masyarakat mencapai klimaks yang sangat menghawatirkan. Ternyata kemajuan teknologi justru mengantarkan manusia pada perusakan lingkungan, terutama air. Akibatnya, manusia sendiri yang kesulitan, ketika air sudah banyak tercemar, dan mengancam kesehatan. Akhirnya, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menghargai air dan berakhlak pada air, sebagai ungkapan syukur kepada Pencipta air. Dengan demikian, menghargai air berarti salah satu bentuk ibadah kita kepada Sang Khaliq. Bukankah bersyukur itu ibadah?
 
Sebenarnya, penghargaan terhadap air telah dilakukan oleh manusia sejak dulu, dengan menjadikan air sebagai simbol-simbol kehidupan. Sebagaimana dikutip Masaro Emoto, Dr. Davis menceritakan bagaimana air sangat dihargai oleh masyarakat zaman dulu. Pada zaman Yunani kuno, orang harus benar-benar menghargai air. Banyak mitos Yunani yang dibuat berdasarkan usaha untuk melindungi air. Namun kemudian, ilmu pengetahuan muncul dan menutupi mitos-mitos ini, karena dianggap tidak ilmiah. Air pun kehilangan nilai mistiknya, dan hanya dipandang sebagai zat biasa.
 
Dalam Islam, penghargaan terhadap air sangat luar biasa. Bagaimana ketika Rasulullah Sallallâhu ‘alaihi wasallam melarang kencing di air yang tidak mengalir, atau menghambur-hamburkan air ketika wudhu, walau wudhu di sungai sekalipun. Suatu ketika Rasulullah Sallallâhu ‘alaihi wasallam bertemu dengan Sa’d bin Ubadah yang sedang wudhu dengan berlebih-lebihan. Rasulullah menegurnya, “Apa pemborosan ini, wahai Sa’id?” Sa’d menjawab, “Apakah di dalam wudhu masih dianggap pemborosan?” Rasulullah Sallallâhu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ya, walaupun kamu wudhu di tepi sungai.”
 
Tidak hanya itu, penghargaan terhadap air dipraktikkan Rasulullah dalam keseharian beliau. Diriwatkan dari sahabat Jabir Radhiallâhu ‘anhu, ketika ditanyakan mengenai mandi yang baik, beliau menjawab, “Rasulullah Sallallâhu ‘alaihi wasallam mandi dengan satu sha’ air (±2,75 liter), dan ber berwudhu dengan satu mud (±0,688 liter)”. Seorang lelaki berkata, “Demikian itu tidak mencukupi bagiku”. Jabir menjawab, “Demikian itu telah mencukupi bagi orang yang lebih baik darimu serta lebih lebat rambutnya darimu”.
 
Hal ini menggambarkan penghargaan Islam terhadap air yang luar bisa. Para ulama Islam juga secara konsisten meneladani Nabi. Imam Qulyubi mengharamkan penggunaan air dalam wudhu melebihi kadar kebutuhan (Israf). Bagi para pakar fikih, pemborosan air dalam wudhu minimal berhukum makruh. Setiap membahas masalah ibadah (fiqhul-Ibâdât), para ulama pasti mengawali dengan pembahasan air. Inilah bentuk penghargaan yang tinggi terhadap air.
 
Hanya saja, tradisi modern telah memupus penghargaan terhadap air, akibat terbawa arus pemikiran bahwa teknologi dapat menyelesaikan segalanya. Ketika disadari bahwa bumi telah menglami krisis air sebab air telah tercemari limbah industri dan sampah masyarakat, maka segala upaya untuk memurnikan air baru dilakukan. Padahal, yang dibutuhkan air bukanlah pemurnian, melainkan penghargaan. Dan sampai kini, penghargaan terhadap air ternyata tidak dilakukan. Akibatnya, manusia sendiri yang menanggung akibatnya.
 
Sebenarnya, penghargaan terhadap air ini dapat kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dengan menghemat penggunaan air, tidak mengotori air, dan banyak lagi perilaku positif yang mendukung kemurnian air. Menggunakan air sesuai kebutuhan merupakan cara efektif dalam menghargai air. Dalam hal ini, jangankan dalam waktu yang tidak diperlukan, dalam ibadah pun tidak diperkenankan boros air. Kita hanya disunatkan membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali. Lebih dari itu, hukumnya makruh, bahkan bisa haram, karena dinilai berlebih-lebihan. Dengan cara demikian, tidak akan terjadi eksploitasi air.
 
Selebihnya, kita juga harus menghormati proses-proses yang berkenaan dengan penyediaan air, sebagai langkah ikhtiar penjagaan air, seperti melestarikan daerah tangkapan air dan menjaga hutan. Sebab, eksploitasi air dan pengalihan penggunaan daerah tangkapan air yang tidak terkontrol membuat keseimbangan ekologis terganggu, akhirnya mengurangi ketersediaan air. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menjaga kelestarian hutan. Sebab, hutan adalah penampung air hujan. Ketika hutan sudah gundul, maka mata air jadi mati saat kemarau. Belum lagi ketika hujan, air akan mengerus tanah, dan akibatnya terjadilah tanah longsor dan banjir. Jadi, hutan, air dan semua hal yang ada di jagat raya ini, harus dijaga kelestariannya, karena semuanya memiliki pertalian bagi sumber kehidupan.
 
Dari usaha yang kita lakukan, kita berharap Allah Subhanahu wata‘âla akan mengembalikan lingkungan kita menjadi sejahtera dan nyaman. Syukur kita kepada Allah atas karunia air, sebaiknya kita wujudkan dengan senantiasa mempertahankan sumber-sumber mata air yang ada di sekitar kita, melalui usaha melestarikan hutan atau penghijauan. Semoga amal kita diterima Allah Subhanahu wata‘âla. Amin.
 
Santri Pondok Pesantren Sidogiri – Pasuruan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika ada kesulitan,permasalahan prihal tulisan diatas atau kritik serta saran, kami mohon agar komentar di bawah ini. atas nama redaksi mohon maaf atas kekurangannya. pepatah lama mengatakan"tiada gading yang tak retak".