Oleh: Jamaluddin Mohammad
Jika kita mau menengok kembali perjalanan sejarah umat manusia, kita akan mendapati banyak sekali pergolakan, pertentangan, dan perebutan (atas nama) “kebenaran”. Kebenaran seolah-olah tidak cukup hanya untuk dipeluk dan diyakini, melainkan harus dipertaruhkan, dikukuhkan, dikontestasikan, dan selanjutnya dijadikan alat kekuasaan.
Sehingga seringkali “atas nama” kebenaran segalanya harus dibayar dengan darah, nyawa, bahkan tidak jarang berakhir dengan perang terbuka. Al-Hallaj, seorang sufi dari Persia, harus rela mati di tiang gantungan hanya untuk mempertahankan doktrin hulul (bersemayamnya lahut di dalam nasut). Syekh Siti Jenar diadili dan dieksekusi mati Wali Songo gara-gara mengajarkan doktrin wihdat al-wujud (manunggaling kaula ing gusti) yang dianggap “sesat” dan “menyesatkan”.
Ini adalah fakta sejarah betapa “kebenaran” bisa tampil dalam berbagai warna dan bentuk. Bergantung pada siapa dan demi kepentingan apa ia (di)hadir(kan). Pada kenyataannya, kebenaran tidaklah bebas dari kepentingan dan kekuasaan. Ia akan selamanya dipertaruhkan dan diperebutkan umat manusia. Pertaruhan dan perebutan itu tidak selamanya terjadi dalam medan terbuka. Terkadang ia muncul dan bergolak dalam ruang batin atau psikologi seseorang.
Salah satunya pernah dialami Imam al-Ghazali. Beliau pernah menderita semacam“gejolak kejiwaan” pada saat beliau mencoba menelusuri “hakikat kebenaran” (hakikah al-umur) dan “kebenaran sejati” (al-ilm al-yaqin). Dalam pencariannya itu al-Ghazali mempelajari, mengkaji dan memverifikasi segenap ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu, seperti ilmu kalam (teologi), fiqh, filsafat, dan tasawuf, berikut cabang-cabangnya.
Pengalaman eksistensial al-Ghazali dalam mencari dan mnyusuri “kebenaran” terekam jelas di dalam kitabnya“al-Munqidz min al-Dhalal”. Dari awal-awal tulisannya itu, kita sudah bisa mencium aroma kegelisahan al-Ghazali. Yang pasti, kata al-Ghazali, kebenaran harus dicari, dan terus dicari sampai dalam waktu yang tak berbatas. Kebenaran sejati tidak tersaji dalam tulisan, ucapan atau pendapat orang. Kebenaran bersifat pribadi (subjektif), sehingga harus didekati secara pribadi pula.
Sekilas tentang al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali lahir di Thus, salah satu daerah di Khurosan, Iran pada 450 H/1058 M. Sejak kecil ia belajar ilmu fiqh pada Imam Ahmad bin Muhammad al-Radzikani, kemudian pindah ke Jurjan untuk nyantri pada Imam Abi Nasr al-Isma’ily.
Setelah itu, al-Ghazali pindah ke Naisabur, belajar pada Imam Haramain al-Juwaini. Di sini ia mulai mengenal tasawuf dan filsafat. Setelah Juwaini tutup usia pada 477, tujuh tahun berikutnya al-Ghazali pergi ke Irak, mengajar di Madrasah Nidzamiyyah. Di madrasah milik Wazir Nidzam al-Mulk (1018-1018 M) inilah popularitas dan kapasitas keilmuan al-Ghazali mulai diperhitungkan banyak orang. (Ihya, juz 1/3)
Karir intelektual al-Ghazali semakin menunjukkan kematangannya setelah ia banyak menulis tentang fiqh, teologi, filsafat dan tasawuf. Ia tergolong ulama yang sangat produktif. Menurut Ibnu Qadli Syuhbah al-Dimsyiqi, pengarang kitab “Thabaqat al-syafiiyyah”, ada sekitar 60 kitab yang ditulis al-Ghazali. Sementara Imam Zubaidi menyebut ada sekitar 80 kitab dan risalah yang dikarang al-Ghazali.
Ketika usianya mulai beranjak senja, Al-Ghazali pulang ke tanah kelahirannya, sampai beliau wafat pada 505 H/1111 M.
Pintu kegelisahan al-Ghazali
Kitab al-Munqiz min al-Dhalal merekam jelas kegelisahan al-Ghazali selama pengembaraan intelektualnya. Dalam kitab ini, al-Ghazali menceritakan dengan jujur bahwa proses pencarian “kebenaran” tidaklah semudah apa yang dibayangkan orang. Ia butuh pengorbanan, keberanian, kejujuran serta kesungguhan.
Sedari kecil al-Ghazali selalu gelisah dan sering mempertanyakan segala sesuatu. Sampai-sampai ia harus melepaskan segenap belenggu taklid (budaya mem-bebek) dan meremukkan benteng keyakinan (aqidah) yang ia terima sejak kecil. (hal. 25)
Kesadaran seperti ini timbul setelah ia sama sekali tidak melihat perubahan apa-apa pada anak-anak orang Nasrani maupun Yahudi. Mereka akan selamanya tumbuh menjadi Nasrani maupun Yahudi, dan seterusnya. Sebagaimana yang disetir oleh hadits Nabi SAW: “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah (Bapak) yang telah menjadikan ia Yahudi, Nasrani dan Majusi”.
Oleh karena itu, tergerak dalam hati al-Ghazali untuk melakukan lompatan-lompatan dan pilihan-pilihan sendiri; berdasarkan pencarian dan upaya pribadi. Al-Ghazali pernah menceburkan diri menjadi pengikut batiniyyah (salah satu sekte syiah paling ektrem dan radikal), menjadi seorang teolog (mutakallimun), mempelajari segenap ilmu-ilmu filsafat, dan pada akhirnya kepincut dengan tasawuf. (hal. 25)
Epistemologi al-Ghazali
Sebelum kita menelisik lebih jauh isi kitab al-Munqidz min al-Dhalal, alangkah baiknya kita paparkan terlebih dahulu epistemologi al-Ghazali. Ini penting, sebab epistemologi ibarat pintu masuk untuk mengetahui paradigma berpikir (gugusan pemikiran) seseorang. Dengan menyusuri epistemologi seseorang, kita akan lebih mudah membaca alur pikir atau sistematika pemikiran orang dari awal sampai akhir.
Epistemologi berasal dari kata episteme (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos (informasi). Secara sederhana epistemologi berarti “teori pengetahuan”atau “pengetahuan tentang pengetahuan”. (Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal.. 212)
Epistemologi melahirkan beragam metode dan pendekatan. Yang paling masyhur adalah empirisme dan rasionalisme. Selain kedua pendekatan itu, dalam filsafat Islam ditambahkan lagi dengan pendekatan intuitif (irfani). Yang terakhir inilah yang digunakan oleh al-Ghazali.
Seperti yang dituturkan sendiri oleh al-Ghazali, pada awalnya ia mendasarkan pengetahuannya pada empirisme (hissiyyat). Ia sebetulnya ragu dengan metode ini: apakah dengan bersandarkan pada empirisme ia akan memperoleh keyakinan? Dari sini al-Ghazali mulai melakukan pengujian. (hal. 27)
Pertama-tama ia menguji validitas data-data indrawai (data-data empirikal). Semisal, data yang diterima mata. Mata kita seringkali melihat bintang-bintang di atas langit. Menurut penglihatan kita, bintang-bintang itu terlihat kecil, sekecil uang logam. Tetapi, berdasarkan ilmu geometri, ternyata bintang-bintang itu jauh lebih besar dibanding bumi.
Ternyata, pada faktanya, data-data yang diterima oleh indera sering kali menipu, bertolak belakang dengan fakta sesungguhnya, sebagaimana pada contoh di atas. Dari sini al-Ghazali berpindah pada pendekatan rasionalisme. Menurut penganut rasionalisme, satu-satunya pengetahuan yang absah dan dapat dipercaya adalah pengetahuan yang dihasilkan akal (rasional).
Contohnya, bilangan 10 pasti lebih besar dari bilangan 3. Ada dan tiada tidak mungkin bertemu dalam satu waktu, begitu juga qadim (lampau/kekal) dan hadits (baru) tidak mungkin dilekatkan pada sesuatu dalam waktu bersamaan, dan seterusnya. Ini adalah contoh-contoh pengetahuan yang didapatkan oleh akal. Bukankan pengetahuan rasional lebih diterima daripada pengetahuan empiris?
Namun, penganut empirisme pasti akan menyangkal lagi dan mencoba memberikan keyakinan: berdasarkan alasan apa sehingga kita merasa yakin bahwa akal lebih valid dibanding pengalaman? Bukankan apa-apa yang kita cerap dari indera jauh lebih riil dan nyata dibanding pengetahuan akal yang masih bersifat abstrak?
Empirisme dan rasionalisme selamanya akan berperang dan saling menyalahkan. Keduanya tidak dapat bertemu dan dipertemukan. Nah, pada saat terjadi kebuntuan antara pilihan rasional dan empirikal, al-Ghazali justeru berpaling dari keduanya dan menaruh kepercayaan pada pengetahuan intuitif (mukasyafah). Menurut al-Ghazali, dengan pengetahuan intuitif seseorang akan sampai kepada “kebenaran sejati”.
Untuk meyakinkan bahwa pengetahuan intuitif benar-benar ada al-Ghazali mengilustrasikan dengan pengalaman mimpi. Ketika kita bermimpi, kata al-Ghazali, kita betul-betul merasakan, meyakini, dan mengimajinasikan sebuah kenyataan (kejadian) diluar kenyataan indrawi.
Namun, begitu kita terjaga, pengalaman mimpi itu lenyap begitu saja, tanpa kita jumpai lagi dalam alam sadar. Dengan kata lain, pengalaman-pengalaman bawah sadar /ketidaksadaran itu tidak berkorespondensi (berkesesuaian) dengan akal maupun pengalaman indrawi. Kendatipun demikian, mimpi itu riil dan keberadaannya sulit dibantah.
Ini juga sebetulnya sering dialami oleh kita, baik dalam keadaan sadar sekalipun. Coba bayangkan, apakah Anda yakin bahwa apapun yang Anda lakukan saat ini memiliki landasan rasional maupun empirikal? Semisal, ketika Anda duduk dan membaca, apakah Anda betul-betul sedang duduk dan membaca? Bisa jadi Anda sebetulnya sedang bermimpi, menggigau, atau dalam keadaan terjaga tetapi pikiran Anda melayang kemana-mana sehingga Anda sendiri tidak tahu apa sebetulnya yang Anda kerjakan saat ini?
Berangkat dari pendekatan intuitif inilah al-Ghazali membangun segenap gagasan dan pemikirannya. Sehingga, tak pelak lagi, al-Ghazali membombardir teologi, penganut aliran Batiniyyah, filsafat. Karena kesemuanya bersendikan pada rasionalisme atau empirisme. Nah, di dalam kitabnya ini (al-Munqidz min al-Dhalal) al-Ghazali mengkritik habis-habisan Teologi, Madzhab Ta’limy (aliran Batiniyyah), dan Filsafat.
Teologi (ilmu Tauhid)
Al-Ghazali sebetulnya tertarik dengan disiplin ilmu ini. Bahkan ia sendiri sempat menulis buku tentang Teologi. Namun, sebagaimana pengakuan al-Ghazali sendiri, bahwa ia tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari Teologi, kecuali manfaat itu kembali pada teologi itu sendiri. (hal. 35)
Sebab, pada perkembangan selanjutnya, disiplin ilmu Teologi sudah tidak lagi terfokus pada wilayah kajiannya; pembahasannya terlalu melebar kemana-mana; dan mulai melenceng dari tujuan.
Padahal, kata al-Ghazali, tujuan ilmu Teologi adalah menjaga dan membentengi akidah ahlussunah wal jama’ah dari pengaruh ahli bid’ah (hifdzu aqidah ahlussunah wa hirasatuha an tasywisi ahli al-bid’ah). Sebab, Allah SWT melalui lisan rasul sudah menyampaikan akidah yang benar demi kemaslahatan dunia maupun akhirat (agama). Hanya saja, akidah itu kemudian tercemari oleh kehadiran ahli bid’ah. Dalam konteks ini, Teologi muncul untuk memurnikan kembali akidah yang sudah tercemar itu, mengembalikan pada asalnya.
Tetapi, yang terjadi justeru tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan. Wacana yang dikembangkan dalam teologi malah bertitik-tolak dari dasar pikiran/asumsi/hipotesis (muqaddimat) lawan. Disamping itu, para Teolog (mutakallimun) lebih banyak berapologi menanggapi tuduhan-tuduhan lawan, ketimbang membicarakan esensi Teologi itu sendiri.
Pada akhirnya para Teolog tidak lagi membela sunnah, malah tenggelam pada pembahasan tentang dzat/substansi (al-jauhar), sifat/aksiden (‘arad), dan sebagainya. Hal ini, kata al-Ghazali, yang menyebabkan teologi melenceng jauh dari tujuan mulianya (ghayah al-quswa). Dengan sangat kecewa al-Ghazali akhirnya tidak begitu suka dengan ilmu ini. “falam yakun al-kalam fi haqqy kaafiyan. Wala lidaai alladzi kuntu asykuuhu syafiyan” (bagiku, ilmu kalam tidak mencukupi. Ia tidak dapat menyembuhkan penyakit keragu-raguanku), kata al-Ghazali.
Filasafat
Al-Ghazali belajar dan mendalami filsafat kurang lebih selama dua tahun. Ia banyak membaca kitab-kitab filsafat yang dikarang filsuf muslim pada waktu itu. Dari hasil bacaannya itu, al-Ghazali menyimpulkan ada tiga madzhab besar dalam filsafat: (1) al-dahriyyun, (2) thabiiyyun, dan (3) ilahiyyun. (hal 37)
Pertama, al-dahriyyun (atheisme). Ia merujuk pada aliran filsafat kuno yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Menurut aliran ini, kehidupan dunia ada dengan sendirinya melalui proses alam. Manusia tercipta dari sperma, begitu juga sebaliknya. Proses alam akan terus berjalan sesuai dengan hukumnya. Dan terus berjalan tanpa mengenal akhir.
Kedua, thabiiyyun (naturalisme). Aliran filsafat yang lebih banyak membahas gejala dan perubahan materi; fenomena alam berikut makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan. Objek penelitiannya lebih banyak dicurahkan untuk memahami struktur tubuh mahkluk hidup. Aliran ini masih percaya terhadap adanya Tuhan.
Mereka berpendapat bahwa kekuatan yang dimiliki manusia dihasilkan oleh struktur tubuhnya, bukan disebabkan sesuatu yang lain yang berada diluar tubuh. Mereka juga menolak adanya dualisme jiwa dan badan. Jiwa tidak lain dari materi (badan) itu sendiri. sehingga, ketika seseorang mati, maka jiwanya juga ikut mati. Mereka tidak mempercayai adanya dunia adikodrati, seperti surga, neraka, kiamat, hisab, dll.
Dan ketiga, ilahiyyun (metafisika). Socrates, Plato, dan Aristoteles adalah sederetaan filsuf yang masuk dalam kelompok ini. Plato adalah Murid Socrates, sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Aristoteles dikenal sebagai pencetus ilmu mantiq (logika), banyak memberikan ulasan, komentar, dan penyempurnaan terhadap pelbagai disiplin ilmu. Aristoteles juga banyak mengkritik madzhab-madzhab filsafat sebelumnya, seperti dahriyyun dan thabiyyun.
Secara garis besar, kajian filsafat meliputi: matematika (riyadliyyah), logika (mantiqiyyah), ilmu alam (thabiiyyah), metafisika (ilahiyyah), politik (siyasiyyah), dan etika (khalqiyyah).
Pada prinsipnya, al-Ghazali tidak begitu antipati terhadap filsafat. Sebab, menurutnya, filsafat sama sekali tidak memiliki relasi dengan agama. Al-Ghazali termasuk pendukung sekularisasi ilmu. Hanya saja, kata al-Ghazali, tidak sedikit paham/ajaran filsafat yang dapat menimbulkan efek membahayakan (afat al-adzimah) bagi keimanan, dan bahkan bertentangan dengan ajaran agama.
Sebagaimana madzhab dahriyyun yang mengingkari adanya Tuhan dan thabiiyyun yang tidak mempercayai keberadaan “dunia lain”. Begitu juga ajaran ilahiyyun yang di transferdari Ibnu Sina dan al-Farabi yang mengatakan bahwa jasad tidak akan menerima nikmat maupun siksaan. Yang mendapatkan balasan di akherat kelak hanyalah ruh. Mereka juga mengatakan bahwa alam bersifat qadim dan abadi.
Madzhab al-ta’limiy
Pada masa al-Ghazali hidup, madzhab ta’limiyyah atau aliran batiniyyah (underground) sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ta’limiyyah adalah salah satu aliran/sekte syiah ismailiyyah. Aliran ini berpendapat bahwa “setiap orang butuh pengajaran (al-ta’lim) dan bimbingan mu’allim (guru) yang ma’shum, suci; terlindungi dari dosa”(al-hajat ila al-ta’lim wa al-mua’allim. La yashluhu kullu mu’allim bal la budda min mu’allim al-ma’shum)”. (hal. 59)
Menurut sekte ini, keberadaan mu’allim ma’shum mutlak diperlukan. Sebab, tanpa melalui kehadiran mereka, seseorang tidak mungkin akan sampai pada “kebenaran”.Muallim ma’shum yang dimaksudkan mereka adalah para imam (pemimpin) mereka.
Ajaran seperti ini mendapat kritik keras dari al-Ghazali. Menurutnya, tidak seorang pun di dunia ini yang patut dikatakan ma’shum kecuali Nabi Muhammad SAW. Setiap orang bebas melakukan ijtihad dalam mengambil keputusan hukum (istinbath al-ahkam), tidak harus menunggu wangsit dari imam ma’shum, tegas al-Ghazali.
Kita bisa belajar dari Mu’adz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman. Mu’adz melakukan ijtihad sendiri ketika menemukan persoalan-persoalan yang hukumnya tidak ditemukan di dalam nash (hadits maupun al-Qur’an). Lebih lanjut, al-Ghazali mengatakan: “keterbatasan nash tidak akan bisa mengikuti realitas yang terus mengalami perubahan (fainna al-nushus al-mutanahiyah la tastau’ibu al-waqai’ al-ghaira al-mutanahiyyah)”.
Akhir pendakian al-Ghazali
Setelah al-Ghazali merasa kecewa dengan ilmu-ilmu di atas, kemudian beliau berpaling pada tasawuf (mistisisme). Untuk mengetahui hakikat tasawuf yang sesungguhnya, al-Ghazali belajar dan membaca kitab-kitab yang dikarang ulama-ulama tasawuf terkemuka pada waktu itu. Beliau membaca“Kut al-Qulub” milik Abi Thalib al-Makki, “Mutafarrikat al-Ma’tsurah”karya al-Junaidi, kitab-kitab karya al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami, Harits al-Muhasibi dan masih banyak lagi. (hal. 68)
Lagi-lagi al-Ghazali harus menelan kekecewaan. Ternyata kitab-kitab yang ia baca hanya menyuguhkan wacana tentang tasawuf. Menurut al-Ghazali, inti tasawuf bukan pada teorinya (ilmu/wacana) melainkan pada aplikasinya (amaliyyah). Substansi tasawuf terletak pada pengamalan (al-ahwal) dan rasa (al-dzauq).
Dari sini al-Ghazali terangsang untuk mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf, mengasingkan diri (uzlah) dari satu tempat ke tempat lain, menyepi (khalwah) dan mengunci diri selama sehari penuh di menara masjid Dimsyik, tafakkur (kontempelasi) di puncak Bait al-Muqaddas, melakukan ibadah Haji, dan ziarah ke makam Rasulullah SAW. Sampai akhirnya beliau merasa bahwa dahaga intlektualnya betul-betul hilang berkat mukasyafah dan dzauq. Sungguh, sebuah pergulatan intelektual yang sangat menakjubkan!
Wallahu a’lam bi sawab.
Jamaluddin Mohammad
Tinggal di Ciputat;
Nyantri di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jika ada kesulitan,permasalahan prihal tulisan diatas atau kritik serta saran, kami mohon agar komentar di bawah ini. atas nama redaksi mohon maaf atas kekurangannya. pepatah lama mengatakan"tiada gading yang tak retak".