Selasa, 27 Desember 2011

Bid'ah Dimulai Sejak Zaman Rasulullah SAW

ADA beberapa kebiasan yang dilakukan para sahabat berdasarkan ijtihad mereka sendiri, dan kebiasaan itu mendapat sambutan baik dari Rasulullah SAW. Bahkan pelakunya diberi kabar gembira akan masuk surga, mendapatkan rida Allah, diangkat derajatnya oleh Allah, atau dibukakan pintu-pintu langit untuknya.
 
Misalnya, sebagaimana digambarkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, perbuatan sahabat Bilal yang selalu melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci. Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar gembira sebagai orang-­orang yang lebih dahulu masuk surga.

Contoh lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Kemudian tradisi ini disetujui oleh Rasulullah SAW setahun setelah meninggalnya.

Selain itu, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Rifa'ah ibn Rafi' bahwa seorang sahabat berkata: "Rabbana lakal hamdu" (Wahai Tuhanku, untuk-Mu segala puja-puji), setelah bangkit dari ruku' dan berkata "Sami'allahu liman hamidah" (Semoga Allah mendengar siapapun yang memuji­Nya). Maka sahabat tersebut diberi kabar gembira oleh Rasulullah SAW.

Demikian juga, sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Mushannaf Abdur Razaq dan Imam An-Nasa'i dari Ibn Umar bahwa seorang sahabat memasuki masjid di saat ada shalat jamaah. Ketika dia bergabung ke dalam shaf orang yang shalat, sahabat itu berkata: "Allahu Akbar kabira wal hamdulillah katsira wa subhanallahi bukratan wa ashilan" (Allah Mahabesar sebesar-besarnya, dan segala puji hanya bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang). Maka Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada sahabat tersebut bahwa pintu­pintu langit telah dibukakan untuknya.

Hadis lain yang diriwayatkan oleh At- Tirmidzi bahwa Rifa'ah ibn Rafi' bersin saat shalat, kemudian berkata: "Alhamdulillahi katsiran thayyiban mubarakan 'alayhi kama yuhibbu rabbuna wa yardha" (Segala puji bagi Allah, sebagaimana yang disenangi dan diridai-Nya). Mendengar hal itu, Rasulullah SAW bersabda: "Ada lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka yang beruntung ditu­gaskan untuk mengangkat perkataannya itu ke langit."

Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam An-Nasa'i dari beberapa sahabat yang duduk berzikir kepada Allah. Mereka mengungkapkan puji-pujian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah karena diberi hidayah masuk Islam, sebagaimana mereka dianugerahi nikmat yang sangat besar berupa kebersamaan dengan Rasulullah SAW. Melihat tindakan mereka, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahuku bahwa Allah sekarang sedang berbangga-bangga dengan mereka di hadapan para malaikat."

Dari tindakan Rasulullah SAW yang menerima perbuatan para sahabat tersebut, kita bisa menarik banyak pelajaran sebagai berikut:

1. Rasulullah SAW tidak akan menolak tindakan yang dibenarkan syariat selama para pelakunya berbuat sesuai dengan pranata so sial yang berlaku dan membawa manfaat umum. Dengan demikian, perbuatan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt yang bisa dilakukan kapan saja, baik di malam maupun siang. Perbuatan ini tidak bisa disebut sebagai perbuatan yang makruh, apalagi bid'ah yang sesat.

2. Orang Islam tidak dipersoalkan karena perbuatan ibadah yang bersifat mutlak, yang tidak ditentukan waktunya dan tempatnya oleh syariat. Terbukti bahwa Rasulu1lah SAW telah membolehkan Bilal untuk melakukan shalat setiap selesai bersuci, sebagaimana menerlma perbuatan Khubaib yang shalat dua rakaat sebelum menjalani hukuman mati di tangan kaum kafir Quraisy.

3. Tindakan Nabi SAW yang membolehkan bacaan doa-doa waktu shalat, dan redaksinya dibuat sendiri oleh para shahabat, atau juga tindakan beliau yang membolehkan dikhususkannya bacaan surat-surat tertentu yang tidak secara rutin dibaca oleh beliau pada waktu shalat, tahajjud, juga doa-­doa tambahan lain. Itu menunjukkan bahwa semua perbuatan tersebut bukanlah bid'ah menurut syariat. Juga tidak bisa disebut sebagai bid'ah jika ada yang berdoa pada waktu-waktu yang mustajabah, seperti setelah shalat lima waktu, setelah adzan, setelah merapatkan barisan (dalam perang), saat turunnya hujan, dan waktu-waktu mustajabah lainnya. Begitu juga doa-doa dan puji­-pujian yang disusun oleh para ulama dan orang­ orang shalih tidak. bisa disebut sebagai bid'ah. Begitu juga zikir-zikir yang kemudian dibaca secara rutin selama isinya masih bisa dibenarkan oleh syariat.

4. Dari persetujuan Nabi SAW terhadap tindakan beberapa sahabat yang berkumpul di masjid untuk berzikir dan menyukuri nikmat dan kebaikan Al­lah Swt serta untuk membaca Al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa tindakan mereka mendapatkan legitimasi syariat, baik yang dilakukan dengan suara pelan ataupun dengan suara keras tanpa ada perubahan makna dan gangguan. Dan selama tindakan tersebut bersesuaian dengan kebutuhan umum dan tidak ada larangan syariat yang ditegaskan terhadapnya, maka perbuatan tersebut termasuk bentuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan termasuk bid'ah menurut syariat.

Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
(Dari karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?")

15 komentar:

  1. Seandainya itu benar, sekarang saya tanya siapa yang mensetujui kebid'ahan kalian, seperti tahlilan, bukannya nabi sudah wafat, lantas siapa, apa ulama-ulama kalian, astaqfirullah, apa ulama kalian itu nabi, dan kenapa tidak sekalian saja solat subuh 4 rakaat, dzuhur 8 rakaat, dan seterusnya, bukannya itu lebih baik, didalamnya ada zikir, tasbih, hamdalah, tahlil, kenapa, kenapa, kenapa, apa bid'ah yang disetujui ulama kalian saja, astaqfirullah, ulama kalian seperti nabi, nabi dapat wahyu, apa ulama kalian dapat wahyu, astaqfirullah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sholat shubuh emang 4 rokaat mas...2 sunnah + 2 Wajib = itu lebih baik didalamnya ada zikir, tasbih, hamdalah, tahlil, kenapa, kenapa, kenapa. sholat Dzuhur itu emang 8... 2 sunnah+4wajib+2 sunnah. yg wajib ya wajib...yg sunnah ya sunnah...jgn di campur aduk. mengingat Alloh itu diperintahkan Alloh dan Rosulnya kapan pun dimanapun

      koreksi*...bukan astaqfirullah tapi astaghfirullooh... belajar tajwid aja dulu mas.

      Hapus
    2. tambahan :
      - mungkin masnya kalo shubuh ke mesjid langsung sholat shubuh 2 rokaat kemudian pulang, begitu juga dzuhur karena takut bidah
      - atau mungkin ga ke mesjid karena takut bid'ah karena mesjidnya sdh modern berlantaikan keramik dll.
      - atau mungkin juga ga sholat karena takut bid'ah karena nabi itu mulai melaksanakan sholat wajib pada usia 50 tahunan (ketika Isro Miroj) dan mas belum 50 tahun saat ini.

      begitukah pemikiran anda? hingga gampang sekali memvonis sesat saudara muslim anda? padahal Alloh dan Rosulnya juga belum tentu membenarkan anda. Wallohu'alam.

      Hapus
    3. sangat bagus argument nya.. sejatinya anti bid'ah tidak memahami secara detail makna dan tafsir sebuah kalimat..

      Hapus
  2. contoh pendalilan yang ngawur.
    saat itu ROSULULLOH masih hidup kan ...?!!! coba pikir mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul om... tapi
      "Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (al-Ahzab [33]: 21)
      coba pikir om...

      nih ayat tentang disuruhnya kita berpikir
      219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,

      Walloohu'alam.

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. BACA dan PAHAMI !!!
    Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.

    Al-Imam asy-Syafi’i berkata :

    الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)

    “Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).

    Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

    اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.

    “Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)

    Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).

    Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

    مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

    “Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

    Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.

    Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.

    Catatan lebih lengkap masalah bid'ah dari a sampai z klik ini http://www.facebook.com/note.php?note_id=112546762095575

    BalasHapus
  5. Saudara – saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “Sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”. Lalu berkata pula Zeyd bin Haritsah ra ”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tidak diperbuat oleh Rasulullah saw??, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun (Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”.

    Maka kuhimbau saudara – saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal–hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt. Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini. Maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah. Dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham, yang maksudnya berpeganglah erat – erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka. Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. Aamiin

    Selanjutnya...

    BalasHapus
  6. Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah.

    1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris As syafii rahimahullah (Imam Syafii).

    Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela). Maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela. Beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87).

    2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah.

    “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru. Dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal – hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya. “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat – buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits No.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87).

    Selanjutnya...

    BalasHapus
  7. 3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi).

    “Penjelasan mengenai hadits “Barangsiapa membuat – buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat – buat hal baru yang dosanya”. Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “Semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat”. Sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105).

    Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu bid’ah yang wajib, bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram. Bid’ ah yang wa j ib contohnya adalah mencantumkan dalil – dalil pada ucapan – ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku – buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Dan bid’ah yang mubah adalah bermacam – macam dari jenis makanan. Dan bid’ah yang makruh dan haram sudah jelas diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum. Sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik – baik bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155).

    4. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah.

    Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya). Seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS. Al-Ahqaf : 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya”(QS. Assajdah : 13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “Aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).

    Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati – hati darimanakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa – fatwa para Imam ?

    Cuplikan dari buku: Meniti Kesempurnaan Iman.

    BalasHapus
  8. 3 Scan Kitab Ulama mengenai Bid'ah: Manaqib Imam asy-Syafi’i, Karya Syekh Syamsuddin Muhammad bin Abi al Fath al Ba'liyy al Hanbali dan Ibnu Taimiyah.

    Bagaimana pandangan Al-Imam asy-Syafi’i tentang Bid’ah Hasanah ?

    Imam Syafi’i Rahimahullah berkata :

    الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ :

    أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ،

    وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ

    Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua macam :

    Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar, perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat (Bid’ah Dholalah).

    Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi satu pun dari al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka perkara baru seperti ini tidak tercela (Bid’ah Hasanah). (Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i –Jilid 1- Halaman 469).

    1). Lihat Scan Kitab Manaqib asy-Syafi’i di bawah ini di: http://www.facebook.com/notes/muhammad-itrianto/3-scan-kitab-manaqib-imam-asy-syafii-karya-syekh-syamsuddin-muhammad-bin-abi-al-/10151114657048962

    2). Lihat Scan Kitab karya Syekh Syamsuddin Muhammad bin Abi al Fath al Ba'liyy al Hanbali (w 709 H) berjudul "al Muqni' 'Ala Abwab al Muqni" dibawah ini di: http://www.facebook.com/notes/muhammad-itrianto/3-scan-kitab-manaqib-imam-asy-syafii-karya-syekh-syamsuddin-muhammad-bin-abi-al-/10151114657048962

    Ini adalah karya Syekh Syamsuddin Muhammad bin Abi al Fath al Ba'liyy al Hanbali (w 709 H) berjudul "al Muqni' 'Ala Abwab al Muqni'". Di dalamnya beliau menuliskan: "... BID'AH TERBAGI KEPADA 2 BAGIAN; BID'AH YANG BAIK (BID'AH HUDA) DAN BID'AH YANG SESAT".

    Kita lihat, kaum WAHABI yang mengaku bermadzhab Hanbali mau ngomong apa !!!!!!

    3). Dan kemudian Lihat Scan Kitab tulisan Ibnu Taimiyah dalam membagi bid’ah kepada 2 bagian tersebut dalam kitab karyanya berjudul "Muwafaqah Sharih al-MMa’qul Li Shahih al-Manqul" dibawah ini di: http://www.facebook.com/notes/muhammad-itrianto/3-scan-kitab-manaqib-imam-asy-syafii-karya-syekh-syamsuddin-muhammad-bin-abi-al-/10151114657048962

    Terjemahan: ” Berkata Imam Syafi’i ra. : Bidah terbagi menjadi dua, (1) bidah yang menyalahi perkara yang wajib atau sunnah atu ijma atau atsar sebagian para sahabat maka ini disebut Bid’ah dlolalah. (2) sedangkan Bid’ah yang bidah yang tidak menyalahi (sesuai) dengan perkara yang wajib atau sunnah atu ijma atau atsar sebagian para sahabat maka ini disebut Bid’ah hasanah. (Halaman : 144 – 145).

    Kaum Wahabi mengatakan bahwa pembagian bid’ah kepada 2 bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah adalah pembagian batil (sesat), sementara Ibnu Taimiyah; “Imam tanpa tanding meraka”, mengatakan bahwa bid’ah terbagi kepada 2 bagian di atas. Dari sini anda katakan kepada orang-orang Wahabi itu; “Apakah kalian akan mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah sesat ahli bid’ah??? Terhadap para ulama Ahlussunnah; seperti Imam an-Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Imam al-‘Izz ibnu Abdissalam, dan lainya; kalian berani mengatakan bahwa mereka sesat karena membagi bid’ah kepada 2 bagian di atas??? Apakah kalian mengatakan Ibnu Taimiyah sesat karena telah membagi bid’ah kepada 2 baian; bid’ah hasanah, dan bid’ah sayyi’ah”???

    Lagi-lagi orang-orang Wahabi “mati kutu”….!!!!

    BalasHapus
  9. Mas Itrianto :
    the best.... sungguh jelas..
    mereka anti bid'ah tidak mau membuka hati.. selalu merasa paling benar..

    BalasHapus
  10. Semoga mereka wahaby di bukakan fikirnya dan bertaubat..aamiin

    BalasHapus
  11. Semoga mereka wahaby di bukakan fikirnya dan bertaubat..aamiin

    BalasHapus

jika ada kesulitan,permasalahan prihal tulisan diatas atau kritik serta saran, kami mohon agar komentar di bawah ini. atas nama redaksi mohon maaf atas kekurangannya. pepatah lama mengatakan"tiada gading yang tak retak".